Pages


Sunday, December 30, 2012

Ave Maria


Sebait alunan biola itu menenggelamkanku dalam degup jantung yang semakin tak menentu. Bertolak belakang dengan teraturnya nada-nada benda bersenar itu, sebaliknya jantung ini berirama kacau. Selangkah dua langkah aku mundur, aku tak ingin dia mendengar gemuruh perasaan yang kian menggema ini. Menyadari tindakanku yang cukup bodoh, dia menghentikan gerakan penggesek biolanya dengan alis mengerjit.
“Kau ketakutan tiap kali aku memainkannya.” Ujarnya cemas.
Aku hanya diam, menatap kedua mata coklatnya. Dan untuk kesekian kalinya aku terbuai oleh keindahan setiap unsur-unsur dari  wajahnya. Aku merasa wajahku semakin pucat, tak tahu harus menjawab apa.
“Tidak, ini hanya ekspresi terpukau.” Jawabku asal
“Oh, terpukau? Kau yakin?” Dia seperti menantangku beradu pandang dengannya. Aku memalingkan wajahku yang pucat namun panas.
“Jangan melihatku seperti itu, kau….” Belum sempat aku meneruskan kalimatku dia sudah semakin berani mengelus pipiku.
“Kenapa jika aku melihatmu seperti ini? Apa aku harus dihukum juga jika menyentuh pipimu?” Seulas senyum terukir indah didepanku. Oh Tuhan, aku merasa telah kehilangan sebagian dari diriku saat aku berada bersamanya.
“Ya, kau harus dihukum. Kau harus memainkan lagu itu berulang-ulang sampai aku tak takut lagi.”
Akhirnya aku bisa mengucapkan sebaris kalimat walaupun dengan suara yang agak terlalu berat kurasa.
Tanpa kata-kata, dia kembali meraih biola rampingnya dan memainkan lagu yang sama. Alunan itu membuatku agak bergidik. Rangkaian klise yang terekam dari dunia lampauku seakan bangkit dari tempat asalnya. Satu demi satu pecahan memori itu terangkat, membuat guncangan emosi yang sudah kuduga sebelumnya. Kepalaku berputar-putar, bingung harus memulai rangkaian acak itu dari bagian mana. Dia menatapku ragu, menghentikan lagunya namun tatapan mataku mengisyaratkan agar dia tetap bermain dengan lagunya. Lagu ini, lagu yang menghantarkanku dalam suasana yang aneh ketika aku mendengarkannya. Lagu yang membuatku seakan tak mau mengingat sepotong masa lampauku. Kedua lututku lemas, peningnya kepalaku tak ada artinya sekarang dibandingkan dengan sepotong memori yang harus kudapatkan. Aku harus menemukan siapa aku sebenarnya dan siapa dia. Siapa laki-laki yang mengalunkan nada-nada menggetarkan itu? Apa hubungannya dengan kehidupanku? Dan kenapa lagu ini begitu kental akan sosok wanita di pikiranku? Wanita itu terus menerus memainkan biolanya, dia terlihat kurus, pucat, dan dihadapannya ada aku. Aku dengan tatapan yang penuh dendam, aku merasa gadis itu bukan diriku. Lalu potongan rekaman berikutnya menunjukkan gambaranku yang lain. Aku yang diterjang oleh wanita itu. Dia mendorongku, kenapa?
Aku melihat itu, dia berdarah, berlutut tanpa kata. Ekspresinya terlihat bahagia walaupun ia bersimbah darah seperti itu. Aku memeluknya, merasakan penyesalan yang menyesakkan.
“Kau baik baik saja?” Suara dia membuatku tersentak dari  rantai kenangan yang terekam dalam memoriku.
“Wanita itu, dia meninggal. Dia meninggal.” Isakku mengguncang bahu pemuda itu. Dia menarik punggungku kedalam rengkuhannya. Aku menangis sejadi-jadinya menyadari apa yang telah terjadi. Wanita itu, yang bersimbah darah dan bahagia dalam perjalanan terakhirnya adalah Ibuku. Wanita yang telah melahirkanku. Beberapa menit berlalu aku masih berada di peluknya. Mendekapnya seperti ini aku merasa sangat nyaman, merasa jika aku tak sendirian,dan merasa dicintai. Sejenak tangisku mulai mereda. Mataku terasa lengket dan panas. Ku lirik bahu pemuda itu. Astaga, begitu parahkah aku menangis hingga membasahi separuh dari pakaiannya.
“Maaf, bajumu jadi basah.” Ucapku kaku.
“Jangan pikirkan, ini hanya air. Nanti juga kering. Mmm.. Ibumu pemain biola, sama seperti aku. Beliau sering memainkan lagu ini untukkmu. Kau dulu pernah bercerita tentang bagaimana kau menyayangi ibumu dan bagaimana kerasnya kau menolak untuk bermain biola.”
“Aku tidak mau bermain biola? Kenapa?”
“Kau ingin berbeda dari Ibumu. Kau lebih memilih seperti ayahmu. Menjalankan bisnis yang menurutmu sangat menarik.”
“Aku pernah berkata begitu?” Ujarku setengah tak percaya. Mana mungkin dulu aku begitu terobsesi dengan hal yang membosankan seperti itu.
“Kau bahkan hampir setiap hari bertengkar denganku hanya gara-gara masalah itu.” Jawabnya menahan tawa. Harus kuakui lagi, senyumnya begitu menawan.
“Benarkah kau itu pacarku?” Tiba-tiba tanpa basa – basi aku menanyakan hal yang begitu bodoh. Ingin rasanya aku memukul kepalaku sendiri.
“Kau pacarku, sejak 3 tahun yang lalu. Setelah Ibumu meninggal, kau menjauh dariku. Kau tak peduli padaku lagi. Lalu kau mencoba bunuh diri melompat dari mobil.”
“Jangan ceritakan tentang aku yang dulu lagi, kumohon.” Aku menunduk, merasakan mataku yang mulai panas namun berusaha ku tahan.
“Maaf, aku tak bermaksud buruk. Aku hanya merasa bahagia sekarang. Aku merasa kau kembali.”
Aku memandang matanya, seperti aliran listrik yang menjalar di seluruh tubuhku. Pesonanya begitu kuat mengalahkan matahari terbenam yang merona dibalik gumpalan awan.
“Kau mungkin tak mempercayaiku, tapi percayalah. Aku merasa menemukan cinta yang baru di matamu. Maksudku, dulu hingga sekarang kau memang pacarku. Tapi hari ini aku merasa jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Rasanya rumit, aneh dan bahagia.”
Dia mendekat dan menyunggingkan seulas senyuman termanis yang pernah kulihat.
“Mungkin aku harus bersyukur kau mencoba bunuh diri saat itu.”
“Apa? Kau ingin aku mati?” Aku memukulnya bertubi-tubi dan dia hanya tertawa renyah. Dia mengambil kembali biolanya berniat untuk menyimpannya.
“Tunggu..” Dengan ragu aku menghentikannya.
“Hmm.. Kenapa?”
“Boleh aku meminta sesuatu? Ajari aku bermain biola.”
Dia tertegun sejenak mendengan permintaanku.
“Baiklah, aku ingin kau  mengajariku lagu yang tadi. Lagu itu…”
“Ave Maria” Potongnya singkat. Aku mengerti lagu itu memang membawa irama tersendiri bagi hidupku. Satu yang aku ketahui, lagu itu membawa kebahagiaan bagiku dan bagi pemuda yang sangat kucintai. Terimakasih Ave Maria.

Tuesday, December 25, 2012

Sisa Waktu


Dentangan jarum jam semakin terasa mengusikku ditengah malam yang menyesakkan. Malam ini, aku tak lupa meneguk beberapa tablet penambah umurku. Aku harap itu benar-benar akan menambah umur meskipun aku tak benar-benar mempercayainya.  Melelahkan rasanya berada dalam bayang-bayang kematian yang siap setiap saat menerjangku jika aku melupakan masa pengobatanku walau sedetikpun. Benar-benar sangat membosankan hidup dikelilingi butiran benda-benda pahit ini, jarum tajam yang menusuk kulitku hampir setiap minggu dan orang-orang berpakaian putih kerap kali memandang iba kearahku seakan mereka sudah rela melihatku dijemput oleh para malaikat dari atas sana. Keadaan itu semakin membuatku merasa sendirian. Tanpa orangtua, mereka tega meninggalkan satu-satunya buah hati mereka sendirian di dunia fana ini. Mereka tega membiarkan aku merasakan pahitnya kehidupan yang begitu melelahkan. Manis yang kukecap hanya sementara. Otakku kembali memutar rekaman lampau yang menampilkan gambaran dan potongan-potongan episode itu. Apa kabar pemuda itu sekarang? Apa dia masih menungguku? Apa dia akan mengetahui alasan aku pergi darinya?
Kuharap dia tak pernah tahu. Kuharap dia berhenti menungguku. Kuharap dia takkan memaafkan aku lagi. Hey, kau! dimanapun kau berada sekarang ini berhentilah. Aku mohon berhentilah membuat pemberitaan orang hilang  di koran. Jangan kau cantumkan gambarku yang jelek di halaman utama. Sungguh aku sangat tak menyukainya, seolah aku adalah sang putri yang hilang karena kabur dari istana. Cobalah untuk tidak menghabiskan uangmu hanya untuk mencariku. Carilah gadis lain yang lebih baik, lebih sehat, dan yang mampu memberimu masa depan. Kenapa kau begitu mementingkan dirimu sendiri ? Kau membiarkan keegoisan mengusai hatimu. Cinta tak bisa membuatmu bahagia selamanya, tolonglah mengerti hal itu. Setelah 4 bulan aku kira pikiran keras kepalamu telah menghilang tapi ternyata malah semakin menjadi-jadi. Aku mohon, berhentilah. Kau telah mengemudi terlalu jauh di jalan yang salah. Berputar baliklah, kembali ke jalan yang seharusnya kau lalui sebelum kau tersesat. Aku yakin jika kau hidup dengan gadis menyedihkan sepertiku, kau hanya akan bosan dan lelah ketika melihatku menghabiskan sisa menit dan detik hanya untuk mengeluh kesakitan. Aku tak ingin jika suatu saat nanti aku akan terjatuh pingsan ketika kita sedang berkencan. Aku juga tak ingin jika aku akan menghembuskan napas terakhir dan ambruk ketika kau mengucapkan janji di altar. Aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tak lucu seperti itu. Aku takut, sangat takut untuk meninggalkanmu. Biarlah keadaannya seperti ini dalam waktu yang lama. Aku sudah cukup puas dan begitu bahagia dengan memandangimu dari balik layar 21 inch dari kamarku. Hanya dengan mendengarkan senandung merdumu dari earphone sudah dapat mengobati rinduku yang meradang. Aku tak berharap memandangmu dari dekat. Aku takut jatuh kembali oleh pesonamu untuk yang kedua kalinya dan aku takut setelah aku jatuh aku tak mampu untuk bangun kembali.

Friday, December 21, 2012

Catatanku, Diriku

Satu waktu, satu hari dan satu cerita memenuhi ruang kehidupan. Dari kecil, aku diajarkan untuk tidak menentang segala perkataan dari orang yang lebih tua dariku. Semenjak itu aku hanya diam dan menurut. Disuruh begini, disuruh begitu, aku hanya menganggukan kepala.Jika aku salah, aku merasa dibentak, tak berani berargumen karena menurut mereka itu berarti menentang. Semakin aku tumbuh, aku merasa sama saja dengan yang dulu. Selalu menunggu perintah, selalu menganggukkan kepala, selalu berkata iya, tak mampu berargumen.Terkadang hatiku memberontak pada cercaan yang melukaiku setiap saat, namun tiada yang keluar dari mulutku. Hanya udara hampa yang terhembus bersama uap kekesalan yang akan sirna dengan sendirinya, namun tetap mengendap didalam hati. Aku tak pintar mengekspresikan sesuatu melalui kata-kata. Ini yang membuatku menjadi lebih banyak diam. Pendiam adalah jati diriku yang sebenarnya. Mungkin aku akan bertindak lain terhadap beberapa orang. Hanya pada orang-orang yang dekat denganku aku berani menunjukkan emosi-emosi yang benar-benar transparan tanpa harus mempedulikan yang lainnya, tanpa harus merasa takut. Aku akui sulit bagiku untuk dekat dengan orang lain, ya.. sebenarnya aku tak banyak memiliki teman. Mungkin yang paling setia adalah temanku yang kecil, bersampul ungu yang paling kucintai. Catatanku. Semua tentang kehidupanku aku tuangkan semuanya disitu. Jika aku senang aku ceritakan kepadanya, jika aku sedih aku menangis dihadapannya, jika aku marah ia juga ijinkan aku untuk memarahinya. Tiap lembarannya aku isi dengan sebuah kenangan, secercah harapan dan mimpi-mimpiku yang mungkin tak masuk akal. Namun baginya, semua yang kutulis adalah nyata. Ia tak menahanku untuk berbuat apa yang kuinginkan, namun nantinya ialah yang menyadarkanku jika aku telah berbuat kesalahan. Ia juga mengajarkanku untuk tak menyesal, namun terkadang ia memaksaku untuk meratapi segala yang telah berlalu. Menangisi kenangan indah yang telah tertulis disana. Setiap lembaran yang terisi adalah jiwanya. Jiwa yang murni. Catatan itu adalah cerminan hatiku yang tak dapat aku ungkapkan. Catatanku adalah diriku sendiri. Sahabatku.

Jika...


Jika aku harus menemuimu dalam hati sepekat ini, apakah kau tetap memberikan senyum cerahmu padaku?

Jika aku mengabaikan dunia hanya untuk menatap wajahmu walau sedetik, apakah kau akan mau memandangku untuk waktu yang lama?

Jika aku tak memberimu seluruh perhatian dan kasihku, apakah kau tetap mempertahankan dirimu untukku?

Jika aku merubah diri untuk tak percaya lagi pada semua ucap manismu, apakah kau masih mau member rayuan-rayuan itu untukku?

Jika aku kali ini mengatakan tidak untukmu, apakah kau akan semudah itu menyerah dan menerimanya begitu saja?

Jika aku berkata bahwa ini semua telah berakhir, apakah kau percaya semudah itu pada kata-kataku?

Jika aku berkata ‘aku masih ingin bersamamu’, apakah kau akan datang dan kembali lagi seperti sedia kala?

Jika kau melihatku bersamanya, apakah kau selalu berasumsi bahwa dia kekasih baruku?

Jika lamanya waktu tak sanggup kau jalani sendirian, apakah kau akan mencari yang lebih baik dariku?

Jika aku sendirian saat ini, apakah rasa yang dulu kau miliki masih tersisa walau sedikit saja untukku?

Jika aku tak mampu melihatmu dengan gadis itu, apakah kau akan tertawa atas karma dan kejahatan hatiku terdahulu?

Jika hatiku menangis dan berteriak memanggilmu, apakah kau akan datang layaknya kita yang dahulu?

Jika aku mengakui kejujuran hatiku padamu, apakah kau masih peduli akan hati seorang pendusta?

Jika hatiku kau rasa berdusta, apakah kau tak berusaha mengetahui kebenarannya?

Jika kau pikir aku hanya ingin mempermainkan perasaanmu, tidakkah kau lihat betapa kecewanya aku?

Jika kau berpikir aku orang yang sangat amat terlalu egois, kali ini apakah hatimu sependapat dengan pikiranmu itu?

Jika aku menganggap kau yang selama ini bersalah, apakah kau akan menentang pernyataan egoisku?

Jika selama ini hatiku mengubur dalam-dalam segala rasa yang sebenarnya, apakah kau akan berusaha menggalinya lagi?

Jika kekasihmu berada di sampingmu dan aku berada di depanmu, kearah mana kau akan memilih untuk melangkahkan kakimu?

Jika jalan satu-satunya adalah berkorban, siapa yang akan kau lepaskan?

Di kepalaku, hanya jika yang memenuhi. Jika dan jika. Tanpa aku ketahui jawaban yang sebenarnya atau aku takut menghadapi kejujuranmu.

Thursday, November 1, 2012

Roses Garden

Our love's still in there
Sepetak tanah itu awalnya hampa. Hanya beberapa gulma yang mengisi kejenuhannya. Memang seringkali gulma yang sangat lebat itu terlihat menyejukkan mata karena tebal rumpunnya yang hijau, namun hanya hijau yang terlihat. Lama kelamaan warna monoton itu tak indah lagi dipandang. Sepertinya sepetak tanah itu cukup tersiksa dengan lahannya yang mulai dicampakkan, dijauhi dan tak dipedulikan. Akhirnya seorang gadis tergugah untuk mengisinya dengan secercah warna merah dari bunga mawar. Ia memindahkan sebatang pohon mawar yang kecil dengan bunga warna merah tua yang hampir mekar. Dengan sebuah sekop kecil ia menggali tanah coklat dan mencabuti beberapa rumput. Mawar merah itu tumbuh dengan indah seiring bertambahnya usia gadis itu. Saat ia lulus SMP, ia mengunjungi sepetak taman kecil itu dan menggali lagi. Tampak sebatang mawar jingga berdampingan dengan mawar merah yang ia tanam beberapa waktu yang lalu. Mawar jingga yang begitu manis, kelopaknya seperti memancarkan cahaya mentari terbenam setiap waktu. Gadis itu begitu senang ketika ia mendapati kedua mawarnya berbunga sangat indah. Gadis itu begitu terpesona dengan bunga mawar, hampir setiap hari ia mengunjungi taman kecilnya itu. Saat ia mendapatkan teman baru di SMA, ia datang kembali dan menanam sebatang mawar berwarna kuning. Ia sengaja memilih warna tersebut, seseorang pernah berkata padanya "Mawar kuning cukup mewakili hatimu untuk para sahabat yang kau cintai. Itulah tanda persahabatan." Waktu demi waktu tak hentinya menanjak ke masa dewasa yang katanya indah dan serba bahagia. Benarkah? Gadis itu sama sekali belum memahaminya. Seorang pemuda mulai mendekatinya, menyapa jiwanya dengan tatapan lembut dan harus ia akui, ia sangat nyaman dan merasa aman bersama pemuda itu. Namun, ia tetap bingung dengan hal yang alaminya. Ia mencoba mengabaikan rasa aneh yang selalu menyergap hatinya. Gadis itu mulai mendekati pemuda-pemuda lain. Sepertinya ia ingin benar-benar memahami apakah rasa itu hanya muncul saat berdekatan dengan pemuda yang mendekatinya dulu itu. Tindakannya itu salah, dan ironisnya pemuda itu merasa kecewa dengan sikap gadis itu. "Kenapa kau tak mengabaikan mereka semua, dan mulai hanya melihatku saja?" Kalimat itu melontar dari mulut pemuda itu. Sang gadis mulai nampak cemas dan bingung. Mukanya pucat seketika, merasa seperti di persimpangan dan tidak tahu harus berbelok kemana. Lidahnya tetap kelu. Yang hanya ia bisa lakukan saat itu hanyalah berbalik arah dan lari sekencang-kencangnya.
Dengan membawa sebatang pohon mawar, ia merenung di taman mawarnya. Menyekop tanah sedikit demi sedikit dan menanam sebatang mawar ungu. Ia menggerutu "Kau membuatku bingung hari ini. Kau tahu apa yang aku rasakan? aku merasa senang, terkejut, bahagia dalam satu momen. Seperti warna merah dan biru yang membentuk spektrum warna ungu."
Begitulah, sangat rumit baginya. Ia cukup heran mengapa semua orang mendambakan keremajaan. Padahal mereka tidak bisa menikmati masa taman kanak-kanak, tidak bisa bermain, tidak bisa berekreasi tiap waktu. Ditambah dengan hadirnya sesosok pemuda yang membuatnya semakin merasa aneh. Pemuda itu sangat menarik dimatanya. Benar-benar berbeda dengan yang lain dan sangat manis ketika ia berlutut satu kaki dihadapan gadis itu. "Hey, nona mawar. Kau tahu apa yang membuatku berlutut satu kaki dihadapanmu? Itu kau, kau yang selalu menghantui malamku, menyinari siangku dan mewarnai pagiku dengan bayang senyummu yang manis." Hari itu mereka bersatu, saling melengkapi dengan kekurangan masing-masing. Mawar merah muda, wujud nyata dari awal mula kisah cinta mereka bersemi. Mawar kali ini berbeda, ia ditanam oleh kedua insan yang saling mencintai dan memiliki.
Tak terasa hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun pula berlalu. 5 tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalin suatu hubungan.
Adanya komitmen mulai mengikat kedua insan dengan perantara tali pernikahan yang begitu suci dan indah. Mareka berdua ditambah dengan anak mereka akhirnya membentuk suatu keluarga yang begitu bahagia, penuh tawa dan haru. Nona mawar itu tiba-tiba mulai melupakan taman kecilnya karena terlalu berkonsentrasi pada kehidupan nyata yang berdampingan dengannya sekarang. Ia terus menerus hidup dengan ketiadaan mawar didekatnya, tanpa melihat indahnya kelopak sang bunga, tanpa menghirup wanginya, tanpa merasakan sejuknya hamparan taman yang selalu ia hampiri dahulu sampai kini hanya tulang yang berselaput kulit keriput yang tersisa dari nona mawar yang telah tua renta bersama dengan suaminya yang hanya meringkuk di atas tempat tidur. Namun, mereka berdua tetap merasakan kebahagiaan yang tak terhingga atas anaknya yang kini meneruskan dan melanjutkan arti kehidupan mereka kelak. Mereka yakin anak yang sangat mereka sayangi akan menjadi anak yang baik seperti layaknya bunga mawar. Harum dan menyegarkan. Wanita itu renta setia merawat suaminya hingga pada waktunya tiba. Memang kehendak Tuhan, wanita itu harus menerima kenyataan. Menerima bahwa sang suami telah berpulang meninggalkannya untuk menghadap kepadaNya. Sedih yang teramat menyelimuti wanita mawar serta anaknya. Begitu usai pemakaman, secara tiba-tiba hati sang wanita merasa rindu. Rindu kepada masa lalunya, sebuah tempat yang sangat ia rindukan. Taman mawar. Dengan tergopoh-gopoh ia serta sang anak membawa sekop dan sebatang mawar hitam untuk mereka tanam di lahan penuh mawar itu. Namun sang wanita terperanjat ketika didapatinya lahan tersebut penuh dengan bunga-bunga mawar dengan berbagai warna hasil dari mawar yang ia tanam dahulu, namun taman itu tampak sangat terawat dan seperti disiram serta dipupuk setiap hari. Ia heran, siapa yang telah berbaik hati merawat lahan kecilnya itu. Tak cukup itu saja. Ia mendapati adanya serumpun mawar putih yang mekar indahnya. Seingatnya, ia sama sekali belum pernah menanam mawar putih di taman kecilnya itu. Awalnya ia hanya acuh tak acuh dan melanjutkan untuk menanam mawar hitam yang gelap, senada dengan langit dan hati wanita itu. Pekat, kelabu, dan hampa.


Di rak buku yang berada di kamar wanita tua itu tak sengaja ia temukan sepucuk surat kecil.

"Untuk istriku tercinta"

Lama sudah kita bersama, sepertinya kau cukup sibuk untuk mengurus kebun kecil itu. Jadi biarkan aku yang mengurusnya karena kebunmu adalah kebunku juga. Maafkan aku jika sampai saat ini kau belum mengetahuinya. Aku juga meminta maaf atas kelancanganku menanam sebatang mawar putih disana. Kau tahu makna mawar putih? Kau dan aku, serta anak kita. Cinta kita akan selalu bersemi. Cinta yang putih, suci dan abadi. Walaupun akan ada diantara kita yang pergi, tak akan ada cinta yang pergi. Apapun yang terjadi cinta kita akan selalu ada di taman itu. Lihatlah mawar - mawar itu, hatimu akan kembali bersemi dan tetap lanjutkan hidup kita masing-masing dengan penuh senyuman layaknya sang mawar


Tetes demi tetes lautan air mata itu meleleh di pipi sang wanita itu. Tangannya yang keriput memeluk sang anak yang ikut merasakan sendunya hari itu. Benar, cinta mereka akan abadi dan suatu saat akan bersatu kembali di lahan kecil yang penuh cinta itu.
"Benar kata ayahmu, cinta kita abadi layaknya mawar putih terakhir darinya"



Friday, September 7, 2012

When the Autumn Comes

Autumn, I'll try to hate
all of our memories,
but actually I can't 
Kembalilah, kembalilah angin hangat yang aku rindukan. Aku tak ingin masa itu berakhir. Aku tak mau tergantikan oleh dinginnya hawa yang akan datang. Meski tetap sendiri, semuanya tak kan sama. Tidak, hidupku tak sedatar permukaan air. Hidupku berwarna, hangat dan penuh cinta oleh orang-orang disekitarku. Hanyasaja aku tak suka musim dingin itu tiba. Aku tak ingin sesuatu yang dingin itu menyerangku kembali. Aku benci sesuatu yang dingin, entah itu salju, air hujan atau embun. Pemuda itu, dia mengingatkanku pada semua hal itu. Dia begitu dingin, tak pernah suka musim panas. Namun satu hal, dia mengajarkanku sesuatu yang luar biasa di masa lampau, dimasa kami saling memiliki dahulu. Dimana kami harus saling mengerti.
Musim gugur, dia mengajarkanku menyukai campuran dingin dan hangatnya angin yang menyapa kami, dia mengajarkanku menyapa setiap dedaunan yang jatuh, dia mengajakku bermain di hamparan luas kebun dandelion walaupun da sendiri berat dan tetap berusaha menyukai angin hangat sisa musim panas sebelumnya. Ketika kami mengejar dedaunan bersama, aku sangat mengingat waktu itu dengan persis. Sesuatu yang baru aku sadari, kami pertama kali bertemu saat musim gugur. Dia melihatku duduk di bangku taman, dia mulai menggambar sesuatu, dedaunan dan seorang gadis berparas polos dan manis diatas kertas.
"Maukah kau menerima gambarku ?" Kalimat pertama yang dia ucapkan.
Lalu aku mengambilnya, bahu kami yang bersentuhan membuat hatiku tak karuan saat itu. Mungkin bukan hanya aku yang merasakannya. Sekarang, tanpa pemuda itu aku masih bisa tertawa. Entah apa yang aku pikirkan, hanyasaja kerinduan hati ini tiba-tiba menyeruak datang kala musim gugur ini tiba. Angin sejuk, dedaunan berjatuhan, dandelion bertebaran, hal itu mengingatkanku pada kisah kami terdahulu. Angin, bawalah terbang hatiku yang telah gugur bersama potongan memori yang masih saja tertinggal di dalamnya. Tolong angin, aku tak mau pemuda itu lagi.

Tuesday, September 4, 2012

Aku #5

I'll pray for your happiness 
"Baiklah, cukup bersenang-senang untuk hari ini."
"Cukup?" Aku pikir awalnya dia bosan di tempat itu dan akan mengajakku ke tempat lain.
Dia berbalik dan berjalan lurus meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang.
"Hey! Tunggu"
Tapi dia tak kunjung berbalik, ia malah semakin jauh.. jauh..
Dia membuatku menyadari sesuatu, tempat ini hanya sebuah permintaan maaf. Dia tak pernah berpikir tulus untuk membuatku bahagia. Dia selalu saja, tak hentinya membuat air mataku mengalir tanpa mencoba untuk menghentikan derasnya rasa sedih yang ia timbulkan. Awan mendung kembali datang. Sebelum aku tergeletak pingsan lagi, aku segera pulang untuk menenangkan semuanya. Menenangkan diriku, pikiranku dan hatiku.
"Kriiinngggg" Suara ponselku berdering. Entah untuk kesekian kalinya, aku tak menyadari itu. Mata ini kupaksa untuk bergerak, tubuhku terasa lelah sekali. Rasa kantuk yang menyerangku seakan tak bisa kutangkis. Jari-jari tanganku menggapai meja didekat tempat tidurku.
"Halo"
"Ika... ..."
Seperti aliran listrik yang menyengat, mataku terbelalak. Ku singkap selimut yang tadi menjadi sarang tidurku. Ku basuk muka dan bergegas menuju keluar. Menghadapi kenyataan yang akan terjadi. Aku percaya everything's will be okay. Diluar hujan, hujan gerimis disertai sepoi angin yang lembut dan menyegarkan. Kuraih payung berwarna hitam sebelum aku pergi kesana. Ke rumah sakit.

Terdiam, mata terpejam, Pucat, tanpa sehelai rambut, ia terlihat begitu dingin.
Aku memaksakan langkah demi langkah hingga tiba didepannya. Di depan pemuda itu, pemuda yang selalu menyakitiku, selalu membuatku menunggu, selalu membuat tangis, pemuda yang selalu aku cintai.
Aku menepuk punggung tangannya dengan kasar berharap dia bangun dan mengatakan april mob. Tapi apa yang aku dapat? Aku hanya bisa membekap mulutku sendiri, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, aku hanya bisa menyesali betapa bodohnya aku tak menyadari itu sebelumnya. Dia sakit, dia tersiksa selama ini. Dia tetap mempedulikanmu Ika, bahkan saat dia berada di ambang kematian. Otakku otomatis memutar memori beberapa jam yang lalu di tempat itu, di tempat yang penuh dandelion. Di tempat yang penuh harapan.
"Sudah berapa lama?" Tanyaku dengan serak
"2 tahun." Jawab wanita tua yang selalu menemaninya. Wanita yang juga merasakan hal yang sama denganku. Dia yang paling terluka, dibanding aku dia lebih lama mengenal pemuda itu, dia lebih tahu tentang pemuda itu, dan dialah yang telah melahirkannya.
"Aku begitu bodoh bukan? Bukan begitu ibu?" Aku jatuh tersungkur di lantai seiring pecahnya tangisanku. Menangis, hanya itu yang kubisa sekarang. Bagaimana caranya mengembalikan pemuda itu? Aku ingin melihatnya sehat, aku tak ingin kanker itu mengambilnya dariku.
"Kenapa tidak kemoterapi? ayo bu, cepat kemoterapi. atau ayo bawa dia ke rumah sakit yang lebih bagus. Ayo bu, kenapa ibu diam saja. Cepaaatt..." Isakanku semakin menjadi-jadi. Tampak ibunya hanya bisa menunduk, tanpa kata.
"Terlambat" Kata-kata itu, seperti kata yang yang menyakitkan. Kata yang tak mengandung harapan. Kata yang harus dibuang.
Aku menyeka air mataku setelah menyadari kebodohanku, pacar macam apa aku ini yang benar-benar tak menyadari sesuatu yang besar menimpa orang yang aku cintai. Pacar macam apa aku ini yang hanya mementingkan diri sendiri.
"Selama dia mengenalmu, dia begitu dewasa. Dia bijak, selalu bisa memahami ibu. Saat ibu terpuruk, ia selalu menceritakan seorang gadis yang begitu tegar, kuat. Dia berharap ibu bisa menjadi gadis itu. Dia berharap ibu bisa seperti kamu Ika."
Sekali lagi air mata ini tak terbendung lagi, ia terus menerus mengalir seperti hujan. Hujan yang deras.
Kulirik pemuda itu terkulai lemas, aku dapat melihat kesedihan dari wajahnya. Disudut matanya kulihat sebutir benda bening yang meluncur halus dipipinya. Dia mendengarkanku.
"Kenapa menangis. Kau tak boleh menangis. Kau tampan, aku tak mau air matamu merusak wajah tampanmu." Aku menghampirinya dan menghapus air mata itu. Air mata terakhir darinya. Kupandang ia lagi, napasnya telah habis. Ia telah meninggalkan 2 wanita yang begitu mencintainya. Aku meremas tangannya, menenggelamkan wajahku dipunggung tangan yang dingin itu. Sudah berakhir. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya dimanapun ia berada. Aku yakin ia juga mengharapkan hal yang sama.


Monday, September 3, 2012

Aku #4

Let's catch dandelion together
Tubuhku masih meringkuk di balik selimut, rasanya aku tak menyukai pagi yang mendung ini. Suasana ini, seharusnya ia minimal meminta maaf atas apa yang telah diucapkannya kemarin. Paling tidak berkata bahwa semua itu bohong, ia hanya bercanda. Sungguh aku terlalu naif, aku tak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkannya sekalipun ia berada di kutub utara. Tapi kenyataan kemarin itu yang membuatku berpikir seribu kali untuk mempertimbangkan kembali pola pikiran bodohku itu. Jelas saja ia dingin seperti itu. Apalagi yang membuatnya seperti itu kalau bukan wanita lain. Apa? wanita lain? tolong Ika, kau masih percaya padanya hingga saat ini. Jangan cemari pikiranmu dengan hipotesa murahan semacam itu. Aku yakin seyakin-yakinnya pemuda itu tetap mencintaiku, seperti yang kurasakan padanya selama ini. Kuhela napas sedalam-dalamnya, berniat untuk tidak sama sekali memikirkan pemuda itu, namun niatku tak berhasil. Segera saja kuganti pakaian, keluar menantang dinginnya sepoi angin, menantang tebalnya kabut. Aku ingin kejelasan itu sekarang. Harus sekarang.
Kuraih handphone-ku, jemariku menari diatas keyboardnya. Aku menunggu di taman itu sedetik, semenit, dan hampir 4 jam berlalu. Namun sosok itu tak kunjung datang. Puas dengan kekecewaan itu, kuputuskan untuk kembali. Aku telah mengetahui bahwa ini semua akan sia-sia.
"Apa aku melakukan kesalahan yang besar? Katakan padaku, jangan kau menyudutkan aku dalam posisi yang tak jelas seperti ini. Tolong... Jangan biarkan hatiku membenci hati yang selama ini sangat aku cintai. Tolong kembalikan kepercayaan yang selama ini aku berikan kepadamu." Aku menunduk lemas, kali ini hujan tak turun walaupun langit begitu pekat. Lagi-lagi dengan gontai kupaksakan kedua kakiku untuk menuntunku pulang. Kedua kakiku tak bisa membantu sepertinya, ia terjatuh bersamaan dengan tubuhku yang lemas dengan mata yang berkunang-kunang. Aku tak ingat apa-apa lagi, tapi tadi rasanya aku bermimpi  pemuda itu datang dan menolongku saat pingsan. Buru-buru kubuka kelopak mataku. Putih, hanya itu yang terlihat. Mataku menerawang ke semua sudut, ahh.. ternyata rumah sakit.
"Permisi, Siapa yang membawa saya kemari ya?" Aku menghentikan perawat yang sedang menanganiku
"Seorang pemuda sepertinya tadi, tidak usah cemas. Semua administrasi telah diselesaikan. Anda bisa pulang hari ini jika kondisi anda dinyatakan pulih oleh dokter."
Aku mengangguk. Siapa ya?
Untunglah hari ini aku bisa bebas dari neraka yang penuh obat-obatan itu. Aku benci berada di rumah sakit. Secara otomatis rasa sesakku muncul kembali. Pemuda itu, apa sebenarnya yang ia sembunyikan dariku? Apa dia ingin bermain-main saja denganku?
Aku berjalan melewati jalan setapak, kelopak bunga dandelion berterbangan di udara, tampaknya mereka ingin menghiburku. Wajahku menunduk menyusuri kasarnya tanah berbatu. Langkahku terhenti, mataku menangkap sepasang kaki dengan sepatu kets didepanku. Wajahku terangkat.
"......"
"Ika"
Ia memanggil namaku
"Aku suka saat kau memanggil namaku seperti itu"
"Ika, Ika"
Mataku berkaca-kaca, aku menatapnya lembut. Aku merasakan betapa besarnya kerinduan yang telah kutahan untuknya.
"Ayo kita jalan-jalan" Dia menggapai tanganku. Sungguh, aku tak bisa menggambarkan besarnya kebahagiaanku.
"Tunggu, kenapa tiba-tiba..."
"Ayolah, sebelum aku berubah pikiran"
Aku tersenyum. Seperti kelopak bunga dandelion, ia selalu berjalan mengikuti angin selama angin itu masih berhembus. Itulah kesamaanku dengan bunga dandelion yang selalu mengikuti pemuda itu selama ia masih dekat denganku.
"Memakai topi bukan gayamu." Tanganku meraih topi yang ia kenakan, namun cepat-cepat ia menepisnya.
"Bukankah aku dulu memberitahumu, sebelum aku bekerja aku mengikuti militer. Rambutku belum tumbuh, ini memalukan."
"Baiklah, kemana kita pergi hari ini?"
"Diamlah satu hari ini saja. Cukup ikuti aku dan berikan perhatianmu hanya untuk aku saja." Ujarnya sembari merangkulku.
"Tidak adil."
"Apa?"
"Mengikutimu? Setelah apa yang kau lakukan? Kau menyakitiku. Kau tak sadar?"
"Kau benar-benar menuntut alasan?"
Aku mengangguk dengan tatapan sinis padanya.
"Tak ada alasan. Ayo pergi."
Mau buat apa? Bersama dirinya itu yang terpenting. Karena saat aku berada di sisinya, tak ada alasan yang terpikir olehku mengapa aku harus bersamanya, tak ada alasan mengapa aku memilihnya dan menerimanya. Dia tampan dan baik, itu bukan alasan. Itu fakta. Aku menyukai tiap orang yang baik padaku termasuk dia. Tapi seringkali ia menyakitiku, membuatku merah, menunggu, kecewa, menangis. Tapi seburuk apapun sikapnya aku tetap ingin bersamanya. Jadi 'baik' itu bukan alasan. Lalu tampan. Semua wanita menyukai pria tampan tak terkecuali aku. Namun ketika ia terlihat sangat buruk saat ia baru bangun, belum membasuh wajah, saat wajahnya berminyak, aku tetap menyukainya. Jadi tampan bukan alasan juga. Rasanya susah untuk menemukan alasan itu. Jadi aku memahaminya saat ia tak memberitahu alasan ia meninggalkanku kemarin.
Menakjubkan. Hanya itu yang dapat terucap ketika ia membawaku ke tempat penuh dengan bunga dandelion.
"Kau suka?"
Aku hanya mengangguk bersemangat. Aku berlari menggapai kelopak dandelion yang berterbangan. Sekarang aku pasti sangat mirip anak kecil. Ia hanya tersenyum melihatku dari kejauhan.
"Hei, ayo kesini. Kenapa kau hanya diam dan melihatku dari sana?"
"Kau lebih cantik kalau dilihat dari jauh." Ujarnya agak berteriak karena jarak kami memang agak jauh saat itu.
"Baiklah, aku akan pergi jauh." Aku berlari semakin jauh. Aku berharap ia mengejarku saat itu. Namun ia tetap ditempatnya semula. Tak bergeming.
"Kenapa berhenti Ika?"
"Aku tak sanggup pergi jauh."
"Kalau begitu jangan pergi dariku."
Aku tersenyum, menghampirinya, memeluknya erat.
Aku dan dia, dia dan aku. Lengkap sekarang.

Tuesday, June 26, 2012

Aku #3

Teardrops fall like the rain
I can't stand up without you  
Gerimis mulai terdengar ramai dan perlahan menjadi hujan. Kami berdua masih berdiam diri tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya mata yang berbicara. Karena aku merasa tak tahan seperti itu, ku mulai percakapan dingin kami.
"Kehadiranmu semakin membuatku sakit."
"Kalau itu yang kau rasakan, kenapa tak pergi saja?" Jawabnya kaku. Itu sama sekali bukan jawaban yang ku ingin dengar. Bagus, hari ini ia berhasil membuat suasana hatiku kacau.
"Untuk apa kau jauh-jauh kemari jika akhirnya kau dingin padaku seperti ini?"
"Siapa bilang aku kemari untuk menemuimu? Ada urusan pekerjaan." Ujarnya.
"Baiklah, tak ada gunanya aku menunggu lagi. Ada kata-kata terakhir sebelum aku pulang?" Mataku panas, bisa kurasakan suaraku bergetar marah.
"Yah.. Kau tak perlu memikirkan aku lagi. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Jaga dirimu baik-baik Ika." Setelah menyebutkan beberapa patah kata yang begitu menusuk itu, ia bangkit dari tempat duduk dan beranjak pergi dibalik guyuran hujan nan derasnya. Tak ada hakku lagi untuk menahannya pergi, aku tak pantas lagi memegang tangannya dan memohon agar ia lebih lama bersamaku. Demi Tuhan, tega sekali ia meninggalkan dan mencampakkan aku setelah 6 tahun lamanya kita tak bertemu. Timbul beberapa hipotesa dalam diriku. Apa dia bosan denganku? Apa dia suka pada gadis lain? Entah.. Apapun jawabannya itu, tetap saja pada kenyataannya ia tak akan pernah lagi melihatku sebagai orang yang paling berarti dalam hidupnya. Semuanya yang pernah kami lewati, semua hal, semua susah dan senang, moment itu seakan lenyap dari benakku. Namun tak dapat aku pungkiri otakku masih saja memutar rekaman-rekaman yang harusnya terkubur rapat-rapat dalam memori. Segalanya hanya kenangan sekarang. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan dari perjalanan cintaku yang telah kandas tak berhasil kupertahankan. Ku seret diriku dibawah guyuran air langit. Kubiarkan diriku tenggelam dalam kesedihannya.
"Aaaaaarrrrrhhhhhggggggg" Tenggorokanku sakit, rasanya pita suaraku bergetar terlalu keras. Air mataku menyatu dengan hujan bercampur menjadi tetesan-tetesan kesedihan hari ini. Lututku lemas, aku bersimpuh menengadah menatap awan kelabu itu. Kuremas rambutku sendiri, ingin kusalurkan sakit hatiku pada fisik yang kumiliki, namun itu semua belum cukup. Baru aku mengerti kenapa wanita mudah sekali depresi. Dibalik rimbunnya pepohonan tak kusadari ada sepasang mata yang memandang tubuhku yang menggigil dibawah derasnya hujan. Orang itu menatap dengan penuh penyesalan. Mungkin saat ini ia sangat ingin menjadi dirinya yang sebenarnya. Tak harus berpura-pura untuk menjadi dingin, tak harus berpura-pura tak menyukaiku lagi. Sementara itu, aku mencoba menegakkan kedua lututku. Berjalan terseok-seok dengan wajah muram. Aku bahkan sangat mirip dengan orang gila, gila karena pemuda itu. Jujur saja aku belum mendapat alasan kenapa ia melakukan hal ini dengan sangat mudahnya padaku. Aku harus menagih alasan itu. Cepat atau lambat aku harus mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.
#3

Monday, June 25, 2012

Aku #2

I remember when you hurt my heart perfectly 
"Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau baru muncul sekarang?" Kata-kataku muncul diiringi suara serak dari tenggorokanku.
Ia akhirnya membalikkan badan dan menatap mataku. Astaga, kedua mata itu terlihat begitu lain. Tidak, ini seperti bukan dirinya. Makhluk apa yang ada dihadapanku? Dosakah aku jika kuakui ia begitu berbeda?
"Kau mau apa lagi?" Dari semua perbedaan itu satu hal yang tetap sama dari dulu, suaranya yang terasa begitu hangat.
"Apa kau tak merindukanku sedikitpun?"
Diam, hanya itu yang dia bisa. Kenapa ia tak mampu menjawab pertanyaan yang begitu sederhana seperti itu?
"Apa kau akan sedih jika aku pergi lagi?" Akhirnya ia membuka percakapan. Mataku terbelalak lebar mendengar ucapan lirihnya. Aneh, aku dapat merasakan getaran lain dari suara itu. Penuh dengan rasa kekhawatiran. Kenapa aku tahu? Aku tentu tak dapat membaca pikirannya, namun aku dan dia sudah sangat lama. Apapun yang coba ia sembunyikan dariku, aku bisa menerka itu dengan benar.
"Kau tahu itu, kenapa kau bertanya hal itu lagi?" Tanyaku lembut. Dia kembali diam seribu bahasa. Sadar akan hal itu, aku meminta maaf.
Sejenak ia mendeham, kemudian menatapku lekat-lekat. Diperlakukan begitu, mataku rupanya tak dapat menyembunyikan sejuta ekspresinya. Aku sendiri masih bingung rasa apa yang mesti kulukiskan pada kertas kosong kehidupanku. Entah saat itu aku merasa sedih, tapi untuk apa sedih jika seseorang yang sangat kita sayangi berada di dekat kita. Mungkin bahagia, tapi bagaimana bisa bahagia jika orang yang kita sayangi bahkan dekat dengan kita terlihat jauh berbeda dengan sebelumnya. Aku sungguh bingung.
Tetes demi tetes mutiara air itu bergulir dari sudut mataku. Ia agak trenyuh, satu langkah ia mendekat. Dua langkah, hingga kita berhadapan begitu dekat. Ia menggapai tanganku yang lemah, menggenggamnya erat. Bisa kulihat ada air tergenang di kedua matanya. Ia menangis.
"Ika" Suara seraknya kembali terdengar begitu halus.
"Tolong sebut namaku sekali lagi" Pintaku lirih
"Ika" Ujarnya sesenggukan. Ia mendekapku kuat, kurasakan beban yang selama ini ia pikul. Seberapa menderitanya ia selama 6 tahun itu? Apa terlalu berat kah sampai ia tak mampu lagi?
"Walaupun kau tak merindukanku, aku tak peduli. Walaupun kau dingin padaku, aku tak keberatan. Karena yang aku tahu, hatimu tetap akan memeluk hatiku seperti sekarang ini." Aku tersenyum dibalik pelukannya.
"Ika, tolong jangan buat seakan aku tak mempedulikanmu lagi"
"Lalu tadi itu kenapa kau terlihat seperti tak pernah mengenalku?"
"Tidak semua hal itu berakhir indah, kau tahu itu kan? Kebahagiaanmu dan kebahagiaanku suatu saat akan ada hal yang harus kita bayar sebagai manusia."
"Apa yang kau bicarakan? Sungguh, aku tak mengerti." Mungkin benar, selama kita menjalin hubungan, aku selalu dapat mengetahui isi hatinya. Namun lain dengan saat itu. Aku merasa buta. Hatinya tak bicara padaku. Hanya membisu.
 #2

Wednesday, June 20, 2012

Aku #1

You turned around and left me easily
Semusim, dua musim berhaluan semakin cepat, lain halnya dengan awan yang berarak lamban beriringan seakan ingin berlama-lama di langit. Tampak cahaya surya mengintip dari celah-celah gumpalan putih itu. Sepertinya mereka memahami rasa was-was yang kuhadapi sekarang. Jarum jam pun semakin enggan untuk melangkah lebih cepat. Rasanya begitu lambat hari itu, semua hal disekelilingku berubah menjadi musuh secara tiba-tiba. Pandangan ini tak pernah lepas dari arloji perak yang kukenakan. "Ayolah, berpikir positif" teriakan itu terus saja mengerang dan memenuhi seluruh alam pikiran di otakku. Tapi, ternyata hatiku berkata lain. Kata-kata dan pikiran positif itu lenyap tak tersisa ketika satu hal yang aku nanti sedari lama tak kunjung tampak. Apalagi ini? Aku ingin berkata padanya "hey, ini bukan lelucon". Apa dia benar-benar tak mengetahui atau ia pura-pura tak tahu bagaimana rasanya berdiri dan duduk terus menerus di tempat dengan posisi yang sama selama itu? Bagaimana bisa ia melupakannya bahkan itu janjinya sendiri. Janji ingin bertemu denganku, janji untuk melihat senyuman di wajah cerahku, janji untuk menampakkan dirinya kembali setelah 6 tahun ia berkelana ke negeri antah berantah. Sama sekali ia tak memikirkanku? Apa ini masih pantas? Tolong jelaskan semua ini. Kali ini aku tak akan menyuruhnya menutup mulut dan tak mendengarkannya. "Aku benar-benar membutuhkan penjelasanmu sekarang juga. Jadi jangan berani lagi kau pergi dariku untuk kedua kalinya. Cukup dirimu dulu yang pergi, berkelanalah sesukamu ke semua benua di dunia. Namun satu hal yang aku minta. Tolong jangan bawa hatimu ikut bersamamu, biarkan ia disini bersamaku. Aku yakin aku bisa menjaga hatimu dengan sangat baik. Percayalah padaku. Sekarang, kau boleh pergi. Hanya itu yang bisa kusampaikan. Aku tak mampu lagi meneruskan apa yang ingin kuteruskan. Aku tak mampu lagi melihat apa yang ingin kulihat. Wajahnya, ia tampak sangat tak terurus layaknya penderita busung lapar. Ia justru hanya membisu, tak sedikitpun mau menatapku. Kenapa wajah itu? Pandangannya terlihat sangat dingin.
"Apa kau sakit?"
"Bukan urusanmu aku sakit apa tidak. Apa ada lagi yang ingin kau katakan? Aku tak mau membuang waktuku hanya untuk mendengarkan hal seperti ini."
"Apa?" Orang yang dihadapanku ini bukan dirinya, bukan. Aku pasti salah orang, aku pasti salah orang.
"Apa aku perlu mengulanginya lagi? Kalau memang itu saja yang ingin kau bicarakan, bisa aku pulang sekarang? Banyak hal yang lebih penting dari ini." Tatapan dingin itu tetap saja memandang ke satu sudut. Bukan melihat diriku. Dia membalikkan punggungnya, melangkahkan kakinya langkah demi langkah hingga tubuhnya tenggelam diantara pekatnya malam.
#1

Monday, June 18, 2012

Cinta sementara, terimakasih untuk selamanya

Baiklah, tolong hentikan ini. aku harus akui, ya aku jelas salah. Terlalu salah, bisa dibilang begitu. Memang semua orang juga tau pasti semua hal dimulai dari suatu ujung dan berakhir dipangkal. Berawal dari rasa suka semasa SD, tiap kali kulihat wajah itu mataku takkan bisa kupalingkan walau sesaat. Mataku takkan bisa kukedipkan walau sedetikpun. Aku mencoba mengirim beberapa pesan rinduku untukmu kepada sepoi angin, walau ku tau angin takkan membawanya sampai dimanapun kau berada. Kucoba mengirimkannya pada deretan awan putih, walau kuyakin ia berarak jauh dari tempatmu berpijak. Kau tau? aku pun mencoba lagi mengirimkan bait-bait rindu ini pada butiran hujan, walau kutahu hujan kan memecah semua rindu ini dan menyisakan kepingan hati yang tersisa. Hubungan ini, tak terlalu lama namun terlalu cepat untuk diakhiri. Aku memahaminya, bagaimana sabarnya kau menghadapiku, menghadapi egoku yang kian memuncak, bagaimana sinisnya aku. Kenapa kau terlalu baik? Hingga aku tak tega terus menerus menjalin hubungan itu. Hingga 8 bulan kemudian, disaat kita mulai beranjak dewasa. Kau dan aku, kita berdua. aku menyadari ini hanya perasaan sebatas cinta maya. Bagaimana bisa bocah sekecil kita dulu sudah bisa memahami arti perasaan itu. Aku yakin ini semua hanya sementara, tak akan abadi seperti yang kau kumandangkan setiap pagi via telepon. Tapi hubungan ini layaknya benang kusut yang berhamburan di lantai. Berkali-kalipun kau mencoba untuk menemukan ujungnya dan memperbaikinya, kau takkan bisa melakukan itu. Sudah terlalu lama kita terbengkalai oleh perasaan egois kita masing-masing. Entah kenapa aku tak berniat sedikitpun denganmu lagi, itu kata mulutku. Kubiarkan mulutku menguasai diri dan jiwaku. Apapun yang telah kukatakan, memang itu yang harus terjadi. Hingga tak kusadari ternyata ada perasaan lain yang berbisik didalam. ia meronta-ronta kepadaku, mengingatkanku atas apa yang telah kulakukan pada cinta pertamaku yang 'sementara' itu. Yah.. terlambat sudah untuk memperbaikinya. Aku tak meminta maaf pada orang itu karena aku tau pasti. kata 'maaf' takkan mampu mengobati hati yang telah tercabik-cabik oleh egoku. Karena aku telah mencoba untuk mengukir kata 'maaf' itu di halusnya butiran pasir pantai, walau kutahu ombak kan berambisi tuk menghapusnya. Aku mencoba untuk mengukirnya di pohon mangga, namun naas petir berapi-api menumbangkan pohon itu. Tuhan sangat adil pada kita. Disaat Ia menghukumku seperti ini, kau telah menemukan kembali kepingan hati yang baru, jauh lebih indah dari kepingan hatimu yang dulu, jauh lebih lembut, lebih dan lebih dari segalanya. Tak ada kata maaf dari mulutku, dan sebagai gantinya kan ku kirimkan sebuah kata pada semburat rona senja matahari tenggelam sore ini. sebuah kata yang mewakili semuanya. Semua hal yang telah kau beri kepadaku. "Terimakasih"

Sunday, May 27, 2012

Kenangan itu..


Ketakutan itu mulai menjalar memenuhi ruang jiwaku. Ketakutan itu menjelma menjadi sebuah kenyataan pahit, begitu memuakkan. Telah lama aku menunggu untuk menanti sebuah lilin harapan yang bersinar terang di penghujung rinduku. Namun semua itu tak berlangsung lama semenjak  badai malam itu datang dan memadamkan api yang telah lama menyala. Angin itu menyejukkanku, namun  perlahan tanpa aku sadari, ia menghancurkan segala yang aku miliki. Membuat lilin yang telah lama aku pertahankan padam sia-sia. Ia berhembus pelan mengintari setiap rongga dan relung hati, dan seperti yang aku duga, angin sepoi yang telah berhembus pergi tak akan pernah kembali ke tempat yang pernah ia singgahi sebelumnya. Lilin, hanya ia satu-satunya harapanku. Harapan yang telah ku sia-siakan. Maafkanlah  atas angin yang telah memadamkanmu dan atas diriku yang tak bisa mempertahankan cahayamu, aku yang tak bisa mempertahankan cinta kita. Tinggalah aku di persimpangan tak jelas atas tujuan selanjutnya. Angin dan lilin adalah kenangan bagiku. Kini aku mencoba untuk hanya menyayangi salah satu dari segalanya. Masa lalu itu, aku tak ingin itu kembali menghampiri diriku dan aku tak mau terjebak di lubang yang sama.

Monday, April 2, 2012

Like a Cinderella story

Hari ini bagai mimpi, kau menjemputku dengan kereta kencanamu. menggapai tanganku sembari membukakan pintu kereta untukku. Malam itu begitu sempurna, aku mengenakan gaun indah dipadu dengan seuntai kalung liontin pemberianmu. Waktu berjalan sangat lama, seakan bumi lupa untuk berotasi. Kau merasakan hal yang begitu luar biasa hari itu? Aku melihatmu gagah dengan jas yang kau kenakan. Konyol, hal itu tampak seperti cerita Cinderella yang menemukan pangerannya saat itu juga. Namun aku berbeda, aku tak menemukan pangeran pada hari itu, tapi aku menemukannya jauh hari sebelum itu. Aku telah yakin akan keputusan ini. Keputusan hati tak bisa diubah dengan mudah. Kau mengerti maksudku? Kau memahami isi hatiku? Aku harap begitu, karena aku tak mau mengatakan seluruh perasaanku secara rinci kepadamu. Itu karena kau telah mengetahuinya bahkan sebelum aku mengatakan semua itu  padamu. Bodohnya aku selalu percaya padamu dan terlalu menyayangimu. Aku tak tau mengapa, tapi yang pasti aku ingin cerita kita menjadi akhir yang indah dan bahagia layaknya cerita Cinderella.

Saturday, March 31, 2012

Gray

Hujan hanya sementara, kini hanya menyisakan tetesan yang bergulir dari ranting-ranting pohon. Di balkon, aku hanya diam seribu bahasa. Dipikiranku yang ada hanya angan-angan maya yang tak pasti. Masa SMA? orang bilang masa SMA adalah masa yang indah, istimewa dan entah mengapa menurut mereka masa yang paling berharga seumur hidup. Tapi yang kurasakan hanya kehampaan dan kesendirian. Tiap tahunnya aku selalu berharap semoga hari-hariku dipenuhi oleh bunga yang bermekaran dan pelangi yang membentang indah di kehidupanku. Tapi yang ku dapat? hanya semburat warna abu-abu dan langit yang kelabu sepanjang waktu. Masa ini benar-benar menyesakkan. Aku sudah lupa sama sekali kapan terakhir aku memiliki lembaran penuh warna itu, goresan kasih dari orang yang kucintai yang telah lama meninggalkanku. Kurasa ini pembalasan, ya.. Pembalasan atas apa yang dulu terjadi pada hidup orang itu. Aku menyia-nyiakan kesempatanku sendiri. Teruskan ini! Aku tak takut pada warna-warna kelabu ini, aku tak takut pada hembusan debu yang kering menyesakkan ini. Aku telah lama seperti ini, aku telah terbiasa untuk menjadi biasa. Masa SMA, masa yang tersulit bagiku dan takkan berubah.

Friday, March 23, 2012

The Reason is... You

Benarkah itu? Kau menyukaiku juga? Beberapa kali aku mendesaknya agar buka mulut tentang mengapa dia menyukaiku? apa alasnnya? Tapi dia hanya bungkam sambil sesekali tersenyum dan menggelengkan kepalanya padaku.
"Kenapa? Aku hanya perlu tahu tentang hal itu." Rengekku kesal.
"Kau tahu mengapa?" Ujarnya sembari memancarkan senyumnya yang terindah.
"Mengapa?" Aku semakin serius dan memasang wajah yang sangat penasaran.
"Alasannya adalah, dirimu."
"...." Aku tak puas dengan jawaban yang dia berikan padaku. Sungguh sebuah jawaban yang simple bagiku.
Dia menatapku linglung, aku dapat melihat sorot matanya yang cemas akan diriku. Seolah aku bisa menebak perasaannya saat itu, sontak aku tersenyum simpul kepadanya.
"Alasannya diriku?" Aku bertanya hati-hati.
"Mungkin menurutmu bukan alasan yang kau harapkan, namun memang hanya itu. Aku tak memiliki alasan mengapa aku dengan mudahnya jatuh cinta padamu." Ia menatapku lagi, dan dia terlihat menahan tawa ketika melihat ada semburat merah yang terpancar di pipiku.
Aku sangat gugup waktu itu, aku merasakan ada beberapa bulir keringat membasahi punggungku.
"Hey, jangan tegang seperti itu. Aku tak akan memakanmu." Gelak tawa pecah diantara kami.
"Kau tahu? Kau satu-satunya orang yang bisa membuatku gemetar seperti sekarang ini."
Dia tersenyum, tiba-tiba saja dia mengangkat daguku. Wajahnya mendekat, astaga! ia mengecup keningku dengan lembut. "Kaulah alasanku untuk hidup di dunia yang sulit ini." Katanya sedikit berbisik. Aku tersenyum manis kepadanya, burung-burung yang melihat kami berdua seakan ikut merayakan suasana kebahagian yang penuh cinta. Terimakasih untuk hari ini..

Spring Breeze

Diluar sedang cerah, hhhmm.. Kulihat awan berarak berbaris di langit biru, bunga-bunga sedang bersemi memamerkan indah warna kelopaknya yang merekah. Angin yang bertiup sepoi membawa aroma bunga ke seisi alam. Saat ini waktu yang tepat untuk memulai hari yang penuh warna. Ku ambil handphone yang sedari tadi kusembunyikan di saku jaket tipisku dan kuintip layarnya. tampak ada satu sms yang sangat mengejutkan. Omo! apa aku bermimpi? apa ini kenyataan? Astaga, ini sms pertama darinya. Padahal sebelum ini kita tak saling kenal satu sama lain. Memang aku menyimpan nomor hp-nya dan itu hanya untuk pajangan saja. Sungguh sejak aku memperoleh nomor hp-nya 1 tahun yang lalu, sampai sekarang aku tak memiliki keberanian untuk sekedar menyapa atau mengucapkan "hai kak, selamat pagi" atau "have a nice day" itu terdengar seperti sudah akrab padahal kenal saja belum. Namun hari ini jauh dari kata 'mustahil'. Kau tahu? hidup memang mengandung banyak hal yang terkesan 'mustahil'. Tapi sesungguhnya apapun dapat terjadi, seperti sekarang ini. Dia mengucapkan "hai Merylin, boleh aku mengenalmu lebih jauh?"
Bukankah itu kedengarannya seperti upaya pendekatan? apa dia menyukaiku? apa hanya iseng saja? atau aku jadi bahan taruhan? Tidak..tidak...tidak... sebelum hal yang pasti terjadi mana boleh aku berpikir yang tidak-tidak. Today is magic, Is it real? or pretend?

Thursday, March 22, 2012

Maaf..

"Krik, krik, krik" Hanya sapaan dari jangkrik-jangkrik itu yang menghiasi kelabu malam ini. Rasanya begitu senyap. Aku kalut dalam pikiranku sendiri entah apa yang kupikirkan aku tak dapat menerka perasaanku sendiri. Tiba-tiba sebersit masa lalu menghantuiku lagi. Masa lalu yang tak akan mungkin terlupa olehku. Aku menyesal telah memperlakukannya seperti itu, sungguh sekarang ini kau berhak membenciku.
Dulu padahal aku mengetahui dan sangat memahami jika kaulah satu-satunya orang yang mau menerima segala kelebihan dan kekuranganku. Walaupun saat itu usia kita masih belum cukup matang untuk menjalin suatu hubungan serius, aku tetap menyadari ketulusan yang terpancar dari sorot matamu. Begitu malangnya dirimu aku manfaatkan. Sungguh, aku orang yang jahat! Jahat! Aku benar-benar seperti tak mau melihat orang yang setia didepan mataku, justru aku mencari-cari orang yang jauh lebih sempurna dari dirimu, bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Selama itukah kau bertahan menghadapi perlakuanku? Kenapa kau bertahan untukku? Aku mengerti sekarang ini sudah sangat terlambat untukku. Namun, karma ya karma. Aku bahkan telah menerima semua itu. Yang aku butuhkan saat ini hanya maaf darimu, itu saja. Aku mohon setelah kau memaafkanku, kau bisa menjauhiku, kau bisa mencampakkanku layaknya perlakuanku padamu dahulu. Maafkan aku.. Aku mohon,

Wednesday, March 21, 2012

Penjaga Hati

Sejenak ku tatap dedaunan kering sisa badai kemarin.
Ku hela napas dalam-dalam. aku rasakan sepoinya angin sampai ke tulang rusukku.
Apapun yang terjadi hari ini, aku harus lupakan sejenak. Ku sandarkan bahuku yang lelah di kursi panjang penuh dedaunan kering itu. Perlahan air mata yang berusaha kutahan akhirnya bergulir membasahi pipiku. Dadaku sesak, rasanya sungguh kalut mengingat kau mengungkapkan semuanya secepat ini. Kenapa harus kau? Padahal hanya kau satu-satunya orang yang sangat memahamiku saat ini. Disaat kita telah jauh melangkah, ketika kau lemah aku menopangmu. Ketika aku luka, kau datang bagai perban yang membalut lukaku. Tak kusangka ada satu hubungan yang selama ini tertutupi. Satu hubungan yang meninggalkan penyesalan yang begitu mendalam di jiwaku. Hubungan yang selama ini suci dan indah dihapuskan dengan hubungan yang bahkan lebih kental dari air. Persaudaraan.
Siapa yang mesti aku salahkan? Kau? Ibu? Tuhan?
Seharusnya kita tidak dipertemukan hanya untuk mengetahui jati diri kita masing-masing. Seharusnya kita tak dipisahkan sejak awal. Jika aku mengetahui akhirnya akan dramatis seperti ini, lebih baik aku menolak ajakan kencanmu, menolak cincin pertunangan darimu. Seharusnya aku tak menjalani cinta terlarang ini. Kakak, aku mencintaimu lebih dari apapun karena kau penjaga hatiku, bukan karena kau saudara kandungku. Aku mohon Kak, jangan jadi saudaraku.. Aku mohon hapuskan takdir pahit yang membelit kehidupan kita. Kembalilah ke masa dimana kita saling memiliki layaknya dahulu.Hapuskan kak! Tuhan, Ibu dan mereka semua itu pembohong. Kita tak memiliki hubungan darah sama sekali. Kau dan aku sama sekali tak mirip, dan aku yakin ini hanya kesalahan. Tolong katakan ini hanya kesalahan, siapapun tolong aku. Kakak, aku mencintai kakak. Jangan paksa aku untuk berhenti memujamu, jangan paksa aku untuk membakar surat cinta darimu, dan jangan paksa aku untuk meninggalkanku karena kau penjaga hatiku. Aku yakin kau akan setia pada kata hatimu saat ini.