Pages


Friday, September 7, 2012

When the Autumn Comes

Autumn, I'll try to hate
all of our memories,
but actually I can't 
Kembalilah, kembalilah angin hangat yang aku rindukan. Aku tak ingin masa itu berakhir. Aku tak mau tergantikan oleh dinginnya hawa yang akan datang. Meski tetap sendiri, semuanya tak kan sama. Tidak, hidupku tak sedatar permukaan air. Hidupku berwarna, hangat dan penuh cinta oleh orang-orang disekitarku. Hanyasaja aku tak suka musim dingin itu tiba. Aku tak ingin sesuatu yang dingin itu menyerangku kembali. Aku benci sesuatu yang dingin, entah itu salju, air hujan atau embun. Pemuda itu, dia mengingatkanku pada semua hal itu. Dia begitu dingin, tak pernah suka musim panas. Namun satu hal, dia mengajarkanku sesuatu yang luar biasa di masa lampau, dimasa kami saling memiliki dahulu. Dimana kami harus saling mengerti.
Musim gugur, dia mengajarkanku menyukai campuran dingin dan hangatnya angin yang menyapa kami, dia mengajarkanku menyapa setiap dedaunan yang jatuh, dia mengajakku bermain di hamparan luas kebun dandelion walaupun da sendiri berat dan tetap berusaha menyukai angin hangat sisa musim panas sebelumnya. Ketika kami mengejar dedaunan bersama, aku sangat mengingat waktu itu dengan persis. Sesuatu yang baru aku sadari, kami pertama kali bertemu saat musim gugur. Dia melihatku duduk di bangku taman, dia mulai menggambar sesuatu, dedaunan dan seorang gadis berparas polos dan manis diatas kertas.
"Maukah kau menerima gambarku ?" Kalimat pertama yang dia ucapkan.
Lalu aku mengambilnya, bahu kami yang bersentuhan membuat hatiku tak karuan saat itu. Mungkin bukan hanya aku yang merasakannya. Sekarang, tanpa pemuda itu aku masih bisa tertawa. Entah apa yang aku pikirkan, hanyasaja kerinduan hati ini tiba-tiba menyeruak datang kala musim gugur ini tiba. Angin sejuk, dedaunan berjatuhan, dandelion bertebaran, hal itu mengingatkanku pada kisah kami terdahulu. Angin, bawalah terbang hatiku yang telah gugur bersama potongan memori yang masih saja tertinggal di dalamnya. Tolong angin, aku tak mau pemuda itu lagi.

Tuesday, September 4, 2012

Aku #5

I'll pray for your happiness 
"Baiklah, cukup bersenang-senang untuk hari ini."
"Cukup?" Aku pikir awalnya dia bosan di tempat itu dan akan mengajakku ke tempat lain.
Dia berbalik dan berjalan lurus meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang.
"Hey! Tunggu"
Tapi dia tak kunjung berbalik, ia malah semakin jauh.. jauh..
Dia membuatku menyadari sesuatu, tempat ini hanya sebuah permintaan maaf. Dia tak pernah berpikir tulus untuk membuatku bahagia. Dia selalu saja, tak hentinya membuat air mataku mengalir tanpa mencoba untuk menghentikan derasnya rasa sedih yang ia timbulkan. Awan mendung kembali datang. Sebelum aku tergeletak pingsan lagi, aku segera pulang untuk menenangkan semuanya. Menenangkan diriku, pikiranku dan hatiku.
"Kriiinngggg" Suara ponselku berdering. Entah untuk kesekian kalinya, aku tak menyadari itu. Mata ini kupaksa untuk bergerak, tubuhku terasa lelah sekali. Rasa kantuk yang menyerangku seakan tak bisa kutangkis. Jari-jari tanganku menggapai meja didekat tempat tidurku.
"Halo"
"Ika... ..."
Seperti aliran listrik yang menyengat, mataku terbelalak. Ku singkap selimut yang tadi menjadi sarang tidurku. Ku basuk muka dan bergegas menuju keluar. Menghadapi kenyataan yang akan terjadi. Aku percaya everything's will be okay. Diluar hujan, hujan gerimis disertai sepoi angin yang lembut dan menyegarkan. Kuraih payung berwarna hitam sebelum aku pergi kesana. Ke rumah sakit.

Terdiam, mata terpejam, Pucat, tanpa sehelai rambut, ia terlihat begitu dingin.
Aku memaksakan langkah demi langkah hingga tiba didepannya. Di depan pemuda itu, pemuda yang selalu menyakitiku, selalu membuatku menunggu, selalu membuat tangis, pemuda yang selalu aku cintai.
Aku menepuk punggung tangannya dengan kasar berharap dia bangun dan mengatakan april mob. Tapi apa yang aku dapat? Aku hanya bisa membekap mulutku sendiri, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, aku hanya bisa menyesali betapa bodohnya aku tak menyadari itu sebelumnya. Dia sakit, dia tersiksa selama ini. Dia tetap mempedulikanmu Ika, bahkan saat dia berada di ambang kematian. Otakku otomatis memutar memori beberapa jam yang lalu di tempat itu, di tempat yang penuh dandelion. Di tempat yang penuh harapan.
"Sudah berapa lama?" Tanyaku dengan serak
"2 tahun." Jawab wanita tua yang selalu menemaninya. Wanita yang juga merasakan hal yang sama denganku. Dia yang paling terluka, dibanding aku dia lebih lama mengenal pemuda itu, dia lebih tahu tentang pemuda itu, dan dialah yang telah melahirkannya.
"Aku begitu bodoh bukan? Bukan begitu ibu?" Aku jatuh tersungkur di lantai seiring pecahnya tangisanku. Menangis, hanya itu yang kubisa sekarang. Bagaimana caranya mengembalikan pemuda itu? Aku ingin melihatnya sehat, aku tak ingin kanker itu mengambilnya dariku.
"Kenapa tidak kemoterapi? ayo bu, cepat kemoterapi. atau ayo bawa dia ke rumah sakit yang lebih bagus. Ayo bu, kenapa ibu diam saja. Cepaaatt..." Isakanku semakin menjadi-jadi. Tampak ibunya hanya bisa menunduk, tanpa kata.
"Terlambat" Kata-kata itu, seperti kata yang yang menyakitkan. Kata yang tak mengandung harapan. Kata yang harus dibuang.
Aku menyeka air mataku setelah menyadari kebodohanku, pacar macam apa aku ini yang benar-benar tak menyadari sesuatu yang besar menimpa orang yang aku cintai. Pacar macam apa aku ini yang hanya mementingkan diri sendiri.
"Selama dia mengenalmu, dia begitu dewasa. Dia bijak, selalu bisa memahami ibu. Saat ibu terpuruk, ia selalu menceritakan seorang gadis yang begitu tegar, kuat. Dia berharap ibu bisa menjadi gadis itu. Dia berharap ibu bisa seperti kamu Ika."
Sekali lagi air mata ini tak terbendung lagi, ia terus menerus mengalir seperti hujan. Hujan yang deras.
Kulirik pemuda itu terkulai lemas, aku dapat melihat kesedihan dari wajahnya. Disudut matanya kulihat sebutir benda bening yang meluncur halus dipipinya. Dia mendengarkanku.
"Kenapa menangis. Kau tak boleh menangis. Kau tampan, aku tak mau air matamu merusak wajah tampanmu." Aku menghampirinya dan menghapus air mata itu. Air mata terakhir darinya. Kupandang ia lagi, napasnya telah habis. Ia telah meninggalkan 2 wanita yang begitu mencintainya. Aku meremas tangannya, menenggelamkan wajahku dipunggung tangan yang dingin itu. Sudah berakhir. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya dimanapun ia berada. Aku yakin ia juga mengharapkan hal yang sama.


Monday, September 3, 2012

Aku #4

Let's catch dandelion together
Tubuhku masih meringkuk di balik selimut, rasanya aku tak menyukai pagi yang mendung ini. Suasana ini, seharusnya ia minimal meminta maaf atas apa yang telah diucapkannya kemarin. Paling tidak berkata bahwa semua itu bohong, ia hanya bercanda. Sungguh aku terlalu naif, aku tak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkannya sekalipun ia berada di kutub utara. Tapi kenyataan kemarin itu yang membuatku berpikir seribu kali untuk mempertimbangkan kembali pola pikiran bodohku itu. Jelas saja ia dingin seperti itu. Apalagi yang membuatnya seperti itu kalau bukan wanita lain. Apa? wanita lain? tolong Ika, kau masih percaya padanya hingga saat ini. Jangan cemari pikiranmu dengan hipotesa murahan semacam itu. Aku yakin seyakin-yakinnya pemuda itu tetap mencintaiku, seperti yang kurasakan padanya selama ini. Kuhela napas sedalam-dalamnya, berniat untuk tidak sama sekali memikirkan pemuda itu, namun niatku tak berhasil. Segera saja kuganti pakaian, keluar menantang dinginnya sepoi angin, menantang tebalnya kabut. Aku ingin kejelasan itu sekarang. Harus sekarang.
Kuraih handphone-ku, jemariku menari diatas keyboardnya. Aku menunggu di taman itu sedetik, semenit, dan hampir 4 jam berlalu. Namun sosok itu tak kunjung datang. Puas dengan kekecewaan itu, kuputuskan untuk kembali. Aku telah mengetahui bahwa ini semua akan sia-sia.
"Apa aku melakukan kesalahan yang besar? Katakan padaku, jangan kau menyudutkan aku dalam posisi yang tak jelas seperti ini. Tolong... Jangan biarkan hatiku membenci hati yang selama ini sangat aku cintai. Tolong kembalikan kepercayaan yang selama ini aku berikan kepadamu." Aku menunduk lemas, kali ini hujan tak turun walaupun langit begitu pekat. Lagi-lagi dengan gontai kupaksakan kedua kakiku untuk menuntunku pulang. Kedua kakiku tak bisa membantu sepertinya, ia terjatuh bersamaan dengan tubuhku yang lemas dengan mata yang berkunang-kunang. Aku tak ingat apa-apa lagi, tapi tadi rasanya aku bermimpi  pemuda itu datang dan menolongku saat pingsan. Buru-buru kubuka kelopak mataku. Putih, hanya itu yang terlihat. Mataku menerawang ke semua sudut, ahh.. ternyata rumah sakit.
"Permisi, Siapa yang membawa saya kemari ya?" Aku menghentikan perawat yang sedang menanganiku
"Seorang pemuda sepertinya tadi, tidak usah cemas. Semua administrasi telah diselesaikan. Anda bisa pulang hari ini jika kondisi anda dinyatakan pulih oleh dokter."
Aku mengangguk. Siapa ya?
Untunglah hari ini aku bisa bebas dari neraka yang penuh obat-obatan itu. Aku benci berada di rumah sakit. Secara otomatis rasa sesakku muncul kembali. Pemuda itu, apa sebenarnya yang ia sembunyikan dariku? Apa dia ingin bermain-main saja denganku?
Aku berjalan melewati jalan setapak, kelopak bunga dandelion berterbangan di udara, tampaknya mereka ingin menghiburku. Wajahku menunduk menyusuri kasarnya tanah berbatu. Langkahku terhenti, mataku menangkap sepasang kaki dengan sepatu kets didepanku. Wajahku terangkat.
"......"
"Ika"
Ia memanggil namaku
"Aku suka saat kau memanggil namaku seperti itu"
"Ika, Ika"
Mataku berkaca-kaca, aku menatapnya lembut. Aku merasakan betapa besarnya kerinduan yang telah kutahan untuknya.
"Ayo kita jalan-jalan" Dia menggapai tanganku. Sungguh, aku tak bisa menggambarkan besarnya kebahagiaanku.
"Tunggu, kenapa tiba-tiba..."
"Ayolah, sebelum aku berubah pikiran"
Aku tersenyum. Seperti kelopak bunga dandelion, ia selalu berjalan mengikuti angin selama angin itu masih berhembus. Itulah kesamaanku dengan bunga dandelion yang selalu mengikuti pemuda itu selama ia masih dekat denganku.
"Memakai topi bukan gayamu." Tanganku meraih topi yang ia kenakan, namun cepat-cepat ia menepisnya.
"Bukankah aku dulu memberitahumu, sebelum aku bekerja aku mengikuti militer. Rambutku belum tumbuh, ini memalukan."
"Baiklah, kemana kita pergi hari ini?"
"Diamlah satu hari ini saja. Cukup ikuti aku dan berikan perhatianmu hanya untuk aku saja." Ujarnya sembari merangkulku.
"Tidak adil."
"Apa?"
"Mengikutimu? Setelah apa yang kau lakukan? Kau menyakitiku. Kau tak sadar?"
"Kau benar-benar menuntut alasan?"
Aku mengangguk dengan tatapan sinis padanya.
"Tak ada alasan. Ayo pergi."
Mau buat apa? Bersama dirinya itu yang terpenting. Karena saat aku berada di sisinya, tak ada alasan yang terpikir olehku mengapa aku harus bersamanya, tak ada alasan mengapa aku memilihnya dan menerimanya. Dia tampan dan baik, itu bukan alasan. Itu fakta. Aku menyukai tiap orang yang baik padaku termasuk dia. Tapi seringkali ia menyakitiku, membuatku merah, menunggu, kecewa, menangis. Tapi seburuk apapun sikapnya aku tetap ingin bersamanya. Jadi 'baik' itu bukan alasan. Lalu tampan. Semua wanita menyukai pria tampan tak terkecuali aku. Namun ketika ia terlihat sangat buruk saat ia baru bangun, belum membasuh wajah, saat wajahnya berminyak, aku tetap menyukainya. Jadi tampan bukan alasan juga. Rasanya susah untuk menemukan alasan itu. Jadi aku memahaminya saat ia tak memberitahu alasan ia meninggalkanku kemarin.
Menakjubkan. Hanya itu yang dapat terucap ketika ia membawaku ke tempat penuh dengan bunga dandelion.
"Kau suka?"
Aku hanya mengangguk bersemangat. Aku berlari menggapai kelopak dandelion yang berterbangan. Sekarang aku pasti sangat mirip anak kecil. Ia hanya tersenyum melihatku dari kejauhan.
"Hei, ayo kesini. Kenapa kau hanya diam dan melihatku dari sana?"
"Kau lebih cantik kalau dilihat dari jauh." Ujarnya agak berteriak karena jarak kami memang agak jauh saat itu.
"Baiklah, aku akan pergi jauh." Aku berlari semakin jauh. Aku berharap ia mengejarku saat itu. Namun ia tetap ditempatnya semula. Tak bergeming.
"Kenapa berhenti Ika?"
"Aku tak sanggup pergi jauh."
"Kalau begitu jangan pergi dariku."
Aku tersenyum, menghampirinya, memeluknya erat.
Aku dan dia, dia dan aku. Lengkap sekarang.