Pages


Monday, June 18, 2012

Cinta sementara, terimakasih untuk selamanya

Baiklah, tolong hentikan ini. aku harus akui, ya aku jelas salah. Terlalu salah, bisa dibilang begitu. Memang semua orang juga tau pasti semua hal dimulai dari suatu ujung dan berakhir dipangkal. Berawal dari rasa suka semasa SD, tiap kali kulihat wajah itu mataku takkan bisa kupalingkan walau sesaat. Mataku takkan bisa kukedipkan walau sedetikpun. Aku mencoba mengirim beberapa pesan rinduku untukmu kepada sepoi angin, walau ku tau angin takkan membawanya sampai dimanapun kau berada. Kucoba mengirimkannya pada deretan awan putih, walau kuyakin ia berarak jauh dari tempatmu berpijak. Kau tau? aku pun mencoba lagi mengirimkan bait-bait rindu ini pada butiran hujan, walau kutahu hujan kan memecah semua rindu ini dan menyisakan kepingan hati yang tersisa. Hubungan ini, tak terlalu lama namun terlalu cepat untuk diakhiri. Aku memahaminya, bagaimana sabarnya kau menghadapiku, menghadapi egoku yang kian memuncak, bagaimana sinisnya aku. Kenapa kau terlalu baik? Hingga aku tak tega terus menerus menjalin hubungan itu. Hingga 8 bulan kemudian, disaat kita mulai beranjak dewasa. Kau dan aku, kita berdua. aku menyadari ini hanya perasaan sebatas cinta maya. Bagaimana bisa bocah sekecil kita dulu sudah bisa memahami arti perasaan itu. Aku yakin ini semua hanya sementara, tak akan abadi seperti yang kau kumandangkan setiap pagi via telepon. Tapi hubungan ini layaknya benang kusut yang berhamburan di lantai. Berkali-kalipun kau mencoba untuk menemukan ujungnya dan memperbaikinya, kau takkan bisa melakukan itu. Sudah terlalu lama kita terbengkalai oleh perasaan egois kita masing-masing. Entah kenapa aku tak berniat sedikitpun denganmu lagi, itu kata mulutku. Kubiarkan mulutku menguasai diri dan jiwaku. Apapun yang telah kukatakan, memang itu yang harus terjadi. Hingga tak kusadari ternyata ada perasaan lain yang berbisik didalam. ia meronta-ronta kepadaku, mengingatkanku atas apa yang telah kulakukan pada cinta pertamaku yang 'sementara' itu. Yah.. terlambat sudah untuk memperbaikinya. Aku tak meminta maaf pada orang itu karena aku tau pasti. kata 'maaf' takkan mampu mengobati hati yang telah tercabik-cabik oleh egoku. Karena aku telah mencoba untuk mengukir kata 'maaf' itu di halusnya butiran pasir pantai, walau kutahu ombak kan berambisi tuk menghapusnya. Aku mencoba untuk mengukirnya di pohon mangga, namun naas petir berapi-api menumbangkan pohon itu. Tuhan sangat adil pada kita. Disaat Ia menghukumku seperti ini, kau telah menemukan kembali kepingan hati yang baru, jauh lebih indah dari kepingan hatimu yang dulu, jauh lebih lembut, lebih dan lebih dari segalanya. Tak ada kata maaf dari mulutku, dan sebagai gantinya kan ku kirimkan sebuah kata pada semburat rona senja matahari tenggelam sore ini. sebuah kata yang mewakili semuanya. Semua hal yang telah kau beri kepadaku. "Terimakasih"

2 comments: