Pages


Tuesday, September 4, 2012

Aku #5

I'll pray for your happiness 
"Baiklah, cukup bersenang-senang untuk hari ini."
"Cukup?" Aku pikir awalnya dia bosan di tempat itu dan akan mengajakku ke tempat lain.
Dia berbalik dan berjalan lurus meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang.
"Hey! Tunggu"
Tapi dia tak kunjung berbalik, ia malah semakin jauh.. jauh..
Dia membuatku menyadari sesuatu, tempat ini hanya sebuah permintaan maaf. Dia tak pernah berpikir tulus untuk membuatku bahagia. Dia selalu saja, tak hentinya membuat air mataku mengalir tanpa mencoba untuk menghentikan derasnya rasa sedih yang ia timbulkan. Awan mendung kembali datang. Sebelum aku tergeletak pingsan lagi, aku segera pulang untuk menenangkan semuanya. Menenangkan diriku, pikiranku dan hatiku.
"Kriiinngggg" Suara ponselku berdering. Entah untuk kesekian kalinya, aku tak menyadari itu. Mata ini kupaksa untuk bergerak, tubuhku terasa lelah sekali. Rasa kantuk yang menyerangku seakan tak bisa kutangkis. Jari-jari tanganku menggapai meja didekat tempat tidurku.
"Halo"
"Ika... ..."
Seperti aliran listrik yang menyengat, mataku terbelalak. Ku singkap selimut yang tadi menjadi sarang tidurku. Ku basuk muka dan bergegas menuju keluar. Menghadapi kenyataan yang akan terjadi. Aku percaya everything's will be okay. Diluar hujan, hujan gerimis disertai sepoi angin yang lembut dan menyegarkan. Kuraih payung berwarna hitam sebelum aku pergi kesana. Ke rumah sakit.

Terdiam, mata terpejam, Pucat, tanpa sehelai rambut, ia terlihat begitu dingin.
Aku memaksakan langkah demi langkah hingga tiba didepannya. Di depan pemuda itu, pemuda yang selalu menyakitiku, selalu membuatku menunggu, selalu membuat tangis, pemuda yang selalu aku cintai.
Aku menepuk punggung tangannya dengan kasar berharap dia bangun dan mengatakan april mob. Tapi apa yang aku dapat? Aku hanya bisa membekap mulutku sendiri, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, aku hanya bisa menyesali betapa bodohnya aku tak menyadari itu sebelumnya. Dia sakit, dia tersiksa selama ini. Dia tetap mempedulikanmu Ika, bahkan saat dia berada di ambang kematian. Otakku otomatis memutar memori beberapa jam yang lalu di tempat itu, di tempat yang penuh dandelion. Di tempat yang penuh harapan.
"Sudah berapa lama?" Tanyaku dengan serak
"2 tahun." Jawab wanita tua yang selalu menemaninya. Wanita yang juga merasakan hal yang sama denganku. Dia yang paling terluka, dibanding aku dia lebih lama mengenal pemuda itu, dia lebih tahu tentang pemuda itu, dan dialah yang telah melahirkannya.
"Aku begitu bodoh bukan? Bukan begitu ibu?" Aku jatuh tersungkur di lantai seiring pecahnya tangisanku. Menangis, hanya itu yang kubisa sekarang. Bagaimana caranya mengembalikan pemuda itu? Aku ingin melihatnya sehat, aku tak ingin kanker itu mengambilnya dariku.
"Kenapa tidak kemoterapi? ayo bu, cepat kemoterapi. atau ayo bawa dia ke rumah sakit yang lebih bagus. Ayo bu, kenapa ibu diam saja. Cepaaatt..." Isakanku semakin menjadi-jadi. Tampak ibunya hanya bisa menunduk, tanpa kata.
"Terlambat" Kata-kata itu, seperti kata yang yang menyakitkan. Kata yang tak mengandung harapan. Kata yang harus dibuang.
Aku menyeka air mataku setelah menyadari kebodohanku, pacar macam apa aku ini yang benar-benar tak menyadari sesuatu yang besar menimpa orang yang aku cintai. Pacar macam apa aku ini yang hanya mementingkan diri sendiri.
"Selama dia mengenalmu, dia begitu dewasa. Dia bijak, selalu bisa memahami ibu. Saat ibu terpuruk, ia selalu menceritakan seorang gadis yang begitu tegar, kuat. Dia berharap ibu bisa menjadi gadis itu. Dia berharap ibu bisa seperti kamu Ika."
Sekali lagi air mata ini tak terbendung lagi, ia terus menerus mengalir seperti hujan. Hujan yang deras.
Kulirik pemuda itu terkulai lemas, aku dapat melihat kesedihan dari wajahnya. Disudut matanya kulihat sebutir benda bening yang meluncur halus dipipinya. Dia mendengarkanku.
"Kenapa menangis. Kau tak boleh menangis. Kau tampan, aku tak mau air matamu merusak wajah tampanmu." Aku menghampirinya dan menghapus air mata itu. Air mata terakhir darinya. Kupandang ia lagi, napasnya telah habis. Ia telah meninggalkan 2 wanita yang begitu mencintainya. Aku meremas tangannya, menenggelamkan wajahku dipunggung tangan yang dingin itu. Sudah berakhir. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya dimanapun ia berada. Aku yakin ia juga mengharapkan hal yang sama.


No comments:

Post a Comment