Pages


Saturday, January 31, 2015

Taenia solium & Echinococcus granulosus


A.     Taenia Solium
2.1  Pengertian Taenia Solium
     Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong dalam satu jenis genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar etal.2003)
Taenia Solium dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
 Klasifikasi Taenia Solium
Filum         : Platyhelminthes
Kelas         : Cestoda
Ordo          : Cyclophyllidae
Famili        : Taniidae
Genus        : Taenia
Spesies      : Taenia solium

2.2  Morfologi  Cacing dan Telur Taenia Solium
Taenia solium merupakan Cacing pita babi pada manusia. Cacing dewasa terdapat pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2 sampai 7 m dan dapat bertahan hidup selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang besar serta rostelum yang bundar dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar (dalam satu baris) mempunyai panjang 140 – 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam baris yang lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira – kira setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari 1000, proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur berbentuk mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral secara berselang seling di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang segmen gravid bentuknya lebih memanjang daripada melebar. Proglotid gravid panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus mempunyai cabang pada masing – masing sisi sebanyak 7 – 12 pasang. Segmen yang gravid biasanya dilepas secara berkelompok 5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari anus. Proglotid gravid dapat mengeluarkan telur 30.000 – 50.000 butir telur. Telurnya berbentuk bulat atau sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis, dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur – telur ini dapat tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu –minggu.



      
   Morfologi Cacing Taenia Solium           Morfologi Telur Taenia Solium

2.3  Daur Hidup Taenia Solium
Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin dan Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 -12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin dan Kandun 2000) Sewaktu - waktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung  strobila cacing dewasa dalam kelompok – kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen.  Prolotida gravid keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (IIsoe et al.2000)
Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan oleh babi. Di dalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfer). Selanjutnya onkosfer tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ – organ yang seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paru-paru, ginjal, hati. Kista mudah terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan Cysticercus Cellulosae. Bila daging babi yang mengandung  parasit ini dimakan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu bebrapa bulan (Soulsby; 1982)
Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan sub kutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al.1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut . Sumber kontaminasi parasit ini berupa tinja manusia yang mengandung parasit, dan tangan manusia yang kotor yang terkontaminasi telur Taenia solium (Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990)



2.4  Epidemiologi
Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara – negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi babi. Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari daerah – daerah tersebut (Gandahusada et al.2000)
Penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di daerah dimana orang – orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan melakukan defekasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara – negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.

2.5  Diagnosa Laboratorium
Taeniasis dapat ditegakkan dengan 2 cara :
a.       Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan 
b.      Pemeriksaan Tinja
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan  segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% sebagai pengawet.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid.
Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif). 

2.6  Gejala Klinis
Telur Taenia solium (cacing pita babi) bisa menetas di usus halus, lalu memasuki tubuh atau struktur organ tubuh., sehingga muncul penyakit Cysticercosis, cacing pita cysticercus sering berdiam di jaringan bawah kulit dan otot, gejalanya mungkin tidak begitu nyata tetapi kalau infeksi cacing pita Cysticercus menjalar ke otak, mata atau ke sumsum tulang akan menimbulkan efek lanjutan yang parah.
Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia, angka infeksi taenia tercatat 0,8–23%., frekuensinya tidak begitu tinggi. Namun demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama kasus-kasus taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi sistiserkosis.
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi yang mentah atau setengah matang dan mengandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gastero- intestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, nafsu makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).

2.7  Pengobatan dan Pencegahan
2.7.1        Pengobatan
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
2.7.2        Pencegahan 
                  Pencegahan dan upaya pengendalian merupakan hal yang penting untuk diperhatikan guna             menurunkan prevalensi penyakit Taeniasis maupun sistiserkosis. Tindakan pengendalian                      meliputi :
1.      Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah
2.      Meningkatkan pendidikan masyarakat dengan memberikan berbagai penyuluhan kepada masyarakat
3.      Meningkatkan kebersihan Higiene, sanitasi diri dan lingkungan meliputi : Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih
4.      Melakukan pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter Hewan
5.      Memberikan pemahaman kepada Masyarakat tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah / setengah matang. Dan pentingnya untuk mengetahui manfaat memasak daging hingga matang.


B. Echinococcus granulosus

2.1  Pengertian Echinococcus granulosus
Echinococcus Granulosus atau sering disebut cacing pita parasit pada anjing  adalah salah satu hewan dari kelas nematode filum Platyhelminthes. Hospes definitif dari Echinococcus granulosus adalah hewan karnivora terutama anjing, srigala, dan lain-lain. Sedangkan hospes perantaranya adalah manusia, kambing, domba, sapi, dan lain-lain. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cestoda ini adalah echinococcosis atau penyakit hidatidosis (disebabkan larvanya). Echinococcus Granulosus dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

 Klasifikasi Echinococcus Granulosus

Kerajaan
          : Animalia
Phylum
            : Platyhelminthes
Class
                : Cestoda
Order
               : Cyclophyllidea
Famil
y             : Taeniidae
Genus
              : Echinococcus
Species
            : E. granulosus

2.2  Morfologi  Cacing dan Telur Echinococcus granulosus
E. granulosus adalah cacing cestoda kecil, panjangnya 2-7 mm. Terdiri dari kepala (scolex), leher (neck) dan proglottid (3-4 segmen). Scolex mempunyai empat alat penghisap (oral suckers), dan mempunyai dua deret kait (hooks). Segmen terakhir (gravid proglottid), panjangnya lebih dari setengah dari panjang total cacing dewasa dan mengandung sekitar 5000 butir telur. Setiap telur berbentuk ovoid dengan diameter 30 – 40 mikron. Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu embrio yang memiliki tiga pasang kait. (Oncosphere) (MULLER, 1975)



Morfologi Cacing Ecinococcus granulosus



2.3  Daur Hidup Ecinococcus granulosus
 

Cacing dewasa Echinococcus granulosus  (panjangnya 3 - 6 mm)  berada di usus halus hospes definitif misalnya anjing. Lalu proglotid melepaskan telur yang keluar bersama  feses.  Kemudian tertelan oleh hospes intermediate yang sesuai  (biri-biri, kambing, babi, sapi, kuda, onta) setelah itu telur menetas di usus halus dan onkosfer keluar  onkosfer menembus dinding usus dan menuju sistem peredaran ke berbagai organ, terutama hati dan paru-paru.  Di hati dan paru-paru onkosfer berkembang menjadi kista  kemudian berkembang secara berangsurangsur, menghasilkan protoskoleks dan anak kista yang mengisi kista interior. 
Hospes definitive dapat terinfeksi dengan cara memakan daging hospes intermediet yang mengandung kista hidatid.  Setelah tertelan, protoskoleks  melakukan vaginasi, menuju ke mukosa usus  dan berkembang menjadi cacing dewasa  setelah 32 sampai 80 hari kemudian proglotid melepaskan telur. Hospes intermediate terinfeksi dengan cara menelan telur  kemudian menetas menghasilkan onkosfer  pada usus dan menjadi kista di dalam berbagai organ.

2.4  Epidemiologi
Infeksi terhadap manusia terjadi lewat transfer telur cacing dan tangan ke mulut dari makanan yang terkontaminasi oleh feses anjing. Larva cacing menembus masuk lender usus besar, naik keatas memasuki system porial lalu terbawa aliran darah ke berbagai organ tubuh untuk menghasilkan kista tempat protosoleses sumber infeksi penyakit ini berkembang. Penyebaran penyakit infeksi cacing ini biasanya terdapat pada Australia, Afrika, Amerika, Eropa, RRC, Jepang, Filipina dan Arab.

2.5  Diagnosa Laboratorium
Cara pemeriksaan atau diagnosa laboratorium dari infeksi yang disebabkan oleh Echinococcus granulosus adalah sebagai berikut :
a)      Pemeriksaan hematologi
Dilakukan pemeriksaan darah dengan melihat jumlah eosinofil dan dilihat presentase lekosit jenis eosinfil pada pemeriksaan differensial lekosit.Eosinofilia sering terjadi sekitar 20-25% pada kasus infeksi Echinococcus granulosus namun tidak terlalu memberi makna yang berarti.
b)     Mikroskopis cairan kista hydatid
Prinsip pemeriksaannya adalah setetes cairan kista yang sudah disentrifuge diteteskan pada objek gelas, dengan objek gelas lainnya dibuat apusan kemudian dilakukan pewarnaan tertentu dan diamati secara mikroskopis.Pada saat pembuatan hapusan terjadi goresan antara kait-kait dengan objek gelas sehingga terdengar seperti suara goresan kaca di atas pasir (hydatid sand). Pemeriksaan ini dilakukan apabila ditemukan kista pada saat pembedahan dari infeksi kista hidatid, maka sebagian cairan kista dapat diaspirasi dan diperiksa secara mikroskopis untuk mendeteksi adanya “hydatid sand” sehingga dapat dipastikan diagnosisnya. Aspirasi kista juga biasanya dilakukan pada saat akan dilakukan tindakan bedah. Tindakan ini beresiko akan adanya kemungkinan bocornya cairan sehingga menyebar ke jaringan. Namun hidatid sand tidak selalu ada. Karena jika kista sudah tua, anak kista dan/ atau skoleks mungkin juga rusak sehingga yang tersisa hanya kait-kaitnya. Keadaan ini menyulitkan untuk menemukan dan identifikasinya apalagi jika terdapat debris di dalam kista. Hydatid sand juga dapat diperiksa dari sampel urine dan sputum.
c)      Mikroskopik Jaringan
Pemeriksaan kista hidatid secara mikroskopik pada jaringan diperiksa ketika pasien dengan adanya masa pada abdomen dan tidak diketahui diagnosisnya secara pasti. Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel dari pembedahan untuk mengambil jaringan hati, tulang, paru-paru dan jaringan lainnya lalu dibuat penampang melintang misalnya jaringan tulang lalu dibuat preparat histologi jaringan dan diwarnai dengan hematoxilyn dan eosin.
d)      Tes Serologi
Antibodi pasien terhadap Echinococcus granulosus yang terdapat dalam serum dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologi yang meliputi IHA (Indirect hemagglutination), IFA (indirect fluorescent antibody), ELISA, CF, LA (latex aglutinasi), IE (immunoelektoforesis) ID, dan Indirek hemaaglutination. Tes serologi merupakan test yang sensitif untuk mendeteksi antibodi di dalam serum pasien infeksi kista hidatid, sensitifitas bervarisi antara 60% hingga 90%, tergantung karakteristik dari kista hydatidnya

2.6  Gejala Klinis
Echinococcus granulosus menginfeksi selama bertahun-tahun sebelum kista membesar dan menyebabkan gejala saat tersebar ke organ-organ vital. Bila menginfeksi hati maka terjadi rasa sakit dan nyeri di bagian abdominal, benjolan di daerah hati, dan obsruksi saluran empedu. Pada saat kista menginfeksi paru-paru menyebabkan dada sakit dan batuk hemoptysis. Kista yang menyebar ke seluruh organ dapat menyebabkan demam, urtikaria, eosinofilia, dan syok anafilaktik. Kista dapat menyebar hingga ke otak, tulang, dan jantung.

2.7  Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan dan pencegahan hidatidosis adalah sebagai berikut :
1.      Menjaga kebersihan badan setelah berkebun, memegang pupuk kompos dan memegang feses anjing atau bermain-main dengan anjing.
2.      Kurangi waktu kontak dengan anjing se efisien mungkin.
3.      Menjaga kesehatan anjing peliharaan dengan secara rutin memberikan obat cacing. 
4.      Albendazole + levamisole yang mampu mematikan cacing cacing jaringan tubuh yang bersifat parasit darah. Serta guna memutus siklus perkembangan cacing di dalam tubuh anjing.

5.      Dalam proses penyembuhan parasit cacing harus diikuti dengan pemberian Intraver 2oo-B12.guna pemulihan anemia akibat parasit darah.