Pages


Sunday, December 30, 2012

Ave Maria


Sebait alunan biola itu menenggelamkanku dalam degup jantung yang semakin tak menentu. Bertolak belakang dengan teraturnya nada-nada benda bersenar itu, sebaliknya jantung ini berirama kacau. Selangkah dua langkah aku mundur, aku tak ingin dia mendengar gemuruh perasaan yang kian menggema ini. Menyadari tindakanku yang cukup bodoh, dia menghentikan gerakan penggesek biolanya dengan alis mengerjit.
“Kau ketakutan tiap kali aku memainkannya.” Ujarnya cemas.
Aku hanya diam, menatap kedua mata coklatnya. Dan untuk kesekian kalinya aku terbuai oleh keindahan setiap unsur-unsur dari  wajahnya. Aku merasa wajahku semakin pucat, tak tahu harus menjawab apa.
“Tidak, ini hanya ekspresi terpukau.” Jawabku asal
“Oh, terpukau? Kau yakin?” Dia seperti menantangku beradu pandang dengannya. Aku memalingkan wajahku yang pucat namun panas.
“Jangan melihatku seperti itu, kau….” Belum sempat aku meneruskan kalimatku dia sudah semakin berani mengelus pipiku.
“Kenapa jika aku melihatmu seperti ini? Apa aku harus dihukum juga jika menyentuh pipimu?” Seulas senyum terukir indah didepanku. Oh Tuhan, aku merasa telah kehilangan sebagian dari diriku saat aku berada bersamanya.
“Ya, kau harus dihukum. Kau harus memainkan lagu itu berulang-ulang sampai aku tak takut lagi.”
Akhirnya aku bisa mengucapkan sebaris kalimat walaupun dengan suara yang agak terlalu berat kurasa.
Tanpa kata-kata, dia kembali meraih biola rampingnya dan memainkan lagu yang sama. Alunan itu membuatku agak bergidik. Rangkaian klise yang terekam dari dunia lampauku seakan bangkit dari tempat asalnya. Satu demi satu pecahan memori itu terangkat, membuat guncangan emosi yang sudah kuduga sebelumnya. Kepalaku berputar-putar, bingung harus memulai rangkaian acak itu dari bagian mana. Dia menatapku ragu, menghentikan lagunya namun tatapan mataku mengisyaratkan agar dia tetap bermain dengan lagunya. Lagu ini, lagu yang menghantarkanku dalam suasana yang aneh ketika aku mendengarkannya. Lagu yang membuatku seakan tak mau mengingat sepotong masa lampauku. Kedua lututku lemas, peningnya kepalaku tak ada artinya sekarang dibandingkan dengan sepotong memori yang harus kudapatkan. Aku harus menemukan siapa aku sebenarnya dan siapa dia. Siapa laki-laki yang mengalunkan nada-nada menggetarkan itu? Apa hubungannya dengan kehidupanku? Dan kenapa lagu ini begitu kental akan sosok wanita di pikiranku? Wanita itu terus menerus memainkan biolanya, dia terlihat kurus, pucat, dan dihadapannya ada aku. Aku dengan tatapan yang penuh dendam, aku merasa gadis itu bukan diriku. Lalu potongan rekaman berikutnya menunjukkan gambaranku yang lain. Aku yang diterjang oleh wanita itu. Dia mendorongku, kenapa?
Aku melihat itu, dia berdarah, berlutut tanpa kata. Ekspresinya terlihat bahagia walaupun ia bersimbah darah seperti itu. Aku memeluknya, merasakan penyesalan yang menyesakkan.
“Kau baik baik saja?” Suara dia membuatku tersentak dari  rantai kenangan yang terekam dalam memoriku.
“Wanita itu, dia meninggal. Dia meninggal.” Isakku mengguncang bahu pemuda itu. Dia menarik punggungku kedalam rengkuhannya. Aku menangis sejadi-jadinya menyadari apa yang telah terjadi. Wanita itu, yang bersimbah darah dan bahagia dalam perjalanan terakhirnya adalah Ibuku. Wanita yang telah melahirkanku. Beberapa menit berlalu aku masih berada di peluknya. Mendekapnya seperti ini aku merasa sangat nyaman, merasa jika aku tak sendirian,dan merasa dicintai. Sejenak tangisku mulai mereda. Mataku terasa lengket dan panas. Ku lirik bahu pemuda itu. Astaga, begitu parahkah aku menangis hingga membasahi separuh dari pakaiannya.
“Maaf, bajumu jadi basah.” Ucapku kaku.
“Jangan pikirkan, ini hanya air. Nanti juga kering. Mmm.. Ibumu pemain biola, sama seperti aku. Beliau sering memainkan lagu ini untukkmu. Kau dulu pernah bercerita tentang bagaimana kau menyayangi ibumu dan bagaimana kerasnya kau menolak untuk bermain biola.”
“Aku tidak mau bermain biola? Kenapa?”
“Kau ingin berbeda dari Ibumu. Kau lebih memilih seperti ayahmu. Menjalankan bisnis yang menurutmu sangat menarik.”
“Aku pernah berkata begitu?” Ujarku setengah tak percaya. Mana mungkin dulu aku begitu terobsesi dengan hal yang membosankan seperti itu.
“Kau bahkan hampir setiap hari bertengkar denganku hanya gara-gara masalah itu.” Jawabnya menahan tawa. Harus kuakui lagi, senyumnya begitu menawan.
“Benarkah kau itu pacarku?” Tiba-tiba tanpa basa – basi aku menanyakan hal yang begitu bodoh. Ingin rasanya aku memukul kepalaku sendiri.
“Kau pacarku, sejak 3 tahun yang lalu. Setelah Ibumu meninggal, kau menjauh dariku. Kau tak peduli padaku lagi. Lalu kau mencoba bunuh diri melompat dari mobil.”
“Jangan ceritakan tentang aku yang dulu lagi, kumohon.” Aku menunduk, merasakan mataku yang mulai panas namun berusaha ku tahan.
“Maaf, aku tak bermaksud buruk. Aku hanya merasa bahagia sekarang. Aku merasa kau kembali.”
Aku memandang matanya, seperti aliran listrik yang menjalar di seluruh tubuhku. Pesonanya begitu kuat mengalahkan matahari terbenam yang merona dibalik gumpalan awan.
“Kau mungkin tak mempercayaiku, tapi percayalah. Aku merasa menemukan cinta yang baru di matamu. Maksudku, dulu hingga sekarang kau memang pacarku. Tapi hari ini aku merasa jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Rasanya rumit, aneh dan bahagia.”
Dia mendekat dan menyunggingkan seulas senyuman termanis yang pernah kulihat.
“Mungkin aku harus bersyukur kau mencoba bunuh diri saat itu.”
“Apa? Kau ingin aku mati?” Aku memukulnya bertubi-tubi dan dia hanya tertawa renyah. Dia mengambil kembali biolanya berniat untuk menyimpannya.
“Tunggu..” Dengan ragu aku menghentikannya.
“Hmm.. Kenapa?”
“Boleh aku meminta sesuatu? Ajari aku bermain biola.”
Dia tertegun sejenak mendengan permintaanku.
“Baiklah, aku ingin kau  mengajariku lagu yang tadi. Lagu itu…”
“Ave Maria” Potongnya singkat. Aku mengerti lagu itu memang membawa irama tersendiri bagi hidupku. Satu yang aku ketahui, lagu itu membawa kebahagiaan bagiku dan bagi pemuda yang sangat kucintai. Terimakasih Ave Maria.

No comments:

Post a Comment