Pages


Wednesday, June 20, 2012

Aku #1

You turned around and left me easily
Semusim, dua musim berhaluan semakin cepat, lain halnya dengan awan yang berarak lamban beriringan seakan ingin berlama-lama di langit. Tampak cahaya surya mengintip dari celah-celah gumpalan putih itu. Sepertinya mereka memahami rasa was-was yang kuhadapi sekarang. Jarum jam pun semakin enggan untuk melangkah lebih cepat. Rasanya begitu lambat hari itu, semua hal disekelilingku berubah menjadi musuh secara tiba-tiba. Pandangan ini tak pernah lepas dari arloji perak yang kukenakan. "Ayolah, berpikir positif" teriakan itu terus saja mengerang dan memenuhi seluruh alam pikiran di otakku. Tapi, ternyata hatiku berkata lain. Kata-kata dan pikiran positif itu lenyap tak tersisa ketika satu hal yang aku nanti sedari lama tak kunjung tampak. Apalagi ini? Aku ingin berkata padanya "hey, ini bukan lelucon". Apa dia benar-benar tak mengetahui atau ia pura-pura tak tahu bagaimana rasanya berdiri dan duduk terus menerus di tempat dengan posisi yang sama selama itu? Bagaimana bisa ia melupakannya bahkan itu janjinya sendiri. Janji ingin bertemu denganku, janji untuk melihat senyuman di wajah cerahku, janji untuk menampakkan dirinya kembali setelah 6 tahun ia berkelana ke negeri antah berantah. Sama sekali ia tak memikirkanku? Apa ini masih pantas? Tolong jelaskan semua ini. Kali ini aku tak akan menyuruhnya menutup mulut dan tak mendengarkannya. "Aku benar-benar membutuhkan penjelasanmu sekarang juga. Jadi jangan berani lagi kau pergi dariku untuk kedua kalinya. Cukup dirimu dulu yang pergi, berkelanalah sesukamu ke semua benua di dunia. Namun satu hal yang aku minta. Tolong jangan bawa hatimu ikut bersamamu, biarkan ia disini bersamaku. Aku yakin aku bisa menjaga hatimu dengan sangat baik. Percayalah padaku. Sekarang, kau boleh pergi. Hanya itu yang bisa kusampaikan. Aku tak mampu lagi meneruskan apa yang ingin kuteruskan. Aku tak mampu lagi melihat apa yang ingin kulihat. Wajahnya, ia tampak sangat tak terurus layaknya penderita busung lapar. Ia justru hanya membisu, tak sedikitpun mau menatapku. Kenapa wajah itu? Pandangannya terlihat sangat dingin.
"Apa kau sakit?"
"Bukan urusanmu aku sakit apa tidak. Apa ada lagi yang ingin kau katakan? Aku tak mau membuang waktuku hanya untuk mendengarkan hal seperti ini."
"Apa?" Orang yang dihadapanku ini bukan dirinya, bukan. Aku pasti salah orang, aku pasti salah orang.
"Apa aku perlu mengulanginya lagi? Kalau memang itu saja yang ingin kau bicarakan, bisa aku pulang sekarang? Banyak hal yang lebih penting dari ini." Tatapan dingin itu tetap saja memandang ke satu sudut. Bukan melihat diriku. Dia membalikkan punggungnya, melangkahkan kakinya langkah demi langkah hingga tubuhnya tenggelam diantara pekatnya malam.
#1

No comments:

Post a Comment