Pages


Sunday, November 15, 2015

Anggap Saja Sebatas Tulisan Kesal atau Sesal

Bagaimana rasanya tanpa aku?
Bagaimana rasanya ketika tak ada sandaran, tempat kau mencurahkan seluruh ego mu?
Kau pikir kau bisa seenaknya begitu saja menggunakan aku?
Membodohiku sehingga bisa saja aku menganggap diriku sampah?
Lihat saja apa kau bisa tidur tenang malam ini?
Lihat saja, aku akan berhenti dari kekonyolan yang sudah aku ciptakan sendiri. Menganggap kau menyukaiku, namun ternyata tidak, namun seakan kau memberikan celah diantara ketidak mungkinan itu. Atau itu hanya imajinasiku saja.

What do you want?
Please, don’t get me wrong. I’m not interested to a type of arrogant and jerk like you are. But, unfortunately my heart can’t handle this one. It’s still trembling, wondering why it happen every time when you are around. Until now, I’m looking for any effort so that I can dump you easily, letting myself step ahead from you is my happiness.
Easily you come, then leave, then come again for a specific reason, or need a help, then leave again then come, leave, come, leave until third war world happened. Your habits just saying what you want to say, judging every particular person with their matters, stick out of several things, and laughing somebody because he or she is weird in your perspective. I wanna free, from this pain. I will never be my own if I still beside you and make sure my appereance was good, or Have I wore something beautiful just to please you (read: I can’t be an ugly person in front of you).
Honestly 2 years I have spent with useless love one side and now, let me be free. I wanna find someone who accept me just the way I am, and never ask me to be the others, the one who appreciate what I wanna do, understand what I’m supposed to be. Someone whom I love and who love me back. Yeah exactly. Because I’m just tiring enough to get tired, because every time I move, how pitiful I am stuck in wrong train again and again then get lost in somewhere chill. Light me, open my heart with that key.
That key, I once sent it to you in our chat back then. Ahaaa! Let me guess, you just don’t have any idea about what I’m talking about right? Lol
Perfect.



Wednesday, November 11, 2015

Semacam Ungkapan namun Hanya Tulisan

Kita itu, semacam mengabaikan namun diam-diam memperhatikan
Semacam tak menghiraukan, namun ingin menyapa
Semacam ingin berbicara namun tak tahu bagaimana harus mengawali
Semacam ingin terbiasa namun ego mendominasi
Semacam hanya sebatas teman namun di sebelah pihak, ingin lebih
Aku hanya mengetahui keinginan salah satu pihak, namun tidak pihak lainnya. Aku hanya tahu isi hatiku. Tapi tidak denganmu.
Aku berusaha memahami apa yang aku sembunyikan, ingin membagi apa yang aku simpan sendirian.
Namun sia – sia saja ketika sesuatu yang lama ingin aku sampaikan pada akhirnya telah menepi  pada semua orang namun tidak padamu.
Harapan, apakah itu sebuah kata yang berarti saat ini?
Tidak.
Ketika mengharapkan tak lagi berbuah manis, mengabaikan pun terasa menyakitkan, lalu apa selanjutnya?
Ketika yang kunanti hanya waktu dan waktu. Mengulur detik demi detik, mempertimbangkan apa sebaiknya aku harus mengungkapkan atau aku akan terus membisu membiarkan hipotesa-hipotesa tentang dirimu terus saja menari nari di otakku?
Aku jelas tak tahu apa yang ada di logikamu, karena aku bukan seorang peramal. Bahkan jika pun aku seorang peramal, apakah sesuatu yang aku terka itu memang benar-benar akan terjadi?
Sebut saja aku pemistis. Iyaaaa. Aku bukannlah gadis dengan kadar optimisme tinggi, atau gadis ekspreif yang dengan mudahnya akan mengekspresikan segala sesuatu dengan kata-kata yang tersusun apik sehingga semua mata dan telinga terpusat padanya. Tidak, tidak. Aku bukan gadis yang seperti itu. Aku sang introvert. Tak mudah berekspresi, selalu membohongi diriku sendiri. Kadang aku hanya berpura-pura terlarut dalam peran sehingga menghasilkan gadis sok banyak bicara untuk memancing perhatian. Dan aku muak pada gadis ini. Aku muak tidak menjadi diriku sendiri.
Apa yang aku harapkan? Kamu. Jelas kamu. Aku rasa kata berharap sedikit berlebihan saat ini, tapi hanya itu yang mewakili segala sesuatu tentang diriku.
Tak banyak yang bisa aku bagi diantara kita, kita hanya menikmati kebersamaan via text. Namun ketika bertemu, entah aku saja yang merasakannya atau kamu juga. Tapi aku merasa sangat berbeda. Kamu begitu biasa. Maksudku, kau tidak menunjukkan arti ketertarikan atau semacam itu. Jadi, kesimpulannya?
Begitulah, tak akan aku sebutkan karena memang agak sedikit menggores hati.
Tak jauh berbeda dariku, aku juga harus bersikap biasa. Sebiasa mungkin karena aku tak ingin kamu mengetahui segalanya. Aku berusaha menutupi karena ketakutanku jauh lebih besar. Aku takut kamu akan menjauh, kamu tidak suka padaku, dan banyak ketakutan-ketakutan lain yang tak aku harapkan. Sama sekali tidak.
Bola yang aku lempar tak tepat mengenai hatimu.
Mungkin aku hentikan saja cara yang penuh kebohongan ini. Menjadi sok asik itu bukan gayaku. Aku hanya berpikir, kau mungkin tidak menyukai gadis melankolis yang membosankan seperti aku.
Aku tak pandai berbicara, tak pandai merangkai cerita.
Harusnya, jika kamu tak suka, abaikan sajalah aku.
Jangan seolah ingin pergi namun tak beranjak
Seolah tak peduli namun tetap mencari
Ketika seseorang mengatakan hal yang membuat kita tersadar satu hal, mata kita bertemu senyumpun mengembang. Tak ada yang mengerti mungkin, hanya kita. Maka biarlah itu menjadi dunia kita, atau hanya aku. Mungkin.
Rotasi bumi pun mendadak melambat ketika aku melihat senyum itu. Senyum yang bukan dari pemuda tampan, namun entah daya apa yang dimilikinya aku pun tak mengetahuinya. Namun satu hal yang jelas aku ketahui. Aku telah menyukainya.



Monday, November 9, 2015

Dandelion

Lavina menatap nisan yang kini kokoh didepannya. Gadis itu menengadah, matanya menerawang jauh, jauh ke atas langit. Seandainya ia memiliki mesin waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya ia bisa mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal, tak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
                                                                           ***
Saat Lavina berumur 11 tahun, satu-satunya orang yang paling ia sayangi hanya Anthony. Pemuda cilik yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka adalah tetangga, tetangga yang sangat akrab layaknya saudara.
“Lavin, jika kau sedang berulang tahun hari ini, kau akan minta hadiah apa?”
“Kak Anton kok ngomong gitu? Lavin kan ulang tahunnya masih lama.”
“Ya, jawab aja.”
“Lavin mau boneka beruang yang gede kak, yang lebih besar dari Lavin. Biar bisa Lavin peluk.” Ujar Lavin sambil terkekeh.
“Kamu suka beruang ya?”
Lavin mengangguk, gadis itu sangat manis apabila sedang tersenyum lebar seperti saat ini. Saat dimana Anton harus mempertimbangkan sendiri keinginannya untuk pergi ke Hawai. Ia benar-benar ingin bertemu ayahnya. Namun di sisi lain, ia tak bisa meninggalkan Lavina sendirian. Gadis itu tak punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya sibuk mengurus perceraian. Selama ini ia hanya dekat dengan Ibu Anton,  Merina. 2 hari yang lalu Berthen – ayah Anton – meneleponnya dan mengirimkan 2 buah tiket ke Hawai untuk Merina dan untuk dirinya sendiri. Ia sekarang benar-benar bingung bagaimana caranya mengatakan semua itu kepada Lavin.
“Ibu, apa besok kita benar-benar akan menemui ayah?”Tanya Anton berharap agar ibunya berubah pikiran.
“Mhhm.. Ibu mengerti, kau belum mengatakannya pada Lavin tentang hal ini ya? Nak, ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk bertemu ayah. Tak lama lagi kita pasti kembali kesini.” Merina meyakinkan anaknya yang terlihat gusar sepanjang hari. “Temui Lavin sekarang dan bicaralah. Biar ibu yang mengemasi barang-barangmu. Besok pagi kita harus sampai di bandara jam 6 pagi.”
Anton mengangguk kemudian berlari kencang menuju rumah Lavin.  
“Lavin?” Sapa Anton dengan kaku.
“Kak Anton, tadi mama membelikan ayam goreng. Kita makan sama-sama yuk?” Lavin menarik tangan Anton namun ia menepisnya.
“Lavin, besok aku akan ke Hawai menemui ayah. Jaga dirimu baik-baik disini ya? Maaf aku baru memberitahumu sekarang.”
“Hawai? Apa tempat itu jauh kak? Berapa lama kakak disana?”
“Aku akan segera kembali untukmu Lavin.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Anton berlari sekencang-kencangnya. Ia benar-benar tak tahan menyembunyikan kesedihannya didepan Lavin. Air matanya meleleh. Ingin sekali ia menghentikan waktu agar malam ini tetaplah menjadi malam hingga tak akan ada hari esok yang menghampirinya. Sementara itu Lavin masih termenung mengingat ucapan yang barusan keluar dari mulut Anton. Benarkah ia harus pergi meninggalkannya sendiri sekarang? Siapa lagi yang akan mengajaknya bermain di halaman? Siapa yang akan menemaninya berangkat sekolah seperti biasa?
Tak bisa dipercaya, Anton benar-benar pergi. Hari itu, Lavin hanya sendiri,seorang diri. Ia memegang setangkai bunga dandelion dan berjanji akan selalu menunggu kedatangan Anton sampai kapanpun.
“Kak Anton, tiap Lavin kangen sama kakak, Lavin akan meniup bunga dandelion dan jika kelopaknya terbang sampai ke Hawai, Lavin harap kakak melihatnya.”

12 Tahun kemudian…..
“Lavin, kenapa kau menolakku? Kau tak tahu? Aku sangat menyukaimu sejak pertama kali kita kenal.”
“Maafkan aku Fred, aku telah berjanji pada seseorang untuk menunggunya sampai ia datang.”
“Tapi kenapa Lavin? Apa orang itu lebih dulu mengenalmu dibanding aku? Apa aku terlambat?”
“12 tahun. 12 tahun yang lalu. Ia berkata padaku bahwa ia akan datang kembali padaku.”
“Kau sangat bodoh Lavin. Kau begitu bodoh menunggu orang yang tak pasti menepati janjinya. Sekarang apa kau tak sadar ada seseorang yang jelas-jelas sudah ada dihadapanmu ini?” Fred tak habis pikir jalan pikiran Lavin begitu konyol yang masih mempercayai cinta monyetnya yang jelas-jelas telah pergi dan tak akan kembali lagi.
“Maafkan aku Fred. Aku tak bisa.” Lavin menunduk, sebutir air membasahi pipinya. Apa yang dikatakan Fred barusan benar. Ia begitu bodoh, semudah itu ia memercayai Anton dulu. Ia berkata akan kembali tak lama lagi. Tapi 12 tahun waktu yang bahkan terlalu lama untuk menunggu seseorang.
***
“Kondisimu sekarang masih belum stabil. Masih ada beberapa proses cuci darah yang harus kau jalani.” Kata Dokter meyakinkan Anton.
“Anthony, kau harus tetap disini sampai kau benar-benar sembuh. Baru ayah ijinkan untuk kembali ke Indonesia.”
“Ayah, jika sekarang ini ayah jadi aku dan wanita yang sedang menunggu hampir 12 tahun lamanya adalah ibu, apa yang akan kau lakukan?” Anton bersikeras pada keinginannya sendiri.
“Kau pintar membalikkan keadaan. Sama seperti ayahmu ini.” Merina muncul membawa paspor beserta perlengkapan pulang.
“Kapan kau menyiapkan semua ini Bu?” Anton tersentak kaget begitu melihat perlengkapannya yang telah rapi.
“Sudah kuduga sebelumnya, selama ini kau gusar terus. Siapa lagi yang kau pikirkan jika bukan Lavin? Ambil ini, ibu Lavin yang mengirimkannya via e-mail kemarin.” Merina menyerahkan  selembar foto gadis manis dengan rambut lurus sebahu yang tergerai indah tertiup angin.
“Lavin, kau sudah sebesar ini. Aku akan segera kembali, tunggulah sebentar saja. Ayah, Ibu, aku pergi ya? Kalian tetap disini. Aku akan mencari sendiri kehidupanku di Indonesia.”
“Tapi, Ibu harus ikut Anton, Ginjalmu belum sehat sepenuhnya.”
“Ibu, aku tak apa-apa, jangan khawatirkan aku. Jagalah ayah disini, aku bisa menjaga diriku sendiri.”
***
Hari ini udara di Jakarta begitu menyengat. Walaupun berbeda dengan suasana Hawai, rupanya Anton cepat beradaptasi dengan lingkungannya karena memang disinilah tempat dimana ia seharusnya berada sekarang, untuk menemui orang yang penting dalam hidupnya. Perjalanan panjang dari Hawai yang sangat melelahkan tak mematahkan keinginannya untuk segera bertemu Lavin. Siang itu matanya tertumbuk pada sebuah boneka teddy bear berukuran besar yang terpajang di etalase toko. Ia jadi teringat sesuatu tentang Lavin. Gadis itu pasti akan senang jika diberikan hadiah yang ia inginkan.
Senyuman Anton tak henti-hentinya merekah setelah kakinya benar-benar menginjak halaman rumah Lavin. Di taman depan Anton melihat seorang gadis berambut sebahu persis seperti yang ada di foto pemberian ibunya. Hatinya berdesir mendapati gadis itu sedang memetik beberapa bunga dandelion dan meniupnya ke udara.
“Permisi, apa kau Lavina?” Anton melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati mendekati tempat gadis itu.
“Iya, saya sendiri. Maaf, anda siapa ya?” Lavin merasa belum pernah melihat pemuda ini disekitar tempat tinggalnya.
“Lavin, bukankah saat kau berulang tahun kau ingin mendapatkan hadiah seperti ini?” Anton menunjukkan boneka super besarnya dan memberikannya pada gadis itu.
“Ha? Kak.. Kak Anton?” Kali ini Lavin benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang tiba-tiba langsung memeluk Anton dengan kencang.
“Hey, Sebegitu rindunya kau padaku ya?” Ujar Anton sembari menepuk-nepuk pundak Lavin yang terisak dibahunya.
“Kak Anton bilang gak akan lama, kau menganggap 12 tahun itu singkat ya? Kau jahat padaku, jahat.” Lavin memukul pelan punggung Anton membuat pemuda itu trenyuh. Betapa teganya ia meninggalkan Lavin selama itu.
“Maafkan aku Lavin, aku akan membayar 12 tahun yang hilang itu. Aku janji padamu.”
“Kak, apa kau tak bertanya apa saja yang aku lakukan selama kak Anton tak ada disini?”
“ Aku sangat ingin tahu tentang itu.” Ujar Anton yang masih tak bisa melepas pelukannya dari gadis itu.
“Aku memetik bunga dandelion itu, lalu aku meniupnya. Aku berharap kepada Tuhan agar dandelion itu sampai ke Hawai dan mengebarimu untuk segera pulang menemuiku.” Ucap Lavin pelan. Anton merasakan Lavin sedang tersenyum saat ini.
Disaat mereka benar-benar saling melepas rindu satu sama lain, tiba-tiba Anton merasa sesuau aneh terjadi pada organ tubuhnya. Rasanya begitu perih dan sakit. Ia melepas pelukannya dari Lavin. Memegangi perut bagian kanannya. Sementara itu Lavin yang sangat panik segera menghubungi dokter keluarganya. Namun, sepertinya Anton tak dapat menahan sakit lebih lama lagi, Lavin segera memapahnya ke dalam kamar.
“Dokter, bagaimana kak Anton?” Tanya Lavin yang dari tadi terus berharap agar tak terjadi sesuatu yang serius dengannya.
“Sepertinya dia baru saja selesai dioperasi transplantasi ginjal. Namun ada beberapa komplikasi yang terjadi. Mungkin ia terlalu lelah dan belum cukup istirahat. Saya sarankan Nak Lavin membawanya ke rumah sakit dan segera menghubungi keluarganya.” Penjelasan dokter barusan sekarang menjadi bumerang yang siap menghantam dirinya. Tuhan, baru saja kak Anton sampai disini sekarang ia harus menderita seperti ini.
“Baik Dok, saya akan menghubungi Ibunya dan segera membawanya ke Rumah Sakit.”
Hari demi hari Lavin dan Merina, ibu Anton menunggu namun Anton tak kunjung sadar juga. Wajah Lavin kini semakin pucat, tubuhnya pun semakin kurus. Merina benar-benar tak tega melihat gadis itu menderita seperti itu.
“Dari umur 16 tahun, Ginjalnya bermasalah. Dan baru bulan lalu ada ginjal yang cocok dengan tubuhnya. Sekarang aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi padanya. Lavin, kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini. Kau harus percaya bahwa Anton akan selamat.” Merina menenangkan Lavin yang tak hentinya menangis dari beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah dokter menyatakan Anton kini dalam masa koma. Lavin hanya menggeleng dan terus memegangi tangan Anton. Lavin bahkan belum sempat menyatakan perasaan sukanya pada Anton. Gadis itu sangat menyukainya, menyayanginya dan begitu mencintainya. Di sudut mata Anton tampak setetes air yang bergulir. Lavin juga melihatnya tersenyum. Lavin begitu terkejut dan segera memanggil dokter.
“Lavin” Tak dipercaya Anton menyebut nama gadis itu. “Aku mencintaimu.” Lanjutnya pelan. Dan setelah itu tak terdengar apa-apa lagi dari tubuh Anton. Lavin berteriak histeris. Dokter telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu, tapi takdir tak dapat dilawan. Bagaimanapun Anton telah menyelesaikan tujuannya untuk menyatakan perasaan pada Lavin saat itu juga. Lavin sangat menyesal pada dirinya sendiri, ia marah pada dirinya.
“Kenapa Kak? Kau bilang akan membayar 12 tahun itu. Apa ini caramu membayarnya?” Lavin memeluk tubuh Anton yang dingin. Dingin sedingin es, sama seperti hatinya yang dingin, keras dan membeku. Sementara Merina yang terisak berusaha menenangkan Lavin.

-Selesai-
                                                                                            


Friday, November 6, 2015

Hai Mbah, apa kabar?

6 November 2015, 10.15 pm
4 bulan sejak kepergian mbah

Ini mbah sama kakek lagi berduaan :')
Mbah, gek kangeeen kangeeeen sekali sama mbah. Kemana gek harus mencari mbah? Kemana lagi gek harus mencari pendongeng setia dari sejak gek masih kecil?

Mengingat hal tentangmu membuatku penuh harap jikalau mbah masih ada disini, di dekat nya gek. Banyak hal yang gek ingin sampaikan sama mbah. Gek ingin menggenggam tangan mbah lebih lama lagi, lebih erat lagi, waktu mbah sudah mbah curahkan hampir semua untuk memperhatikan gek dan adik. Beribu lelah sudah mbah alami untuk menghadapi kenakalan – kenakalan kami, Kesakitan sudah selalu mbah alami selama ini. Menopang tubuh dengan satu kaki yang sehat, untuk memenuhi hasrat mbah menjadi orang sehat. Gek tau betul mbah sangat benci di judge orang sakit. Mbah ingin selalu beraktivitas layaknya orang normal. Saat itu gek marah bukan karena kesalahan mbah, semua karena gek tidak ingin mbah terjatuh, mbah itu keras kepala. Sangat sangat keras kepala sehingga gek suruh untuk duduk satu menit saja tak mau. Tapi apa daya, gek juga tak akan melarang mbah untuk melakukan apa yang mbah sukai, apa yang mbah inginkan.
Gek selalu teringat cerita mbah tentang kakek. Bagaimana rupa beliau jadi gek bisa membayangkan seakan beliau memang pernah gek lihat di dunia ini. Mbah membuat gek merasa memiliki seorang kakeh yang gagah, cerdas, mandiri, dan penyayang bagi keluarganya. Begitulah yang mbah gambarkan pada saat itu. Mbah ingat? Mbah tiba-tiba menemukan dompet kakek yang dari jaman dodol sekali J dan apa mbah tau? Gek masih menyimpannya. Dompet kakek, kenangan dari mbah.
Hari-hari gek di rumah 4 bulan sejak mbah pergi, begitu sunyi mbah, terkadang begitu ingin sekali gek berbicara kepada seseorang, pernah suatu hari gek menyelinap ke kamar mbah, mengambil radio mbah dan memutar siaran favorit mbah, mendatangi kasur mbah, dan duduk diatasnya. Gek ingin sekali bercerita mbah, tentang banyak hal. Gek ingin sekali mengeluh kepada mbah, tentang banyak hal. Ketika mengeluh kepada mereka gek merasa tertekan tapi mengeluh kepada mbah, mbah biasanya tersenyum. Aku percaya bahwa mbah benar-benar menyayangiku, hanya saja gek tidak peka akan hal itu. Kenapa semua begitu terasa ketika mbah sudah tak dapat gek lihat lagi? Kenapa mbah pergi? Tiba-tiba sekali mbah, mbah bahkan belum mengucapkan kata-kata perpisahan untuk gek. Terakhir kali saat itu ketika gek menggotong tubuh mbah, mbah begitu ringan, seringan angin yang menerbangkan selembar daun kering. Mbah begitu rapuh, dan pucat. Putih, dingin ketika mbah dimandikan untuk terakhir kalinya. Rambut mbah yang panjang dan abu-abu sempat gek sisir untuk terakhir kalinya. Gek juga sudah menghantarkan kepergian mbah ke tempat yang indaaah nan jauh itu mbah.
Mbah tenang saja, kopi dan pisang rebus tetap jadi kesukaan gek, sama halnya mbah. Sambil menjarit janur yang hijau itu, mbah cekikikan ketika mendengarkan salurn radio favoritmu mbah. Mbah selalu menyuruh gek membuatkan secangkir kopi dengan takaran satu sendok masing-masing untuk kopi dan gula, karena mbah memang tak suka manis.

Apapun makanannya, asalkan asin mbah begitu sangat menyukainya. Aku takkan jadi penyuka asin sepertimu mbah, nanti tensinya tinggi lo, hehehe. 
Mbah, jaga diri disana yaa. Jangan lupa sesekali pulang, jengukin cucu tersayang mbah yang lagi setres mau ujian mbah. Dek Dony juga kangen sekali sama mbah. Mbah, Gek sayang mbah. Selalu. 

Tuesday, November 3, 2015

Grey


Hey, I couldn’t be done with whatever it called. We’re laughing each other even when you’re just my only friend. How can I stand still whenever our eyes were met accidentally. Honestly my heart seems like “I’m gonna die oh, I wanna die”. It couldn’t stop scream like that. Why don’t you back then saying clearly that you’ve moved from your past lover? I will never ask you to forget about her, no no. Don’t get me wrong. I’m just thinking you must ready enough to find a new moon for your dark sky.

Actually I care so much about you, about all of yours. I don’t want bad things happened on you. When I say No for everyone, but why I’m still say Yes to you even you and me, I mean we’re not a couple anyway. You’re a bad jerk, a sharp-tongued boy, arrogant (yeah so much), a perfectly good critical killer, and you know very very clear I never win every our fight –or I surrender for other reason –  Yeah, after all you’re a jerk but how can I fall for a jerk like you are? an innocent girl like me, oh my Goodness. You’re such a nightmare.

Every hello will end with goodbye. I can’t imagine what happen next if we (him or me) are gone, there’s just an uncompleted story left behind. He will forget about me right? In his own eyes, I’m just a wind who comes for a while to fulfill his loneliness. It doesn’t matter who we will become, still a friend or more. But I really want you to understand how much I care about you, swallowing my pride just to gets your attention, trying to let go but your shadow following back, going to reach you but you stay away, I come closer but you run step by step.
I can’t read mind, so don't you dare confusing me like that. You’re full of grey to me. 

Everything I see is grey.

Grey and grey, but I enjoy every disaster you made. I deserve it.