Pages


Monday, November 9, 2015

Dandelion

Lavina menatap nisan yang kini kokoh didepannya. Gadis itu menengadah, matanya menerawang jauh, jauh ke atas langit. Seandainya ia memiliki mesin waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya ia bisa mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal, tak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
                                                                           ***
Saat Lavina berumur 11 tahun, satu-satunya orang yang paling ia sayangi hanya Anthony. Pemuda cilik yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka adalah tetangga, tetangga yang sangat akrab layaknya saudara.
“Lavin, jika kau sedang berulang tahun hari ini, kau akan minta hadiah apa?”
“Kak Anton kok ngomong gitu? Lavin kan ulang tahunnya masih lama.”
“Ya, jawab aja.”
“Lavin mau boneka beruang yang gede kak, yang lebih besar dari Lavin. Biar bisa Lavin peluk.” Ujar Lavin sambil terkekeh.
“Kamu suka beruang ya?”
Lavin mengangguk, gadis itu sangat manis apabila sedang tersenyum lebar seperti saat ini. Saat dimana Anton harus mempertimbangkan sendiri keinginannya untuk pergi ke Hawai. Ia benar-benar ingin bertemu ayahnya. Namun di sisi lain, ia tak bisa meninggalkan Lavina sendirian. Gadis itu tak punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya sibuk mengurus perceraian. Selama ini ia hanya dekat dengan Ibu Anton,  Merina. 2 hari yang lalu Berthen – ayah Anton – meneleponnya dan mengirimkan 2 buah tiket ke Hawai untuk Merina dan untuk dirinya sendiri. Ia sekarang benar-benar bingung bagaimana caranya mengatakan semua itu kepada Lavin.
“Ibu, apa besok kita benar-benar akan menemui ayah?”Tanya Anton berharap agar ibunya berubah pikiran.
“Mhhm.. Ibu mengerti, kau belum mengatakannya pada Lavin tentang hal ini ya? Nak, ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk bertemu ayah. Tak lama lagi kita pasti kembali kesini.” Merina meyakinkan anaknya yang terlihat gusar sepanjang hari. “Temui Lavin sekarang dan bicaralah. Biar ibu yang mengemasi barang-barangmu. Besok pagi kita harus sampai di bandara jam 6 pagi.”
Anton mengangguk kemudian berlari kencang menuju rumah Lavin.  
“Lavin?” Sapa Anton dengan kaku.
“Kak Anton, tadi mama membelikan ayam goreng. Kita makan sama-sama yuk?” Lavin menarik tangan Anton namun ia menepisnya.
“Lavin, besok aku akan ke Hawai menemui ayah. Jaga dirimu baik-baik disini ya? Maaf aku baru memberitahumu sekarang.”
“Hawai? Apa tempat itu jauh kak? Berapa lama kakak disana?”
“Aku akan segera kembali untukmu Lavin.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Anton berlari sekencang-kencangnya. Ia benar-benar tak tahan menyembunyikan kesedihannya didepan Lavin. Air matanya meleleh. Ingin sekali ia menghentikan waktu agar malam ini tetaplah menjadi malam hingga tak akan ada hari esok yang menghampirinya. Sementara itu Lavin masih termenung mengingat ucapan yang barusan keluar dari mulut Anton. Benarkah ia harus pergi meninggalkannya sendiri sekarang? Siapa lagi yang akan mengajaknya bermain di halaman? Siapa yang akan menemaninya berangkat sekolah seperti biasa?
Tak bisa dipercaya, Anton benar-benar pergi. Hari itu, Lavin hanya sendiri,seorang diri. Ia memegang setangkai bunga dandelion dan berjanji akan selalu menunggu kedatangan Anton sampai kapanpun.
“Kak Anton, tiap Lavin kangen sama kakak, Lavin akan meniup bunga dandelion dan jika kelopaknya terbang sampai ke Hawai, Lavin harap kakak melihatnya.”

12 Tahun kemudian…..
“Lavin, kenapa kau menolakku? Kau tak tahu? Aku sangat menyukaimu sejak pertama kali kita kenal.”
“Maafkan aku Fred, aku telah berjanji pada seseorang untuk menunggunya sampai ia datang.”
“Tapi kenapa Lavin? Apa orang itu lebih dulu mengenalmu dibanding aku? Apa aku terlambat?”
“12 tahun. 12 tahun yang lalu. Ia berkata padaku bahwa ia akan datang kembali padaku.”
“Kau sangat bodoh Lavin. Kau begitu bodoh menunggu orang yang tak pasti menepati janjinya. Sekarang apa kau tak sadar ada seseorang yang jelas-jelas sudah ada dihadapanmu ini?” Fred tak habis pikir jalan pikiran Lavin begitu konyol yang masih mempercayai cinta monyetnya yang jelas-jelas telah pergi dan tak akan kembali lagi.
“Maafkan aku Fred. Aku tak bisa.” Lavin menunduk, sebutir air membasahi pipinya. Apa yang dikatakan Fred barusan benar. Ia begitu bodoh, semudah itu ia memercayai Anton dulu. Ia berkata akan kembali tak lama lagi. Tapi 12 tahun waktu yang bahkan terlalu lama untuk menunggu seseorang.
***
“Kondisimu sekarang masih belum stabil. Masih ada beberapa proses cuci darah yang harus kau jalani.” Kata Dokter meyakinkan Anton.
“Anthony, kau harus tetap disini sampai kau benar-benar sembuh. Baru ayah ijinkan untuk kembali ke Indonesia.”
“Ayah, jika sekarang ini ayah jadi aku dan wanita yang sedang menunggu hampir 12 tahun lamanya adalah ibu, apa yang akan kau lakukan?” Anton bersikeras pada keinginannya sendiri.
“Kau pintar membalikkan keadaan. Sama seperti ayahmu ini.” Merina muncul membawa paspor beserta perlengkapan pulang.
“Kapan kau menyiapkan semua ini Bu?” Anton tersentak kaget begitu melihat perlengkapannya yang telah rapi.
“Sudah kuduga sebelumnya, selama ini kau gusar terus. Siapa lagi yang kau pikirkan jika bukan Lavin? Ambil ini, ibu Lavin yang mengirimkannya via e-mail kemarin.” Merina menyerahkan  selembar foto gadis manis dengan rambut lurus sebahu yang tergerai indah tertiup angin.
“Lavin, kau sudah sebesar ini. Aku akan segera kembali, tunggulah sebentar saja. Ayah, Ibu, aku pergi ya? Kalian tetap disini. Aku akan mencari sendiri kehidupanku di Indonesia.”
“Tapi, Ibu harus ikut Anton, Ginjalmu belum sehat sepenuhnya.”
“Ibu, aku tak apa-apa, jangan khawatirkan aku. Jagalah ayah disini, aku bisa menjaga diriku sendiri.”
***
Hari ini udara di Jakarta begitu menyengat. Walaupun berbeda dengan suasana Hawai, rupanya Anton cepat beradaptasi dengan lingkungannya karena memang disinilah tempat dimana ia seharusnya berada sekarang, untuk menemui orang yang penting dalam hidupnya. Perjalanan panjang dari Hawai yang sangat melelahkan tak mematahkan keinginannya untuk segera bertemu Lavin. Siang itu matanya tertumbuk pada sebuah boneka teddy bear berukuran besar yang terpajang di etalase toko. Ia jadi teringat sesuatu tentang Lavin. Gadis itu pasti akan senang jika diberikan hadiah yang ia inginkan.
Senyuman Anton tak henti-hentinya merekah setelah kakinya benar-benar menginjak halaman rumah Lavin. Di taman depan Anton melihat seorang gadis berambut sebahu persis seperti yang ada di foto pemberian ibunya. Hatinya berdesir mendapati gadis itu sedang memetik beberapa bunga dandelion dan meniupnya ke udara.
“Permisi, apa kau Lavina?” Anton melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati mendekati tempat gadis itu.
“Iya, saya sendiri. Maaf, anda siapa ya?” Lavin merasa belum pernah melihat pemuda ini disekitar tempat tinggalnya.
“Lavin, bukankah saat kau berulang tahun kau ingin mendapatkan hadiah seperti ini?” Anton menunjukkan boneka super besarnya dan memberikannya pada gadis itu.
“Ha? Kak.. Kak Anton?” Kali ini Lavin benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang tiba-tiba langsung memeluk Anton dengan kencang.
“Hey, Sebegitu rindunya kau padaku ya?” Ujar Anton sembari menepuk-nepuk pundak Lavin yang terisak dibahunya.
“Kak Anton bilang gak akan lama, kau menganggap 12 tahun itu singkat ya? Kau jahat padaku, jahat.” Lavin memukul pelan punggung Anton membuat pemuda itu trenyuh. Betapa teganya ia meninggalkan Lavin selama itu.
“Maafkan aku Lavin, aku akan membayar 12 tahun yang hilang itu. Aku janji padamu.”
“Kak, apa kau tak bertanya apa saja yang aku lakukan selama kak Anton tak ada disini?”
“ Aku sangat ingin tahu tentang itu.” Ujar Anton yang masih tak bisa melepas pelukannya dari gadis itu.
“Aku memetik bunga dandelion itu, lalu aku meniupnya. Aku berharap kepada Tuhan agar dandelion itu sampai ke Hawai dan mengebarimu untuk segera pulang menemuiku.” Ucap Lavin pelan. Anton merasakan Lavin sedang tersenyum saat ini.
Disaat mereka benar-benar saling melepas rindu satu sama lain, tiba-tiba Anton merasa sesuau aneh terjadi pada organ tubuhnya. Rasanya begitu perih dan sakit. Ia melepas pelukannya dari Lavin. Memegangi perut bagian kanannya. Sementara itu Lavin yang sangat panik segera menghubungi dokter keluarganya. Namun, sepertinya Anton tak dapat menahan sakit lebih lama lagi, Lavin segera memapahnya ke dalam kamar.
“Dokter, bagaimana kak Anton?” Tanya Lavin yang dari tadi terus berharap agar tak terjadi sesuatu yang serius dengannya.
“Sepertinya dia baru saja selesai dioperasi transplantasi ginjal. Namun ada beberapa komplikasi yang terjadi. Mungkin ia terlalu lelah dan belum cukup istirahat. Saya sarankan Nak Lavin membawanya ke rumah sakit dan segera menghubungi keluarganya.” Penjelasan dokter barusan sekarang menjadi bumerang yang siap menghantam dirinya. Tuhan, baru saja kak Anton sampai disini sekarang ia harus menderita seperti ini.
“Baik Dok, saya akan menghubungi Ibunya dan segera membawanya ke Rumah Sakit.”
Hari demi hari Lavin dan Merina, ibu Anton menunggu namun Anton tak kunjung sadar juga. Wajah Lavin kini semakin pucat, tubuhnya pun semakin kurus. Merina benar-benar tak tega melihat gadis itu menderita seperti itu.
“Dari umur 16 tahun, Ginjalnya bermasalah. Dan baru bulan lalu ada ginjal yang cocok dengan tubuhnya. Sekarang aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi padanya. Lavin, kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini. Kau harus percaya bahwa Anton akan selamat.” Merina menenangkan Lavin yang tak hentinya menangis dari beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah dokter menyatakan Anton kini dalam masa koma. Lavin hanya menggeleng dan terus memegangi tangan Anton. Lavin bahkan belum sempat menyatakan perasaan sukanya pada Anton. Gadis itu sangat menyukainya, menyayanginya dan begitu mencintainya. Di sudut mata Anton tampak setetes air yang bergulir. Lavin juga melihatnya tersenyum. Lavin begitu terkejut dan segera memanggil dokter.
“Lavin” Tak dipercaya Anton menyebut nama gadis itu. “Aku mencintaimu.” Lanjutnya pelan. Dan setelah itu tak terdengar apa-apa lagi dari tubuh Anton. Lavin berteriak histeris. Dokter telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu, tapi takdir tak dapat dilawan. Bagaimanapun Anton telah menyelesaikan tujuannya untuk menyatakan perasaan pada Lavin saat itu juga. Lavin sangat menyesal pada dirinya sendiri, ia marah pada dirinya.
“Kenapa Kak? Kau bilang akan membayar 12 tahun itu. Apa ini caramu membayarnya?” Lavin memeluk tubuh Anton yang dingin. Dingin sedingin es, sama seperti hatinya yang dingin, keras dan membeku. Sementara Merina yang terisak berusaha menenangkan Lavin.

-Selesai-
                                                                                            


No comments:

Post a Comment