Pages


Saturday, December 3, 2011

Cerpen (Maafkan Ma..)



Maafkan Ma…

“Ma. Fika berangkat dulu ya?”
“Ya, hati-hati, inget di sekolah gak boleh main-main, harus serius belajar.”
“Siiippp.. Ma.”
Hampir setiap hari aku mendengar kata-kata itu dari Mama, bosen sih iya. Tapi yang namanya orang tua, pasti selalu nasehatin anaknya.
Sesampainya di school….
“Fika! Sini deh, minggu depan gue ngadain party di rumah gue, elo harus dateng ya? Awas gak.” Ujar Renita seraya memberiku kartu undangan pesta.
“Mmhmh, gue usahain deh.” Jawabku agak ragu.
“Kok usahain, pokoknya elo harus dateng, ini tu acara yang penting banget. Elo tega ama temen nih.”
“Ren, elo kan tau Nyokap gue kayak gimana.”
“Ya deh, gue ngalah. Tapi kalo elo dateng, elo harus ajak cowok lo, si Aldo.”
“Gue usahain ya!”
####
“Huh, gue pengen banget ke pesta itu, tapi gue pasti gak dikasi buat dateng ke sana.”Gumamku dalah hati.
Di saat aku lagi bosen atau istilahnya gak mood, eh, ada Aldo yang nyebelin itu ngagetin aku.
“Fika ku sayang, ngapain kok ngelamun sendiri? Gue tau, pasti mikirin gue, orang yang selalu ngangenin. Ya kan?”
“Adddduuuhhhh…. Ribet deh punya cowok yang GR-nya udah parah banget. Lagian juga siapa coba yang mikirin cowok nyebelin kayak elo.”
“Nyebelin ya? Tapi elo suka kan?”
“Terserah deh, gue mau curhat nih Do, tadi nih ya, Renita ngasi gue undangan ke party, gue mau ikut sebenernya. Tapi…..”
“Gue tau, karena nyokap lo kan? Gue ngerti sikap nyokap lo itu Cuma buat ngelindungin lo, tapi kalo lo ngomong baik-baik pasti dikasih ke party-nya Renita.”
“Lo bantuin gue ngomong ya?”
“Pasti Fik, gue selalu ada buat lo.”
Setiap kata yang terucap dari Aldo selalu membuatku tenang dan terhibur. Aku sangat takut kehilangan dia. Terkadang aku sadar aku telah bersikap terlalu posesif padanya. Tapi kini aku sadar, tindakanku salah. Aldo juga sangat mengerti perasaanku, dia selalu ada jika aku sedang sedih ataupun saat aku bahagia. Tapi aku masih belum senang, aku kecewa pada Mama yang setiap saat terlalu khawatir padaku. Pernah suatu saat dia menentang hubungan kami, tapi akhirnya Mama mau menerima Aldo berkat kelakuan baik Aldo padaku dan adikku. Aku mengerti Mama melakukan semua itu karena ingin melindungiku, apalagi semenjak Papa tiada. Aku merasa kehilangan Papa. Tapi Aldo bilang kita harus merelakan sesuatu pergi meski itu adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita.
“Ma, Fika mau minta ijin ke pesta Renita. Boleh nggak Fika pergi?”
“Nggak, kamu tetep di rumah. Ntar gak ada yang jagain kamu.”
“Aldo akan selalu jagain aku Ma, kenapa Mama masih meragukan Aldo?”
“Pokoknya kamu nggak boleh pergi.”
“Mama jahat! Aku ini udah dewasa, mama nggak usah khawatir kayak gitu.”
“Gimana mama nggak khawatir, kamu ini anak mama, mama nggak mau nasib kamu berakhir kayak Papa kamu yang meninggal kecelakaan karena mabuk abis dari pesta temannya.”
“Tapi, Mama nggak boleh merampas hak Fika dong. Mama egois!”
Aku benar-benar gak bisa nahan emosi saat itu. Aku pun tak menyadari telah berkata kasar bahkan sampai memukul pintu kamarku hingga tanganku terluka. Tapi sakitnya hatiku mengalahkan sakitnya luka tanganku itu.
Maaf sayang, mama terpaksa melakukan semua ini, mama gak mau hal buruk terjadi menimpamu. Gumam mama dalam benaknya.
####
“Fik, lupain aja soal pesta. Gue nggak mau liat lo bertengkar Cuma gara-gara masalah sepele kayak gini.”
“Do, gue tau lo iba kan sama gue. gimana pun gue ini udah dewasa, bisa jaga diri. Gue nggak mau disangka anak manja, apalagi disangka “frik”. Masa Cuma dateng ke pesta temen aja gak dikasih. Mama macam apa itu?”
“Gue tau elo emosi, tapi lo nggak boleh menghina mama lo sendiri, inget dia yang udah ngelahirin lo, ngebesarin lo dengan susah payah. Elo masih beruntung punya mama yang sayang sama elo. Sedangkan gue? gue hanya bisa doain mama di surga.”
“Elo kok jadi nyalahin gue sih? Eh, Aldo. Gue ini pacar lo. Kenapa elo belain orang lain?”
“Gue tambah nggak ngerti jalan pikiran lo sekarang, Ini bukan Fika yang gue kenal dulu. Mana Fika yang selalu berbakti sama ortunya? Mana Fika yang selalu sabar dan lembut?”
“Sory Do. Gue nggak mau lemah lagi dimata kalian semua. Gue capek dikendaliin sama Mama, seakan gue ini robot mainan, yang nurut disuruh ini dan itu.”
Saking kesalnya saat itu aku tak sadar aku telah menyakiti hati 2 orang yang sebenarnya paling aku sayang. Aldo dan Mama.
“Gue capek Do. Elo terus mojokin gue. apa hubungan ini bisa kita pertahanin?”
“Gue juga udah capek liat sikap elo.”
“Trus mau lo apa?”
Di dalam hati aku tak ingin hubungan kami kandas secepat ini, tapi gimana lagi, keadaan yang memaksaku untuk mengakhiri semua dan satu lagi, aku gak punya pilihan lain.
“ Kita Putus!” Kata-kata itulah yang keluar dari mulut kita berdua.
Bagaimana lagi, itu memang keputusan kita berdua, dan masalah ini kurasa berawal dari Mama. Dia telah menghancurkan semuanya, bahkan orang yang kucintai jadi benci sama aku gara-gara wanita yang katanya melahirkanku itu.
Ku hempaskan tubuhku ke atas kasur penuh dengan kegusaran dan penyesalan.
Coba aja gue gak emosi sesaat pasti gue masih sama Aldo.
Gumamku dalam hati kecil terdalam.
“Tok…tok….tok!” Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
“Ah, pasti Mbok Asri.”
Mbok Asri adalah pembantu yang kerja dirumahku. Dia udah ngasuh aku sejak kecil, sejak Mama tidak peduli denganku dan selalu menomor satukan pekerjaan dan kariernya.
“Mbok Asri………  hah..Mama?”
Aku kaget melihat sosok yang paling ku benci berada tepat dihadapanku. Semua orang menganggap Mama sebagai permata, berlian yang katanya berharga dan penuh cinta. Tapi apa yang ku dapat? Hanya siksaan batin yang semakin membuat ku muak.
“Fika, Mama mau minta maaf tentang pesta itu. Mama tahu Mama salah.”
“Apa Ma? Maaf? Telllaaaat…!!!! Apa kata maaf Mama tadi bisa ngembaliin semuanya? Buat Renita gak marah atas ketidak hadiranku di pesta? Bisa buat Aldo masih jadi pacar Fika lagi? Telat Ma, telat. Udah gak berguna lagi.”
“Fika, Mama mohon Mama minta ma………”
“Brrrraaaaaaaaaaakkkkkkk………” dengan marah ku tutup pintu dengan kencang. Aku masih mendengar isakan tangis Mama yang membuat ku makin muak dan ingin menutup telinga. Mungkit sebagian orang yang melihat kejadian tadi menudingku sebagai orang jahat. Tapi asal kalian tau, siapa yang sebenarnya  jahat? Aku atau Mama? Bukankah dia tidak pernah mengerti dengan perasaan anaknya dan selalu mementingkan egonya?
“Ku setel musik keras-keras dikamar. Entah beberapa kali kudengar Mbok Asri memanggilku, tapi aku berusaha menulikan diri. Buat apa lagi dia memanggilku kalau bukan suruhan Mama, yang lebih tepat ku sebut sebagai “wanita egois”
#####
Hari ini matahari tak secerah sinar dihatiku. Ku habiskan sarapanku di pagi buta dan langsung bergegas menuju sekolah. Tapi aneh, kenapa aku tidak melihat Mama? Apa dia masih tidur? Aku ingin melihatnya dikamarnya. Tapi kuurungkan niatku itu. Untuk apa lagi aku menemuinya?
Mobilku melaju cepat tanpa beban. Ku tak bisa merasakan bagaimana hatiku saat ini. Aku tak punya arti apa-apa lagi bagi Aldo. Apalagi setelah aku lihat pagi ini dia bersama seorang wanita cantik yang lebih cantik dan melebihi aku. Lengkap sudah penderitaanku. Mau apalagi? Dari pada aku patah hati gak jelas gini, aku putuskan bolos sekolah. Sekali-sekali tidak akan berpengaruh bagi nilaiku. Itulah aku yang sekarang, yang sudah berubah kata orang, yang jauh berbeda dimata mama. Aku sadari itu, tapi ini bukan kehendakku. Ini bukan salahku.
“Ku hirup sejuknya udara di tempat ini. Ini memang tempat favoritku saat ku menyendiri.  Aku tak punya sahabat, pacarku pergi meninggalkanku, bahkan mamaku sudah gak bisa kuharapkan lagi menjadi ibu yang baik. Ku pikir hidupku tak spesial seperti hidup orang lain yang selalu meneguk kebahagiaan bersama orang yang mereka cintai, selalu makan bersama setiap malam, nonton tv sambil tertawa bersama, jangankan begitu, mendengarkan curhatku aja Mama tak kan pernah sempat karena kariernya yang sedang  “Naik Daun” itu.
Tiba-tiba alunan lagu Seventeen Untuk mencintaimu berkumandang di handphone-ku.
“Halo?” Ku sapa orang diseberang sana.
“Non, ini Mbok Asri non. Aduhh non… gawat… gawat!”
“Mbok, ada apa gawat-gawat segala? TV dirumah rusak? Apa tabung gas meledak?”
“Lebih parah non, non harus segera ke Rumah Sakit, Nyonya kecelakaan dan sekarang lagi kritis non. Dia terus menyebut nama non.”
“Kecelakaan? Palingan Cuma cedera doang. Bilang sama Mama, dia gak butuhin gue lagi. Gue gak akan pernah datang ke Rumah Sakit buat hal yang gak penting gini.”
“Tapi…. Non….Nyo”
“Tut….tut……tut…..” Telepon ku akhiri dengan kesal. Aku tetap sibuk sendiri dengan urusan yang jauh lebih penting dari pada Mama.
Di sisi lain Mbok Asri tampak gelisah dan segera menghubungi no telepon lain, yang bertuliskan nama “Aldo”.
“Halo, apa benar ini nak aldo?”
“Iya saya sendiri, dengan siapa ya?”
“Saya Mbok Asri nak Aldo, saya mau minta bantuan. Ini menyangkut Nyonya. Tolong nak Aldo ke Rumah Sakit sekarang ya?”
“Iya Mbok, saya kesana sekarang.”
#####
“Lho Mbok, Fika mana? Apa dia belum tau keadaan tante Sari?”
“Saya tadi sudah meneleponnya, tapi dia tidak mau ketemu Nyonya, mungkin ada kesibukan yang lain.”
“Dimana dia sekarang Mbok?”
“Saya kurang tau Nak Aldo. Tapi biasanya saya lihat dia sering ke bukit yang ada di jalan Anyelir itu. Nak Aldo tau kan tempat itu?”
“Tau Mbok, Kalau gitu Saya pergi dulu. Jaga tante ya?”
Bergegas Aldo meluncurkan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat tadi. Disana ia mencari-cari bagai mencari jarum ditumpukan jerami.
Betapa luasnya tempat ini. Indah dan sejuk. Tapi mana Fika? Apa dia benar-benar disini? gumam Aldo.
Tampak dikejauhan ia melihat sosok yang tak asing baginya.
“Fik, ayo ikut gue sekarang.”
“Eh… ngapain sih… aduh… sakit tau! Lo kasar banget jadi cowok. Maen sembarang tarik tangan orang aja. lo ngikutin gue ya?”
“Elo kenapa gak temuin nyokap loe yang sangat butuhin lo sekarang?”
“Untuk apa gue harus temuin dia lagi? Gue capek Do! Gue capek!”
“Gue heran dan kecewa sama sikap lo ini. Tapi, sekali aja gue mohon, buka hati lo buat nyokap lo.”
“Apa? Buka hati? Justru dia yang seharusnya buka hatinya ke gue. bukan ngekang dan gak peduliin gue kayak gini.”
“Nyokap lo itu sayang sama elo. Kalo dia gak peduliin lo, harusnya udah dari dulu elo ditelantarkan di jalan. Tapi elo diperlakukan sangat pantas Fik. Elo disekolahin mahal-mahal tujuan nyokap lo untuk apa? Elo dikasi makan, kehidupan yang layak, apa itu gak ngebuktiin kalo nyokap lo sayang sama elo?”
Panjang lebar Aldo berusaha membujukku agar aku mau menemui Mama di Rumah Sakit, aku pun merenung. Ada muncul perasaan bersalah dalam benakku. Aku tau, hatiku yang terdalam memintaku untuk menemui Mama dalam kondisinya yang kritis. Perasaanku gak karuan, gak enak. Terbersit dalam benakku umur Mama akan berakhir sekarang, tapi kubuang jauh-jauh pikiran negatif itu.
“Fik! Elo mau kan ke Rumah Sakit?” Ku lihat Wajah Aldo yang memelas bagai pengemis yang meminta sesuap nasi.
Tapi, sebelum aku menjawab, tiba-tiba seseorang mengabarkan sesuatu lewat Handphone Aldo.
“Apa? Ya… saya kesana sekarang.”
“Kenapa Do? Mama kenapa?” Tanyaku dengan cemas.
“Nyokap lo kritis. Kita harus ke rumah sakit. Tapi kalo elo tetep gak mau, gue sendiri yang kesana.”
Aku tetap diam menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan sekarang ini.
“Kelamaan lo!” Kali ini aku bener-bener liat tampang muka Aldo yang berapi-api, dia benar-benar marah padaku.
Dia melaju kencang dengan mobilnya. Dia benar-benar kecewa padaku. Aku merasa berdosa pada Mama. Benar kata Aldo. Sejahat apapun Ibu dimata kita, dia tetap yang terbaik dan permata surga untuk kita. Ku dengar lantunan lagu Mely Goeslaw “Bunda” tak membendung kesedihanku. Air mataku bercucuran deras membanjiri pipiku. Kenapa aku berubah? Kenapa aku jahat pada Mama? Apa Mama mau memaafkanku ? Apa aku masih bisa memeluknya setelah ini?
Dan…. Aku sudah memutuskan. Aku sudah tau!
“Mama!”
Aku segera berlari menuju ruangan Mama dirawat. Disana Mbok Asri tampak mengelap air matanya yang tak hentinya keluar. Aldo ada di ruang tunggu. Wajahnya gusar. Membuatku tambah bingung.
“Do, Mama mana? Dia gak apa-apa kan? Dia bisa sembuh kan ?”
Aldo menghampiriku dan memelukku. Aku terisak tersedu-sedu. Mengeluarkan semua beban yang ada dalam hidupku. Mencoba menerima semuanya.
“Tante Sari lagi berjuang demi elo Fik. Dia lagi berjuang.”
“Kenapa Do? Kenapa harus Mama yang sakit. Dia terlalu baik. Sedangkan gue? amak yang gak berbakti. Jahat. Kenapa Tuhan buat Mama menderita? Tuhan gak adil Do, gak adil. Harusnya gue yang sakit. Gue yang kritis”
Saat mereka sedang menunggu dan berharap, tiba-tiba Dokter keluar dari ruangan Mama.
“Maaf apakah ada saudari Fika disini? Ibu Sari terus menyebut-nyebut namanya. Saya rasa, dia bisa ikut membantu Ibu Sari dalam masa kritisnya.”
“Iya Dok. Saya Fika. Apa saya boleh masuk Dok?”
“Silahkan nak, dari tadi mama anda terus-menerus menyebut nama anda. “
“Mama…. Bangun ma, ada Fika disini. Ma, Fika janji besok kita akan jalan-jalan, beli es krim berdua, ke kebun binatang liat kelinci kesukaan Mama, mama gak boleh tinggalin Fika Ma, Fika gak mau kehilangan Mama. Bangun ma, ayo banguuuunnnnn………..”
“Fik, elo gak apa-apa?”
“Do, gue anak yang gak berguna Do, gue yang pantesnya sakit bukan Mama. Gue yang harusnya mati. Gue….. jangan Mama.”
“Udah Fik, lo jangan terus-terusan nyalahin diri lo sendiri. Kita ambil hikmahnya aja. dan sekarang yang terpenting, gimana caranya biar Nyokap lo sembuh dan gak menderita kayak gini terus. Jujur gue gak tahan liatnya.”
“Ia, gue tau. Tapi dokter bilang Mama udah kritis. Sarafnya udah mati dan gak bisa berfungsi lagi. Gue bingung. Disini Mama gak dapet perawatan yang layak.”
“Kenapa gak lo bawa aja ke Singapur. Disana pasti nyokap lo bisa ditangani dengan baik.”
“Ia, itu jalan yang terbaik. Thanks Do, elo penyelamat gue.”
“Besok elo siap-siapin barang-barang ya. Lusa elo harus kesana, kasian nyokap lo.”
“Iya. Thanks ya!”
####
“Mama..!!!!! ma, jangan tinggalin Fika, Mama! Bangun ma, bangun.. Fika gak punya siapa-siapa lagi Ma, bangun Ma. Bangun..”
“Sabar Fik, ini kehendak Tuhan. Elo sabar ya. Ada gue yang akan selalu ngejagain lo selamanya.”
“Tapi Do, gue harusnya ngajak Mama berobat dulu sebelum Mama separah ini.”
“Ikhlasin Mamamu pergi Fik. Dia akan bahagia jika elo ngerelain dia pergi.”
“Iya Do, gue sayang Mama”


DEAR DIARY
“Sepinta Hati setelah Mama pergi tinggalkan aku”
Rasanya mataku sudah lelah. Kering kehabisan air mata. Aku menyesal. Seharusnya dari dulu aku dengerin omongan orang-orang  yang mencintaiku. Kini Mama telah meninggalkan aku sendiri. Ia telah bahagia. Untuk yang terakhir kalinya, aku melihat sekujur tubuh mama yang dingin, pucat, putih. Tersirat beban mendalam dari hati Mama, dan beban itu adalah aku. Aku yang selama ini selalu membebani  Mama. Tapi dia tetap tersenyum seiring kepergiannya. Tenanglah Ma, aku akan mewujudkan impian Mama, impian yang selama ini Mama damba. Mama pasti senang kelak aku akan menikah dan mempunyai anak-anak yang bahagia seperti yang selama ini Mama harap dariku. Maaf ma, aku tak pernah memberikan secercah senyuman untukmu.. maaf… maaf Ma……
Mama yang nun jauh disana, telah menunggu janjiku.
-Selesai-

2 comments: