Pages


Monday, November 25, 2013

Coretan Kecil Wanita Tua

Umurku 51 tahun. Tepatnya hari ini. Keluargaku lengkap, aku punya seorang anak, menantu, dan 2 cucuku yang menggemaskan. Kutatap kedua cucuku, rasanya kehidupan masa kecilku terkuak kembali. Kenangan pertama dengan seseorang di bangku SD. Lucu, tertawa, menyisakan sejarah hidup yang masih tersimpan apik di lembaran memoriku. Apakabar baby boy itu? Apa dia masih anak manja sekarang?

Ahhh.. rasanya dunia cepat sekali berputar mengingat aku sudah sampai sejauh ini. Sebenarnya, aku mempunyai satu kesalahan pada pemuda itu. I dump him. Sampai sekarang aku mungkin memahami jika dia masih menganggap aku wanita jahat. Bagaimana tidak, aku mempermainkannya selama 8 bulan. selama itu dia tak dapat bernapas lega. Dulu dia begitu mencintaiku. Tapi, sayangnya tidak dengan aku. Rasanya begitu hambar setelah sekian lama kita bersama. Bahkan dia pernah menguntitku hingga aku mengalami kecelakaan. Bekas luka itu, aku heran.... ketika aku terjatuh luka itu sama sekali tak sakit, namun sekarang, ketika telah sembuh, bekas itu terasa menyakitkan tiap kali aku melihatnya. Inilah sebabnya aku trauma melihat pemuda itu. Aku takut dia akan menyebabkan bencana lain jika dia ada disekitarku.

Sekarang, mungkin dia bernasib sama denganku. Menikah dengan orang yang dicintainya dan dikelilingi cucu-cucu menggemaskan. Kepingan memori itu. Jangan hanya menjadi cerita semata, walaupun kelakuanku begitu menyebalkan padanya, dia tetap menjadi sejarah dalam hidupku.

Di usiaku yang hampir tutup ini, aku ingin mengatakan sesuatu padanya, sekali saja.. aku belum pernah mengatakannya secara langsung. "Maafkan wanita jahat ini."

Thursday, November 21, 2013

Aku Bukan Adikmu (cerpen)

Aku Bukan Adikmu
Sudah lama rasanya aku mengharapkan sesuatu. Sesuatu yang telah menjadi milik orang lain. Bukankah itu berarti aku tak terhormat lagi?
Bedanya, tak ada orang yang tahu aku mengagumi sesuatu itu sejak lama. Tak ada orang yang tahu aku selalu menjadi penguntit, yang selalu mengawasi gerak-gerik sesuatu yang aku suka. Seperti halnya manusia biasa, sayangnya aku tak sesabar itu. Kuputuskan untuk berhenti. Berhenti dari kerja paruh waktuku yang separuh harinya kuhabiskan hanya untuk memikirkan sesuatu nan jauh disana. Biarlah tak ada yang tahu sesuatu apa yang selalu membuatku tak dapat tidur dengan nyenyak, tak dapat makan dengan lahap. Namun sesuatu itu sangat berharga di masa lalu. Dan sekarang aku tak berhak untuk mendambakan apa yang telah pergi meninggalkanku.

***

Namaku Rachel, Rachel Anastasia. Dan nama pemuda yang hari ini sedang berada disampingku Robby Budiman. Tak masalah jika nama belakangnya sering membuatnya kesal. Bagiku Budiman itu indah. Seindah senyuman yang tersungging di wajahnya. Begitu serasi dengan alis rapi, mata bersinar, hidung mancung dengan kumis halus tertata di bawahnya. Ia selalu ingin menghilangkan 'calon kumis' yang katanya hanya mengganggu penampilannya itu. Tapi bagiku, ada atau tidaknya kumis disitu, ia tetap sama dimataku. Indah.

"Kau selalu menatapku seperti itu." Ujarnya masih dengan senyum menggodanya
Aku terkaget, menyadari hal konyol yang aku lakukan. tak seharusnya aku mengagumi wajah orang yang jelas-jelas berada di hadapanku. Ooohh.. malunya.

"Siapa yang menatap, aku hanya..." Belum sempat aku menyelesaikan alibiku, bibirnya dengan lembut mendarat di keningku. Aku semakin ternganga lebar. Aku masih berpikir, apa yang harus aku katakan selanjutnya?
"Selagi kau menatapku, aku melihat kerutan dikeningmu. Tidurlah yang cukup jika kau tak mau cepat tua. Aku hanya memberikan vitamin disitu." 
"Itu kau sebut vitamin? bagaimana jika orang salah paham melihatnya? Astaga.. semua penggemarku akan menjauhiku." Ujarku terkekeh. Hatiku rasanya kacau. Ini pertama kalinya aku dicium oleh seseorang. 
"Untuk apa memikirkan penggemar jika kau masih punya aku?" Ia menatapku tajam.
"Apa Rob Budiman orang yang bisa kupercaya?" 
"Tentu saja, aku akan selalu ada disampingmu. Bagiku, kau itu Tiara."
"Tiara? siapa dia? artis terkenal?"
"Dia adikku yang sudah meninggal. Kau mengingatkan aku padanya."
"Apa dimatamu, aku ini adikmu?"
"Iya".

Hanya itu percakapan terakhir kami. Baginya aku hanya seorang adik. Jika aku lebih lama memperjuangkan perasaanku apa aku masih tetap adiknya? Apa dia pura-pura tidak peka, atau tak punya perasaan?
Seharusnya ia bisa tahu kenapa aku selalu mendekatinya, kenapa aku menghabiskan waktu hanya untuk menemaninya bercerita, seharusnya dia bisa membacanya. Tapi dia buta. 

8 tahun sudah kita tak pernah bertemu semenjak lulus SMA. Aku begitu penasaran bagaimana rupa wajahnya, bagaimana suaranya, bagaimana cara ia berbicara, semua itu hampir kulupakan.
"Tok tok" Sepertinya ada seseorang yang mengunjungi rumahku. Kubuka pintu dengan harapan besar bahwa itu Rob. 
"Ada surat mbak".
Hanya tukang pos. Ketika pintu rumahku terketuk, aku selalu berharap itu Rob. Tapi nyatanya, bukan sama sekali.
Aku menerima sebuah amplop putih dengan pita emas yang meninggalkan kesan elegan. Kubuka perlahan.
Surat undangan pernikahan.
Biasanya, setelah aku menerima surat undangan aku akan tersenyum, seperti ikut berbahagia dengan pernikahan teman - temanku. Tapi hari ini berbeda. Hari ini tak secerah biasa.
Aku menitikkan air mata diatas kebahagiaan seseorang disurat ini. Salahkah jika aku bersedih? 8 Tahun meninggalkan aku. Dan sekarang kembali dengan surat? Dengan siapa dia akan menikah? apa wanita itu lebih cantik? apa ia lebih pintar memasak? jika itu alasannya aku akan belajar memasak dan pergi ke salon tiap hari. agar ia dapat melihatku sebagai perempuan. bukan sebagai adik. Aku benci menjadi adiknya. Sungguh aku benci.
Pernikahannya, jangan harap aku akan ada disana.
***

Monday, November 18, 2013

Pemuda Papan Tulis (cerpen)

Pemuda Papan Tulis

Pagi ini awal September. Seperti biasa, aku menunaikan kewajibanku untuk menjadi siswa rajin yang sudah berada di sekolah pagi-pagi buta. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 6.30 pagi. Kakiku melangkah dan memijaki paving yang biasa kupijaki, melewati pohon mahoni yang biasa kulewati disetiap harinya. Entah apa yang menyihirku untuk tetap melewati jalan penuh lumut itu.
Mataku agak terbelalak melihat pintu kelas yang agak terbuka. Merasa sedikit ada yang aneh pagi itu, langkah kaki kupelankan sehalus mungkin. Sebenarnya aku takut hantu. Kutarik sedikit pintu kayu yang berdecit nyaring. Cepat-cepat kuhidupkan lampu dan… “Tek”
Seseorang berdiri di depan papan tulis menggunakan jaket OSIS. Ternyata hanya orang. Kulonggarkan dadaku yang agak sesak ketakutan.
“Kenapa pagi-pagi sekali?” Tanyaku lirih
“Kamu sendiri, kenapa pagi-pagi sekali?” Ucapnya meniruku.
“Kamu tak tahu aku? Aku ini Irina, si penghuni kelas.” Ujarku bangga.
“Oh ya? Tapi sekarang tidak lagi.” Ujarnya menyunggingkan senyum lalu meninggalkanku dengan kaki yang masih kaku.
 Mungkin ada dua alasan kenapa badanku gemetar pagi ini. Yang pertama, diluar awan-awan kelabu memang sedang menaburkan titik – titik airnya. Yang kedua, orang itu. Pemuda papan tulis dengan senyum yang manis dan mempesona.
***
Menurutku menjadi siswa itu sudah cukup menderita, dan penderitaan ku semakin menjadi-jadi ketika aku harus dipaksa les setiap hari minggu. Oh God, kenapa? Banyakkah dosaku dimasa lalu sehingga kau hukum aku seberat ini?
Kuseret kakiku melintasi koridor tempat lesku. Disudut belakang ruangan, tampak kursi kosong yang memikat  hatiku. Dengan duduk di belakang pastinya aku akan leluasa baca novel. Dibandingkan mendengarkan ocehan guru biologi, aku lebih bersemangat membaca novel “Janda Kembang” yang belum pernah kusingkap dari bulan lalu akibat mewabahnya tren belajar menjelang UN. Mau tak mau, aku pun juga terpaksa mengikuti tren yang sangat didukung mati-matian oleh kedua orang tuaku.
“Eh, penjaga kelas! Sssttt…” Bisikan seseorang menyadarkanku dari fantasi cerita yang aku baca.
Kuangkat wajahku perlahan. Pemuda papan tulis itu duduk dikursi yang ada didepanku. Deg… Untuk pertama kalinya aku lupa bagaimana caranya bernapas, bagaimana caranya berkedip, dan untuk pertama kalinya aku lupa bagaimana caranya berbicara.
“Hey, sssttt…” Sekali lagi dia membangunkan aku dari koma mendadak yang kualami barusan. Rasanya, sesak, dan serba lupa ingatan. Sulit dideskripsikan.
“Kamu? Kenapa disini?” Ucapku polos.
“Disini itu tempat belajar biologi. Bukan buat belajar jadi janda kembang.”
Astaga, aku langsung menyingkirkan bacaanku ke dalam tas gendongku. Oh, malunyaa..
“Iya, sekarang aku belajar.” Tukasku bersemangat.
Pemuda itu kembali menghadap ke depan, namun beberapa detik kemudian ia kembali membalikkan badannya ke belakang.
“Ini, catat dari awal.” Pemuda papan tulis itu menyodorkan catatannya padaku yang baru terisi satu seperempat halaman.
“Lalu kamu catat dimana?”
“Disini” Ujarnya sembari mengetuk-ngetukan jarinya di pelipis kanannya.
“Satu lagi. Kalau bosan, permen bisa mengatasi segalanya.” Sambungnya melempar sebungkus permen pedas manis rasa rujak.
Aku tak tahu benda apa yang sudah menghantamku, tapi sejak hari ini aku tiba-tiba sangat amat begitu menyukai les di hari minggu.
***
Dulunya, aku menganggap remeh motivasi. Bagiku motivasi itu hal omong kosong. Aku merasa hidup di dunia yang hampa dan tak ada motivasi dalam catatan harianku. Tak heran kalau aku benar-benar merasa sendirian sampai aku menemukan cahaya yang menuntunku pada pemuda papan tulis itu. Pemuda itu, seakan oase yang memberiku mata air penyelamat nyawa yang hampir dehidrasi. Pemuda itu, menyihir hatiku.
Entah berapa hari, berapa minggu dan berapa bulan telah kulalui masih dengan rasa dan motivasi yang sama. Sayangnya aku bukanlah gadis yang ekpresif yang dengan gampangnya mendekati pemuda. Aku masih terlalu takut berada disekelilingnya. Bahkan hanya memandangnya saja sudah membuat keringatku mengucur dua liter.
Hari itu, aku membuatkannya sesuatu. Aku berniat untuk menyatakan perasaanku. Dalam selembar kertas, kutulis curahan hati yang telah tertanam subur di hatiku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku suka, bahwa aku tertarik padanya sejak lama. Setelah beberapa kali merangkai kata, kutempel bungkus permen pemberiannya dulu. Permen anti bosan yang pernah ia katakana padaku. Dan semenjak itu, aku tak pernah absen membeli permen itu. Bungkusnya masih kusimpan sampai sekarang.
Perasaanku kacau ketika surat pernyataan cinta itu telah rampung kuselesaikan jam 5 subuh. Ada cambukan keraguan yang terbersit di benakku. Rasa yang bercampur aduk antara takut, malu, tidak percaya diri, canggung menghiasi degup jantung yang berirama lebih cepat dari biasanya.
Oke, sudah kuputuskan aku akan memberikan surat padanya pagi ini di kelas.
***
Layaknya kebiasaanku, aku melintasi paving berlumut yang mulai merebak seiring berjalannya waktu. Aku melangkah agak melambat, bukan karena lumut yang kupijak, bukan karena aku takut hantu. Tapi karena mataku menangkap pemuda papan tulis itu di bawah pohon mahoni. Namun, sepertinya ia tak sendirian. Ada seseorang yang duduk disebelahnya, namun ia tertutupi pohon mahoni besar yang sering kulewati. Aku agak gugup. Mungkin saja itu Vino teman sebangkunya. Aku mulai takut dan ragu untuk menyerahkan surat pengakuanku ini disaat ia bersama temannya.
Aku menghela napas panjang. Kukumpulkan keberanianku, kubulatkan tekadku. Hari ini, di tempat ini, aku harus menyelesaikan urusan perasaan yang perlahan mulai menyiksaku.
“Tap tap tap…” Derap langkahku berhenti didepan pemuda papan tulis itu dan teman disampingnya kini jelas terlihat.
Jantungku bahkan telah kehilang iramanya saat pemuda itu menghampiriku.
“Irina, hai. Kalau ke kelas, tolong hapus coretan-coretan di papan tulis ya.” Ujarnya menepuk bahuku.
“Iyaa, hei.. Aku mau, mmmhh.. aku eee” Otakku mendadak tak berfungsi lagi. Layaknya anak yang belum lulus dari Taman Kanak- Kanak, suaraku berat dan agak tergagap.
“Kenapa?” Potongnya
“Siapa dia?” Bodohnya aku, bodoh bodoh… ingin rasanya aku mengutuk diri sendiri. Aku benar-benar tak mengerti kenapa pertanyaan semacam ini yang keluar dari bibir kakuku.
“Oh, ini Ranti pacarku. Dia adik kelas kita. Masa iya kamu tidak kenal.”
Mendengar pernyataannya barusan, benar-benar seperti ada petir dikepalaku. Dadaku rasanya remuk dihantam ombak. Pacar? Jadi selama ini dia telah berpacaran?
“Ohh, aku mau ke kelas.” Jawabku singkat.
Dia semakin menelusuri wajahku yang berubah seketika. Aku tak peduli jika dia melihat genangan air disudut mataku. Aku tak peduli jika dia melihat tanganku yang sedang meremas sebuah amplop. Seandainya dia tahu kertas apa yang ada di dalamnya, apakah dia akan tetap menunjukkan pacarnya yang lebih cantik itu didepan mataku?
Buru-buru aku berjalan meninggalkan mereka. Lanjutkan saja memadu kasih disana. Lanjutkan saja.
Bendungan dimataku telah jebol. Beruntung aku tidak menangis di depan mereka. Kutatap amplop yang telah kusut. Berakhirlah sudah, pemuda itu memang memberi perubahan yang besar dalam hidupku. Karenanya aku membenci permen rasa rujak itu. Karenanya aku tak lagi datang ke sekolah pagi-pagi buta, aku tak lagi melewati jalan paving berlumut dibawah pohon mahoni itu.
***
Sejak setahun kejadian itu, aku masih menyimpan amplop kusut itu, diam-diam aku bolos kuliah hanya untuk pergi menjenguk pohon mahoni di SMA ku dulu. Diam-diam aku masih merindukan sosok pemuda papan tulis itu, diam-diam aku masih menyukainya. Kubuka amplop kusut itu untuk pertama kali setelah setahun.
Tertera bait terakhir yang membuatku tercekat.
Bulir bening pun menghantam kertas putih yang kugenggam. Ketika aku bertanya bagaimana kabarnya sekarang, dia takkan pernah berpikir tentang keadaanku. Entah apa yang sedang dilakukannya sekarang. Harapanku hanya satu. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali. Karena aku tak merasa bahagia tanpa pemuda itu.

Kutatap sekali lagi bait terakhir itu. Dan untuk pertama kalinya aku berteriak dalam hidupku.

“Aku menyukaimu Arda.”

Saturday, November 16, 2013

sunmon :)

Sunday morning comes ^^
aku selalu suka hari minggu pagi, mmhh yaa alasan umumnya karena setiap hari minggu itu liburr :D
Minggu ini aku lagi  Mid Test. Hanya bisa berharap semoga nilaiku tidak jelek dan aku nantinya bisa menempuh studiku tidak lebih dari 3 tahun. Honestly, aku ingin cepat-cepat bekerja. Menjadi siswa itu menyusahkan. Belum lagi tugas-tugas yang menumpuk. Baru saja semester satu sudah banyak tugas, bayangkan kalo sudah semester 3, semester 5... bisa mati terjejal tugas kalo gini. Tips untuk tugas biar cepat selesai yaa.. susah-susah gampang sih. Intinya kita mesti ada niat, dan kesadaran dari dalam diri. dan yang paling penting... don't wasting your time. jangan buang-buang waktu untuk hal yang gak jelas. Mentang-mentang minggu ini cuma ada tugas satu dan dikumpulnya bulan depan, jangan baru buat buat bulan depan. Buat tugas itu sekarang. setelah dikasi tugas. Kalo tugasnya kelompok, ya bagi-bagi jangan kita sendiri yang mengerjakan. takutnya ada anggota kelompok lain yang gak sependapat sama makalah yang kita bikin kan jadi sia-sia buat, capek tenaga, waktu sia-sia, duit ngeprint jg kebuang. kalo mau buat sendiri, konsultasiin dulu sama anggota kelompok, ada saran atau ide gak.. nanti kita yang nyusun makalah dari bahan-bahan yang udah di search sama temen-temen anggota klmpk kita. nah kalo udah selesai, chek makalah bareng-bareng. udah fix... ya tinggal di print aja. sebenernya gampang aja kalo udah dijalanin. kalo dipikirin terus ya kapan jadi-jadi? the point is.. tugas ada bukan untuk dipikirkan tapi untuk diselesaikan :)



happy holiday everybody ^^



Wednesday, November 13, 2013

Aku kembali ^^

Yaah Sudah lama tak menulis lagi yaa... sepertinya blog ini sudah mulai berdebu, mungkin karena kesibukan yang mulai aku lalui akhir-akhir ini. Maklum lah anak kuliahan. Anyway, rasanya cepat sekali berlalu. Padahal aku merasa belum begitu cocok menjadi anak kuliahan seperti sekarang ini. Rasanya aneh, bukannya tidak suka, tapi aneh. Tapi ya... tak apalah yang penting aku bisa mengerjakan yang aku sukai, bukan harus terpaksa menyukai hal yang aku kerjakan. Bidang ini mungkin yang terbaik untukku.
Aku mengambil jurusan D3 Analis Kesehatan di STIKes Wira Medika PPNI Bali.

You know? awalnya aku sama sekali gak pernah berpikir, berniat, dan berencana untuk mengambil jurusan itu. Target utamaku dulu ingin menjadi perawat. Tapi ya.. ada batu sandungan yang menahanku.
Saat itu aku benar-benar bersemangat untuk ikut tes di salah satu sekolah Kesehatan Negeri di daerah asalku. Aku kerahkan seluruh kemampuanku, materi, bahkan waktuku yang amat berharga demi impianku buat be a nurse. Saat pengumuman via web, pengorbananku membuahkan hasil. Aku lolos tes tulis jurusan D4 Keperawatan dan amazingnya aku berada di peringkat 9 diantara 43 orang yang lolos dan diantara beratus ratus peserta. Bisa dibayangkan how perfectly happy I'm pada saat itu. Tapi itu bukan akhir. Aku masih harus melewati test fisik yang membutuhkan beberapa persyaratan mutlak. Nah.. ini yang kubilang batu sandungan tadi. Mungkin peserta yang lolos dan memiliki tubuh yang sesuai persyaratan tidak menganggap serius tes fisik atau tes kesehatan ini. Tapi aku yang notabene berukuran lebih 'mini' dari mereka tentu saja was-was. Ketika tes kesehatan dilaksanakan, dokter-dokter itu tak bertanya tentang kelemahan yang saya miliki. bahkan tidak ada pihak yang menegur "hey kamu terlalu pendek" atau "kamu tidak akan lolos tes ini". jadi sesudah tes saya tenang-tenang saja. Apalagi ada salah satu peserta yang lolos sebut saja AC yang memiliki tinggi badan 2 cm lebih pendek dari aku. Tinggi badanku yaaa... 147 cm. untuk masuk ke sana harus memiliki tinggi badan minimal 150cm.

Tibalah saat yang paling menegangkan. Hari yang selalu aku tunggu-tunggu. Hari dimana aku berhenti berharap. Hari dimana aku harus mengetahui jawaban akhir dari pengorbananku. Dengan gemetar aku buka web, aku download file 'Pengumuman tes kesehatan D4 Keperawatan'
Aku tak berani melihat namaku di nomor urut 9. jadi aku lihat nama-nama peserta dari no urutan 43. Aku lihat nama AC lulus. Disana lah harapanku mulai meninggi. Dalam benakku terlintas "AC yang notabene lebih pendek aja lulus. Pasti aku lulus juga" Optimismeku mulai memuncak... Namun  terpental jatuh hingga feeling down akut ketika aku lihat no urut 9 dengan nama NI PUTU IKA SUKMADEWI dinyatakan TIDAK LOLOS. Bisa imagine gimana perasaanku saat itu? Otomatis saja aku menangis sejadi-jadinya. Saat itu aku merasa menjadi mahkluk yang paling menyedihkan yang baru saja tertimpa kasus ketidakadilan. Why? Why? kenapa dia lolos tapi aku tidak? aku tidak buta warna, gigiku bersih, aku bahkan ke dokter gigi untuk servis gigiku agar menjadi putih pada saat tes kesehatan. Aku terima jika tinggi badan menjadi alasan kenapa aku failed. tapi harusnya si AC itu juga dong. Kenapa dia yang jelas-jelas memiliki kekurangan sepertiku, harus diloloskan? Tidak, aku tidak menyalahkan AC, tapi siapa yang mesti disalahkan? Ada apa dibalik semua itu? ada permainan uang atau relasi kah?
Who knows?

Seiring waktu berlalu, akhirnya aku memilih D3 Analis Kesehatan sebagai pelabuhan terakhirku. Bidang yang kini aku sukai. entah kenapa aku sekarang sangat bersyukur atas kegagalanku. Aku tak mengada-ada. Aku tak berusaha menghibur hati. Jika aku harus memutar waktu kembali, aku akan mengubah niatku untuk mencari analis. Disini sangat menyenangkan. Tugas kita di laboratorium. Semester awal ini sih aku baru diajarkan dasar-dasar nya saja. Seperti pengenalan alat-alat lab, membuat reagen (bahan kimia), membuat media pertumbuhan bakteri, belajar teknik mengambil darah vena (aku kira awalnya ini hanya tugas perawat). Pokoknya aku sangat enjoy.
Inilah foto''ku saat praktik di laboratorium ^^


Buat Media Lactose Broth 


ini beneran darahku looo.... ngerii? kalo dibayangin emang ngeri, tapi pas ditusuk, tidak sakit. tapi ketagihan hihihi

Saat belajar teknik pengambilan darah vena