Pages


Monday, November 18, 2013

Pemuda Papan Tulis (cerpen)

Pemuda Papan Tulis

Pagi ini awal September. Seperti biasa, aku menunaikan kewajibanku untuk menjadi siswa rajin yang sudah berada di sekolah pagi-pagi buta. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 6.30 pagi. Kakiku melangkah dan memijaki paving yang biasa kupijaki, melewati pohon mahoni yang biasa kulewati disetiap harinya. Entah apa yang menyihirku untuk tetap melewati jalan penuh lumut itu.
Mataku agak terbelalak melihat pintu kelas yang agak terbuka. Merasa sedikit ada yang aneh pagi itu, langkah kaki kupelankan sehalus mungkin. Sebenarnya aku takut hantu. Kutarik sedikit pintu kayu yang berdecit nyaring. Cepat-cepat kuhidupkan lampu dan… “Tek”
Seseorang berdiri di depan papan tulis menggunakan jaket OSIS. Ternyata hanya orang. Kulonggarkan dadaku yang agak sesak ketakutan.
“Kenapa pagi-pagi sekali?” Tanyaku lirih
“Kamu sendiri, kenapa pagi-pagi sekali?” Ucapnya meniruku.
“Kamu tak tahu aku? Aku ini Irina, si penghuni kelas.” Ujarku bangga.
“Oh ya? Tapi sekarang tidak lagi.” Ujarnya menyunggingkan senyum lalu meninggalkanku dengan kaki yang masih kaku.
 Mungkin ada dua alasan kenapa badanku gemetar pagi ini. Yang pertama, diluar awan-awan kelabu memang sedang menaburkan titik – titik airnya. Yang kedua, orang itu. Pemuda papan tulis dengan senyum yang manis dan mempesona.
***
Menurutku menjadi siswa itu sudah cukup menderita, dan penderitaan ku semakin menjadi-jadi ketika aku harus dipaksa les setiap hari minggu. Oh God, kenapa? Banyakkah dosaku dimasa lalu sehingga kau hukum aku seberat ini?
Kuseret kakiku melintasi koridor tempat lesku. Disudut belakang ruangan, tampak kursi kosong yang memikat  hatiku. Dengan duduk di belakang pastinya aku akan leluasa baca novel. Dibandingkan mendengarkan ocehan guru biologi, aku lebih bersemangat membaca novel “Janda Kembang” yang belum pernah kusingkap dari bulan lalu akibat mewabahnya tren belajar menjelang UN. Mau tak mau, aku pun juga terpaksa mengikuti tren yang sangat didukung mati-matian oleh kedua orang tuaku.
“Eh, penjaga kelas! Sssttt…” Bisikan seseorang menyadarkanku dari fantasi cerita yang aku baca.
Kuangkat wajahku perlahan. Pemuda papan tulis itu duduk dikursi yang ada didepanku. Deg… Untuk pertama kalinya aku lupa bagaimana caranya bernapas, bagaimana caranya berkedip, dan untuk pertama kalinya aku lupa bagaimana caranya berbicara.
“Hey, sssttt…” Sekali lagi dia membangunkan aku dari koma mendadak yang kualami barusan. Rasanya, sesak, dan serba lupa ingatan. Sulit dideskripsikan.
“Kamu? Kenapa disini?” Ucapku polos.
“Disini itu tempat belajar biologi. Bukan buat belajar jadi janda kembang.”
Astaga, aku langsung menyingkirkan bacaanku ke dalam tas gendongku. Oh, malunyaa..
“Iya, sekarang aku belajar.” Tukasku bersemangat.
Pemuda itu kembali menghadap ke depan, namun beberapa detik kemudian ia kembali membalikkan badannya ke belakang.
“Ini, catat dari awal.” Pemuda papan tulis itu menyodorkan catatannya padaku yang baru terisi satu seperempat halaman.
“Lalu kamu catat dimana?”
“Disini” Ujarnya sembari mengetuk-ngetukan jarinya di pelipis kanannya.
“Satu lagi. Kalau bosan, permen bisa mengatasi segalanya.” Sambungnya melempar sebungkus permen pedas manis rasa rujak.
Aku tak tahu benda apa yang sudah menghantamku, tapi sejak hari ini aku tiba-tiba sangat amat begitu menyukai les di hari minggu.
***
Dulunya, aku menganggap remeh motivasi. Bagiku motivasi itu hal omong kosong. Aku merasa hidup di dunia yang hampa dan tak ada motivasi dalam catatan harianku. Tak heran kalau aku benar-benar merasa sendirian sampai aku menemukan cahaya yang menuntunku pada pemuda papan tulis itu. Pemuda itu, seakan oase yang memberiku mata air penyelamat nyawa yang hampir dehidrasi. Pemuda itu, menyihir hatiku.
Entah berapa hari, berapa minggu dan berapa bulan telah kulalui masih dengan rasa dan motivasi yang sama. Sayangnya aku bukanlah gadis yang ekpresif yang dengan gampangnya mendekati pemuda. Aku masih terlalu takut berada disekelilingnya. Bahkan hanya memandangnya saja sudah membuat keringatku mengucur dua liter.
Hari itu, aku membuatkannya sesuatu. Aku berniat untuk menyatakan perasaanku. Dalam selembar kertas, kutulis curahan hati yang telah tertanam subur di hatiku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku suka, bahwa aku tertarik padanya sejak lama. Setelah beberapa kali merangkai kata, kutempel bungkus permen pemberiannya dulu. Permen anti bosan yang pernah ia katakana padaku. Dan semenjak itu, aku tak pernah absen membeli permen itu. Bungkusnya masih kusimpan sampai sekarang.
Perasaanku kacau ketika surat pernyataan cinta itu telah rampung kuselesaikan jam 5 subuh. Ada cambukan keraguan yang terbersit di benakku. Rasa yang bercampur aduk antara takut, malu, tidak percaya diri, canggung menghiasi degup jantung yang berirama lebih cepat dari biasanya.
Oke, sudah kuputuskan aku akan memberikan surat padanya pagi ini di kelas.
***
Layaknya kebiasaanku, aku melintasi paving berlumut yang mulai merebak seiring berjalannya waktu. Aku melangkah agak melambat, bukan karena lumut yang kupijak, bukan karena aku takut hantu. Tapi karena mataku menangkap pemuda papan tulis itu di bawah pohon mahoni. Namun, sepertinya ia tak sendirian. Ada seseorang yang duduk disebelahnya, namun ia tertutupi pohon mahoni besar yang sering kulewati. Aku agak gugup. Mungkin saja itu Vino teman sebangkunya. Aku mulai takut dan ragu untuk menyerahkan surat pengakuanku ini disaat ia bersama temannya.
Aku menghela napas panjang. Kukumpulkan keberanianku, kubulatkan tekadku. Hari ini, di tempat ini, aku harus menyelesaikan urusan perasaan yang perlahan mulai menyiksaku.
“Tap tap tap…” Derap langkahku berhenti didepan pemuda papan tulis itu dan teman disampingnya kini jelas terlihat.
Jantungku bahkan telah kehilang iramanya saat pemuda itu menghampiriku.
“Irina, hai. Kalau ke kelas, tolong hapus coretan-coretan di papan tulis ya.” Ujarnya menepuk bahuku.
“Iyaa, hei.. Aku mau, mmmhh.. aku eee” Otakku mendadak tak berfungsi lagi. Layaknya anak yang belum lulus dari Taman Kanak- Kanak, suaraku berat dan agak tergagap.
“Kenapa?” Potongnya
“Siapa dia?” Bodohnya aku, bodoh bodoh… ingin rasanya aku mengutuk diri sendiri. Aku benar-benar tak mengerti kenapa pertanyaan semacam ini yang keluar dari bibir kakuku.
“Oh, ini Ranti pacarku. Dia adik kelas kita. Masa iya kamu tidak kenal.”
Mendengar pernyataannya barusan, benar-benar seperti ada petir dikepalaku. Dadaku rasanya remuk dihantam ombak. Pacar? Jadi selama ini dia telah berpacaran?
“Ohh, aku mau ke kelas.” Jawabku singkat.
Dia semakin menelusuri wajahku yang berubah seketika. Aku tak peduli jika dia melihat genangan air disudut mataku. Aku tak peduli jika dia melihat tanganku yang sedang meremas sebuah amplop. Seandainya dia tahu kertas apa yang ada di dalamnya, apakah dia akan tetap menunjukkan pacarnya yang lebih cantik itu didepan mataku?
Buru-buru aku berjalan meninggalkan mereka. Lanjutkan saja memadu kasih disana. Lanjutkan saja.
Bendungan dimataku telah jebol. Beruntung aku tidak menangis di depan mereka. Kutatap amplop yang telah kusut. Berakhirlah sudah, pemuda itu memang memberi perubahan yang besar dalam hidupku. Karenanya aku membenci permen rasa rujak itu. Karenanya aku tak lagi datang ke sekolah pagi-pagi buta, aku tak lagi melewati jalan paving berlumut dibawah pohon mahoni itu.
***
Sejak setahun kejadian itu, aku masih menyimpan amplop kusut itu, diam-diam aku bolos kuliah hanya untuk pergi menjenguk pohon mahoni di SMA ku dulu. Diam-diam aku masih merindukan sosok pemuda papan tulis itu, diam-diam aku masih menyukainya. Kubuka amplop kusut itu untuk pertama kali setelah setahun.
Tertera bait terakhir yang membuatku tercekat.
Bulir bening pun menghantam kertas putih yang kugenggam. Ketika aku bertanya bagaimana kabarnya sekarang, dia takkan pernah berpikir tentang keadaanku. Entah apa yang sedang dilakukannya sekarang. Harapanku hanya satu. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali. Karena aku tak merasa bahagia tanpa pemuda itu.

Kutatap sekali lagi bait terakhir itu. Dan untuk pertama kalinya aku berteriak dalam hidupku.

“Aku menyukaimu Arda.”

No comments:

Post a Comment