Pemuda Papan Tulis |
Pagi ini awal September. Seperti
biasa, aku menunaikan kewajibanku untuk menjadi siswa rajin yang sudah berada
di sekolah pagi-pagi buta. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 6.30
pagi. Kakiku melangkah dan memijaki paving yang biasa kupijaki, melewati pohon
mahoni yang biasa kulewati disetiap harinya. Entah apa yang menyihirku untuk
tetap melewati jalan penuh lumut itu.
Mataku agak terbelalak melihat
pintu kelas yang agak terbuka. Merasa sedikit ada yang aneh pagi itu, langkah
kaki kupelankan sehalus mungkin. Sebenarnya aku takut hantu. Kutarik sedikit
pintu kayu yang berdecit nyaring. Cepat-cepat kuhidupkan lampu dan… “Tek”
Seseorang berdiri di depan papan
tulis menggunakan jaket OSIS. Ternyata hanya orang. Kulonggarkan dadaku yang
agak sesak ketakutan.
“Kenapa pagi-pagi sekali?”
Tanyaku lirih
“Kamu sendiri, kenapa pagi-pagi
sekali?” Ucapnya meniruku.
“Kamu tak tahu aku? Aku ini Irina,
si penghuni kelas.” Ujarku bangga.
“Oh ya? Tapi sekarang tidak lagi.”
Ujarnya menyunggingkan senyum lalu meninggalkanku dengan kaki yang masih kaku.
Mungkin ada dua alasan kenapa badanku gemetar
pagi ini. Yang pertama, diluar awan-awan kelabu memang sedang menaburkan titik –
titik airnya. Yang kedua, orang itu. Pemuda papan tulis dengan senyum yang
manis dan mempesona.
***
Menurutku menjadi siswa itu sudah
cukup menderita, dan penderitaan ku semakin menjadi-jadi ketika aku harus
dipaksa les setiap hari minggu. Oh God, kenapa? Banyakkah dosaku dimasa lalu
sehingga kau hukum aku seberat ini?
Kuseret kakiku melintasi koridor
tempat lesku. Disudut belakang ruangan, tampak kursi kosong yang memikat hatiku. Dengan duduk di belakang pastinya aku
akan leluasa baca novel. Dibandingkan mendengarkan ocehan guru biologi, aku
lebih bersemangat membaca novel “Janda Kembang” yang belum pernah kusingkap
dari bulan lalu akibat mewabahnya tren belajar menjelang UN. Mau tak mau, aku
pun juga terpaksa mengikuti tren yang sangat didukung mati-matian oleh kedua
orang tuaku.
“Eh, penjaga kelas! Sssttt…”
Bisikan seseorang menyadarkanku dari fantasi cerita yang aku baca.
Kuangkat wajahku perlahan. Pemuda
papan tulis itu duduk dikursi yang ada didepanku. Deg… Untuk pertama kalinya
aku lupa bagaimana caranya bernapas, bagaimana caranya berkedip, dan untuk
pertama kalinya aku lupa bagaimana caranya berbicara.
“Hey, sssttt…” Sekali lagi dia
membangunkan aku dari koma mendadak yang kualami barusan. Rasanya, sesak, dan
serba lupa ingatan. Sulit dideskripsikan.
“Kamu? Kenapa disini?” Ucapku
polos.
“Disini itu tempat belajar biologi.
Bukan buat belajar jadi janda kembang.”
Astaga, aku langsung
menyingkirkan bacaanku ke dalam tas gendongku. Oh, malunyaa..
“Iya, sekarang aku belajar.” Tukasku
bersemangat.
Pemuda itu kembali menghadap ke
depan, namun beberapa detik kemudian ia kembali membalikkan badannya ke belakang.
“Ini, catat dari awal.” Pemuda papan
tulis itu menyodorkan catatannya padaku yang baru terisi satu seperempat
halaman.
“Lalu kamu catat dimana?”
“Disini” Ujarnya sembari mengetuk-ngetukan
jarinya di pelipis kanannya.
“Satu lagi. Kalau bosan, permen
bisa mengatasi segalanya.” Sambungnya melempar sebungkus permen pedas manis
rasa rujak.
Aku tak tahu benda apa yang sudah
menghantamku, tapi sejak hari ini aku tiba-tiba sangat amat begitu menyukai les
di hari minggu.
***
Dulunya, aku menganggap remeh
motivasi. Bagiku motivasi itu hal omong kosong. Aku merasa hidup di dunia yang
hampa dan tak ada motivasi dalam catatan harianku. Tak heran kalau aku
benar-benar merasa sendirian sampai aku menemukan cahaya yang menuntunku pada
pemuda papan tulis itu. Pemuda itu, seakan oase yang memberiku mata air
penyelamat nyawa yang hampir dehidrasi. Pemuda itu, menyihir hatiku.
Entah berapa hari, berapa minggu
dan berapa bulan telah kulalui masih dengan rasa dan motivasi yang sama. Sayangnya
aku bukanlah gadis yang ekpresif yang dengan gampangnya mendekati pemuda. Aku
masih terlalu takut berada disekelilingnya. Bahkan hanya memandangnya saja
sudah membuat keringatku mengucur dua liter.
Hari itu, aku membuatkannya
sesuatu. Aku berniat untuk menyatakan perasaanku. Dalam selembar kertas,
kutulis curahan hati yang telah tertanam subur di hatiku. Aku ingin mengatakan
padanya bahwa aku suka, bahwa aku tertarik padanya sejak lama. Setelah beberapa
kali merangkai kata, kutempel bungkus permen pemberiannya dulu. Permen anti
bosan yang pernah ia katakana padaku. Dan semenjak itu, aku tak pernah absen
membeli permen itu. Bungkusnya masih kusimpan sampai sekarang.
Perasaanku kacau ketika surat pernyataan
cinta itu telah rampung kuselesaikan jam 5 subuh. Ada cambukan keraguan yang
terbersit di benakku. Rasa yang bercampur aduk antara takut, malu, tidak
percaya diri, canggung menghiasi degup jantung yang berirama lebih cepat dari
biasanya.
Oke, sudah kuputuskan aku akan
memberikan surat padanya pagi ini di kelas.
***
Layaknya kebiasaanku, aku
melintasi paving berlumut yang mulai merebak seiring berjalannya waktu. Aku
melangkah agak melambat, bukan karena lumut yang kupijak, bukan karena aku
takut hantu. Tapi karena mataku menangkap pemuda papan tulis itu di bawah pohon
mahoni. Namun, sepertinya ia tak sendirian. Ada seseorang yang duduk
disebelahnya, namun ia tertutupi pohon mahoni besar yang sering kulewati. Aku
agak gugup. Mungkin saja itu Vino teman sebangkunya. Aku mulai takut dan ragu
untuk menyerahkan surat pengakuanku ini disaat ia bersama temannya.
Aku menghela napas panjang.
Kukumpulkan keberanianku, kubulatkan tekadku. Hari ini, di tempat ini, aku
harus menyelesaikan urusan perasaan yang perlahan mulai menyiksaku.
“Tap tap tap…” Derap langkahku
berhenti didepan pemuda papan tulis itu dan teman disampingnya kini jelas
terlihat.
Jantungku bahkan telah kehilang
iramanya saat pemuda itu menghampiriku.
“Irina, hai. Kalau ke kelas,
tolong hapus coretan-coretan di papan tulis ya.” Ujarnya menepuk bahuku.
“Iyaa, hei.. Aku mau, mmmhh.. aku
eee” Otakku mendadak tak berfungsi lagi. Layaknya anak yang belum lulus dari
Taman Kanak- Kanak, suaraku berat dan agak tergagap.
“Kenapa?” Potongnya
“Siapa dia?” Bodohnya aku, bodoh
bodoh… ingin rasanya aku mengutuk diri sendiri. Aku benar-benar tak mengerti
kenapa pertanyaan semacam ini yang keluar dari bibir kakuku.
“Oh, ini Ranti pacarku. Dia adik
kelas kita. Masa iya kamu tidak kenal.”
Mendengar pernyataannya barusan,
benar-benar seperti ada petir dikepalaku. Dadaku rasanya remuk dihantam ombak.
Pacar? Jadi selama ini dia telah berpacaran?
“Ohh, aku mau ke kelas.” Jawabku
singkat.
Dia semakin menelusuri wajahku
yang berubah seketika. Aku tak peduli jika dia melihat genangan air disudut
mataku. Aku tak peduli jika dia melihat tanganku yang sedang meremas sebuah
amplop. Seandainya dia tahu kertas apa yang ada di dalamnya, apakah dia akan
tetap menunjukkan pacarnya yang lebih cantik itu didepan mataku?
Buru-buru aku berjalan meninggalkan
mereka. Lanjutkan saja memadu kasih disana. Lanjutkan saja.
Bendungan dimataku telah jebol.
Beruntung aku tidak menangis di depan mereka. Kutatap amplop yang telah kusut.
Berakhirlah sudah, pemuda itu memang memberi perubahan yang besar dalam
hidupku. Karenanya aku membenci permen rasa rujak itu. Karenanya aku tak lagi
datang ke sekolah pagi-pagi buta, aku tak lagi melewati jalan paving berlumut
dibawah pohon mahoni itu.
***
Sejak setahun kejadian itu, aku
masih menyimpan amplop kusut itu, diam-diam aku bolos kuliah hanya untuk pergi menjenguk
pohon mahoni di SMA ku dulu. Diam-diam aku masih merindukan sosok pemuda papan
tulis itu, diam-diam aku masih menyukainya. Kubuka amplop kusut itu untuk
pertama kali setelah setahun.
Tertera bait terakhir yang
membuatku tercekat.
Bulir bening pun menghantam
kertas putih yang kugenggam. Ketika aku bertanya bagaimana kabarnya sekarang,
dia takkan pernah berpikir tentang keadaanku. Entah apa yang sedang
dilakukannya sekarang. Harapanku hanya satu. Semoga Tuhan mempertemukan kita
kembali. Karena aku tak merasa bahagia tanpa pemuda itu.
Kutatap sekali lagi bait terakhir
itu. Dan untuk pertama kalinya aku berteriak dalam hidupku.
“Aku menyukaimu Arda.”
No comments:
Post a Comment