Aku Bukan Adikmu |
Bedanya, tak ada orang yang tahu aku mengagumi sesuatu itu sejak lama. Tak ada orang yang tahu aku selalu menjadi penguntit, yang selalu mengawasi gerak-gerik sesuatu yang aku suka. Seperti halnya manusia biasa, sayangnya aku tak sesabar itu. Kuputuskan untuk berhenti. Berhenti dari kerja paruh waktuku yang separuh harinya kuhabiskan hanya untuk memikirkan sesuatu nan jauh disana. Biarlah tak ada yang tahu sesuatu apa yang selalu membuatku tak dapat tidur dengan nyenyak, tak dapat makan dengan lahap. Namun sesuatu itu sangat berharga di masa lalu. Dan sekarang aku tak berhak untuk mendambakan apa yang telah pergi meninggalkanku.
***
Namaku Rachel, Rachel Anastasia. Dan nama pemuda yang hari ini sedang berada disampingku Robby Budiman. Tak masalah jika nama belakangnya sering membuatnya kesal. Bagiku Budiman itu indah. Seindah senyuman yang tersungging di wajahnya. Begitu serasi dengan alis rapi, mata bersinar, hidung mancung dengan kumis halus tertata di bawahnya. Ia selalu ingin menghilangkan 'calon kumis' yang katanya hanya mengganggu penampilannya itu. Tapi bagiku, ada atau tidaknya kumis disitu, ia tetap sama dimataku. Indah.
"Kau selalu menatapku seperti itu." Ujarnya masih dengan senyum menggodanya
Aku terkaget, menyadari hal konyol yang aku lakukan. tak seharusnya aku mengagumi wajah orang yang jelas-jelas berada di hadapanku. Ooohh.. malunya.
"Siapa yang menatap, aku hanya..." Belum sempat aku menyelesaikan alibiku, bibirnya dengan lembut mendarat di keningku. Aku semakin ternganga lebar. Aku masih berpikir, apa yang harus aku katakan selanjutnya?
"Selagi kau menatapku, aku melihat kerutan dikeningmu. Tidurlah yang cukup jika kau tak mau cepat tua. Aku hanya memberikan vitamin disitu."
"Itu kau sebut vitamin? bagaimana jika orang salah paham melihatnya? Astaga.. semua penggemarku akan menjauhiku." Ujarku terkekeh. Hatiku rasanya kacau. Ini pertama kalinya aku dicium oleh seseorang.
"Untuk apa memikirkan penggemar jika kau masih punya aku?" Ia menatapku tajam.
"Apa Rob Budiman orang yang bisa kupercaya?"
"Tentu saja, aku akan selalu ada disampingmu. Bagiku, kau itu Tiara."
"Tiara? siapa dia? artis terkenal?"
"Dia adikku yang sudah meninggal. Kau mengingatkan aku padanya."
"Apa dimatamu, aku ini adikmu?"
"Iya".
Hanya itu percakapan terakhir kami. Baginya aku hanya seorang adik. Jika aku lebih lama memperjuangkan perasaanku apa aku masih tetap adiknya? Apa dia pura-pura tidak peka, atau tak punya perasaan?
Seharusnya ia bisa tahu kenapa aku selalu mendekatinya, kenapa aku menghabiskan waktu hanya untuk menemaninya bercerita, seharusnya dia bisa membacanya. Tapi dia buta.
Seharusnya ia bisa tahu kenapa aku selalu mendekatinya, kenapa aku menghabiskan waktu hanya untuk menemaninya bercerita, seharusnya dia bisa membacanya. Tapi dia buta.
8 tahun sudah kita tak pernah bertemu semenjak lulus SMA. Aku begitu penasaran bagaimana rupa wajahnya, bagaimana suaranya, bagaimana cara ia berbicara, semua itu hampir kulupakan.
"Tok tok" Sepertinya ada seseorang yang mengunjungi rumahku. Kubuka pintu dengan harapan besar bahwa itu Rob.
"Ada surat mbak".
Hanya tukang pos. Ketika pintu rumahku terketuk, aku selalu berharap itu Rob. Tapi nyatanya, bukan sama sekali.
Aku menerima sebuah amplop putih dengan pita emas yang meninggalkan kesan elegan. Kubuka perlahan.
Surat undangan pernikahan.
Biasanya, setelah aku menerima surat undangan aku akan tersenyum, seperti ikut berbahagia dengan pernikahan teman - temanku. Tapi hari ini berbeda. Hari ini tak secerah biasa.
Aku menitikkan air mata diatas kebahagiaan seseorang disurat ini. Salahkah jika aku bersedih? 8 Tahun meninggalkan aku. Dan sekarang kembali dengan surat? Dengan siapa dia akan menikah? apa wanita itu lebih cantik? apa ia lebih pintar memasak? jika itu alasannya aku akan belajar memasak dan pergi ke salon tiap hari. agar ia dapat melihatku sebagai perempuan. bukan sebagai adik. Aku benci menjadi adiknya. Sungguh aku benci.
Pernikahannya, jangan harap aku akan ada disana.
***
No comments:
Post a Comment