Lavina menatap nisan yang kini kokoh
didepannya. Gadis itu menengadah, matanya menerawang jauh, jauh ke atas langit.
Seandainya ia memiliki mesin waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya
ia bisa mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal,
tak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang
sangat berarti dalam hidupnya.
***
Saat
Lavina berumur 11 tahun, satu-satunya orang yang paling ia sayangi hanya
Anthony. Pemuda cilik yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka adalah tetangga,
tetangga yang sangat akrab layaknya saudara.
“Lavin,
jika kau sedang berulang tahun hari ini, kau akan minta hadiah apa?”
“Kak
Anton kok ngomong gitu? Lavin kan ulang tahunnya masih lama.”
“Ya,
jawab aja.”
“Lavin
mau boneka beruang yang gede kak, yang lebih besar dari Lavin. Biar bisa Lavin
peluk.” Ujar Lavin sambil terkekeh.
“Kamu
suka beruang ya?”
Lavin
mengangguk, gadis itu sangat manis apabila sedang tersenyum lebar seperti saat
ini. Saat dimana Anton harus mempertimbangkan sendiri keinginannya untuk pergi
ke Hawai. Ia benar-benar ingin bertemu ayahnya. Namun di sisi lain, ia tak bisa
meninggalkan Lavina sendirian. Gadis itu tak punya siapa-siapa lagi. Kedua
orang tuanya sibuk mengurus perceraian. Selama ini ia hanya dekat dengan Ibu
Anton, yaitu Merina. 2 hari yang lalu Steve – ayah Anton – meneleponnya dan
mengirimkan 2 buah tiket ke Hawai untuk Merina dan untuk dirinya sendiri. Ia
sekarang benar-benar bingung bagaimana caranya mengatakan semua itu kepada
Lavin.
“Ibu,
apa besok kita benar-benar akan menemui ayah?”Tanya Anton berharap agar ibunya
berubah pikiran.
“Mhhm..
Ibu mengerti, kau belum mengatakannya pada Lavin tentang hal ini ya? Nak, ini
adalah satu-satunya kesempatan kita untuk bertemu ayah. Tak lama lagi kita
pasti kembali kesini.” Merina meyakinkan anaknya yang terlihat gusar sepanjang
hari. “Temui Lavin sekarang dan bicaralah. Biar ibu yang mengemasi barang-barangmu.
Besok pagi kita harus sampai di bandara jam 6 pagi.”
Anton
mengangguk kemudian berlari kencang menuju rumah Lavin.
“Lavin?”
Sapa Anton dengan kaku.
“Kak
Anton, tadi mama membelikan ayam goreng. Kita makan sama-sama yuk?” Lavin
menarik tangan Anton namun ia menepisnya.
“Lavin,
besok aku akan ke Hawai menemui ayah. Jaga dirimu baik-baik disini ya? Maaf aku
baru memberitahumu sekarang.”
“Hawai?
Apa tempat itu jauh kak? Berapa lama kakak disana?”
“Aku
akan segera kembali untukmu Lavin.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Anton
berlari sekencang-kencangnya. Ia benar-benar tak tahan menyembunyikan
kesedihannya didepan Lavin. Air matanya meleleh. Ingin sekali ia menghentikan
waktu agar malam ini tetaplah menjadi malam hingga tak akan ada hari esok yang
menghampirinya. Sementara itu Lavin masih termenung mengingat ucapan yang
barusan keluar dari mulut Anton. Benarkah ia harus pergi meninggalkannya
sendiri sekarang? Siapa lagi yang akan mengajaknya bermain di halaman? Siapa
yang akan menemaninya berangkat sekolah seperti biasa?
Tak
bisa dipercaya, Anton benar-benar pergi. Hari itu, Lavin hanya sendiri,seorang
diri. Ia memegang setangkai bunga dandelion dan berjanji akan selalu menunggu
kedatangan Anton sampai kapanpun.
“Kak
Anton, tiap Lavin kangen sama kakak, Lavin akan meniup bunga dandelion dan jika
kelopaknya terbang sampai ke Hawai, Lavin harap kakak melihatnya.”
12
Tahun kemudian…..
“Lavin,
kenapa kau menolakku? Kau tak tahu? Aku sangat menyukaimu sejak pertama kali
kita kenal.”
“Maafkan
aku Fred, aku telah berjanji pada seseorang untuk menunggunya sampai ia
datang.”
“Tapi
kenapa Lavin? Apa orang itu lebih dulu mengenalmu dibanding aku? Apa aku
terlambat?”
“12
tahun. 12 tahun yang lalu. Ia berkata padaku bahwa ia akan datang kembali
padaku.”
“Kau
sangat bodoh Lavin. Kau begitu bodoh menunggu orang yang tak pasti menepati
janjinya. Sekarang apa kau tak sadar ada seseorang yang jelas-jelas sudah ada
dihadapanmu ini?” Fred tak habis pikir jalan pikiran Lavin begitu konyol yang
masih mempercayai cinta monyetnya yang jelas-jelas telah pergi dan tak akan
kembali lagi.
“Maafkan
aku Fred. Aku tak bisa.” Lavin menunduk, sebutir air membasahi pipinya. Apa
yang dikatakan Fred barusan benar. Ia begitu bodoh, semudah itu ia memercayai
Anton dulu. Ia berkata akan kembali tak lama lagi. Tapi 12 tahun waktu yang
bahkan terlalu lama untuk menunggu seseorang.
***
“Kondisimu
sekarang masih belum stabil. Masih ada beberapa proses cuci darah yang harus
kau jalani.” Kata Dokter meyakinkan Anton.
“Anthony,
kau harus tetap disini sampai kau benar-benar sembuh. Baru ayah ijinkan untuk
kembali ke Indonesia.”
“Ayah,
jika sekarang ini ayah jadi aku dan wanita yang sedang menunggu hampir 12 tahun
lamanya adalah ibu, apa yang akan kau lakukan?” Anton bersikeras pada
keinginannya sendiri.
“Kau
pintar membalikkan keadaan. Sama seperti ayahmu ini.” Merina muncul membawa
paspor beserta perlengkapan pulang.
“Kapan
kau menyiapkan semua ini Bu?” Anton tersentak kaget begitu melihat
perlengkapannya yang telah rapi.
“Sudah
kuduga sebelumnya, selama ini kau gusar terus. Siapa lagi yang kau pikirkan
jika bukan Lavin? Ambil ini, ibu Lavin yang mengirimkannya via e-mail kemarin.”
Merina menyerahkan selembar foto gadis
manis dengan rambut lurus sebahu yang tergerai indah tertiup angin.
“Lavin,
kau sudah sebesar ini. Aku akan segera kembali, tunggulah sebentar saja. Ayah,
Ibu, aku pergi ya? Kalian tetap disini. Aku akan mencari sendiri kehidupanku di
Indonesia.”
“Tapi,
Ibu harus ikut Anton, Ginjalmu belum sehat sepenuhnya.”
“Ibu,
aku tak apa-apa, jangan khawatirkan aku. Jagalah ayah disini, aku bisa menjaga
diriku sendiri.”
***
Hari
ini udara di Jakarta begitu menyengat. Walaupun berbeda dengan suasana Hawai,
rupanya Anton cepat beradaptasi dengan lingkungannya karena memang disinilah
tempat dimana ia seharusnya berada sekarang, untuk menemui orang yang penting
dalam hidupnya. Perjalanan panjang dari Hawai yang sangat melelahkan tak
mematahkan keinginannya untuk segera bertemu Lavin. Siang itu matanya tertumbuk
pada sebuah boneka teddy bear berukuran
besar yang terpajang di etalase toko. Ia jadi teringat sesuatu tentang Lavin.
Gadis itu pasti akan senang jika diberikan hadiah yang ia inginkan.
Senyuman
Anton tak henti-hentinya merekah setelah kakinya benar-benar menginjak halaman
rumah Lavin. Di taman depan Anton melihat seorang gadis berambut sebahu persis
seperti yang ada di foto pemberian ibunya. Hatinya berdesir mendapati gadis itu
sedang memetik beberapa bunga dandelion dan meniupnya ke udara.
“Permisi,
apa kau Lavina?” Anton melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati mendekati
tempat gadis itu.
“Iya,
saya sendiri. Maaf, anda siapa ya?” Lavin merasa belum pernah melihat pemuda
ini disekitar tempat tinggalnya.
“Lavin,
bukankah saat kau berulang tahun kau ingin mendapatkan hadiah seperti ini?”
Anton menunjukkan boneka super besarnya dan memberikannya pada gadis itu.
“Ha?
Kak.. Kak Anton?” Kali ini Lavin benar-benar tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya yang tiba-tiba langsung memeluk Anton dengan kencang.
“Hey,
Sebegitu rindunya kau padaku ya?” Ujar Anton sembari menepuk-nepuk pundak Lavin
yang terisak dibahunya.
“Kak
Anton bilang gak akan lama, kau menganggap 12 tahun itu singkat ya? Kau jahat
padaku, jahat.” Lavin memukul pelan punggung Anton membuat pemuda itu trenyuh.
Betapa teganya ia meninggalkan Lavin selama itu.
“Maafkan
aku Lavin, aku akan membayar 12 tahun yang hilang itu. Aku janji padamu.”
“Kak,
apa kau tak bertanya apa saja yang aku lakukan selama kak Anton tak ada
disini?”
“
Aku sangat ingin tahu tentang itu.” Ujar Anton yang masih tak bisa melepas
pelukannya dari gadis itu.
“Aku
memetik bunga dandelion itu, lalu aku meniupnya. Aku berharap kepada Tuhan agar
dandelion itu sampai ke Hawai dan mengebarimu untuk segera pulang menemuiku.”
Ucap Lavin pelan. Anton merasakan Lavin sedang tersenyum saat ini.
Disaat
mereka benar-benar saling melepas rindu satu sama lain, tiba-tiba Anton merasa
sesuau aneh terjadi pada organ tubuhnya. Rasanya begitu perih dan sakit. Ia
melepas pelukannya dari Lavin. Memegangi perut bagian kanannya. Sementara itu Lavin
yang sangat panik segera menghubungi dokter keluarganya. Namun, sepertinya
Anton tak dapat menahan sakit lebih lama lagi, Lavin segera memapahnya ke dalam
kamar.
“Dokter,
bagaimana kak Anton?” Tanya Lavin yang dari tadi terus berharap agar tak terjadi
sesuatu yang serius dengannya.
“Sepertinya
dia baru saja selesai dioperasi transplantasi ginjal. Namun ada beberapa
komplikasi yang terjadi. Mungkin ia terlalu lelah dan belum cukup istirahat.
Saya sarankan Nak Lavin membawanya ke rumah sakit dan segera menghubungi
keluarganya.” Penjelasan dokter barusan sekarang menjadi bumerang yang siap
menghantam dirinya. Tuhan, baru saja kak Anton sampai disini sekarang ia harus
menderita seperti ini.
“Baik
Dok, saya akan menghubungi Ibunya dan segera membawanya ke Rumah Sakit.”
Hari
demi hari Lavin dan Merina, ibu Anton menunggu namun Anton tak kunjung sadar
juga. Wajah Lavin kini semakin pucat, tubuhnya pun semakin kurus. Merina
benar-benar tak tega melihat gadis itu menderita seperti itu.
“Dari
umur 16 tahun, Ginjalnya bermasalah. Dan baru bulan lalu ada ginjal yang cocok
dengan tubuhnya. Sekarang aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi
padanya. Lavin, kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini. Kau harus percaya
bahwa Anton akan selamat.” Merina menenangkan Lavin yang tak hentinya menangis
dari beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah dokter menyatakan Anton kini
dalam masa koma. Lavin hanya menggeleng dan terus memegangi tangan Anton. Lavin
bahkan belum sempat menyatakan perasaan sukanya pada Anton. Gadis itu sangat
menyukainya, menyayanginya dan begitu mencintainya. Di sudut mata Anton tampak
setetes air yang bergulir. Lavin juga melihatnya tersenyum. Lavin begitu
terkejut dan segera memanggil dokter.
“Lavin”
Tak dipercaya Anton menyebut nama gadis itu. “Aku mencintaimu.” Lanjutnya
pelan. Dan setelah itu tak terdengar apa-apa lagi dari tubuh Anton. Lavin
berteriak histeris. Dokter telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa
pemuda itu, tapi takdir tak dapat dilawan. Bagaimanapun Anton telah
menyelesaikan tujuannya untuk menyatakan perasaan pada Lavin saat itu juga.
Lavin sangat menyesal pada dirinya sendiri, ia marah pada dirinya.
“Kenapa
Kak? Kau bilang akan membayar 12 tahun itu. Apa ini caramu membayarnya?” Lavin
memeluk tubuh Anton yang dingin. Dingin sedingin es, sama seperti hatinya yang
dingin, keras dan membeku. Sementara Merina yang terisak berusaha menenangkan
Lavin.
-Selesai-
No comments:
Post a Comment