Dentingan Harmony
-Harmony-
Setelah sebulan semenjak kelahiran adikku, kini hidupku
begitu ramai dan berwarna. Rasanya seperti berada di taman bunga setiap hari.
Danny lucu sekali, rambutnya ikal saat pertama kali ia terlahir di dunia. Namun
begitu kami memotongnya, tiba-tiba rambut ikalnya tumbuh kembali dalam wujud
yang lurus. Jadi namanya bukan ikal lagi. Aku sayang adikku, mama dan papa yang
paling senang. Mereka memang selalu mengidamkan lahirnya bayi laki-laki. Walau
anak itu memang menggemaskan, tapi dia bisa berubah menjadi anak yang
menjengkelkan ketika dia poop di celana. Aku benci itu, sungguh.
Aku juga membenci hari ini, mereka tak ingat hari Ulang
Tahun ke 5 ku karena terlalu sibuk dengan Danny. Dia benar-benar mengubah
semuanya bahkan kebahagiaanku dia rebut. Mama dan Papa. Aku kira segalanya akan
berubah ketika ia dewasa nanti, suatu hari pasti semuanya akan kembali normal
seperti sebelum Danny berada diantara kami.
***
“Mama.. Lihat!” Seru Danny girang, tangannya terlihat
membawa selembar kertas.
“Ohh.. Honey, kau juara kelas lagi? Mama sangat bangga
padamu.” Nyonya Santoso memeluk anak kesayangannya.
“Apa aku boleh mendapatkan hadiahku?” Mata Danny berbinar
teringat akan hadiah yang paling ia inginkan semenjak tahun lalu.
“Tentu saja. Apapun yang anak mama inginkan.”
Mereka terlihat sangat akrab, hangat dan saling menyayangi.
Disudut ruang keluarga, tampak gadis 14 tahun mematung sendu
ke arah kebahagiaan ibu dan anak
laki-laki itu. Setetes demi tetes butiran bening di matanya bergulir. Piala
yang sejak tadi ingin ia tunjukkan kepada sang mama kini tak ada artinya lagi.
Dalam suasana rumah yang hangat dan nyaman, satu-satunya hal yang ia rasakan
hanyalah kedinginan. Tanpa hangatnya sambutan keluarga. Baginya, mama dan
papanya adalah motivasinya. Tapi sekarang ia seperti kehilangan semuanya.
Kepercayaan dirinya, seakan sirna.
“Kak Mony, lihat kak! Danny punya gitar. Masa cuma kakak
yang punya piano, Danny juga harus punya alat musik.” Cibirnya menghampiri sang
kakak di kamar.
“Itu bukan piano kakak, itu punya kakek.”
“Kenapa ditaruh di kamar kakak? Kenapa bukan di kamar Danny
aja?”
“Soalnya dulu pas kakek meninggal, Danny baru lahir. Bahkan
mama dan papa gak peduli sama keadaan kakek gara-gara kamu lahir. Cuma piano
ini yang kakak punya buat mengenang kakek.” Kali ini Mony terlalu marah. Adiknya selalu
membesarkan masalah. Ia harus memiliki benda yang kakaknya punya. Bahkan dia
harus terlihat lebih beruntung dari Mony.
“Kok salah Danny? Kakak jahat. Danny akan bilang sama mama
papa.” Ancam Danny mendelikkan mata.
“Sana bilang, kakak gak takut. Dasar mamaboy.” Balas Mony
tak mau kalah. Api amarahnya semakin berkobar-kobar dihadapan Danny.
Danny berlari ke ruang keluarga sambil menangis
tersedu-sedu. Tak lama setelah itu sang Mama terlihat marah membawa sapu lidi.
Yahh.. sepertinya kiamat sudah mendatangi gadis malang itu.
***
-Harmony-
Tubuhku meringkuk kau cambuk, apa kalian tak merasakannya?
Hatiku pedih kalian lukai, apa kalian tak merasakannya?
Jiwaku lelah, ingin menyusul kakek.
Andai saja kakek disini bersamaku, aku mungkin akan dibela
didepan kalian semua.
Kakek,apa di atas sana kakek bahagia?
Apa disana banyak ada taman bunga seperti yang selama ini
kakek ceritakan?
Apa malaikat surga benar-benar ada?
Aku juga ingin disana bersama kakek. Salahkah aku
menginginkan hal itu?
***
Penanya berhenti menari, tubuh kurusnya beranjak
meninggalkan buku harian ungunya menuju piano tua yang selama ini menjadi
penjaga hatinya. Dentingan melodi ia
alunkan, iringan lagu sendu itu senada dengan rona hati kelabu yang
menyelimutinya setiap hari.
Matanya terpejam sesekali menguak kembali kenangan tentang
almarhum kakek kesayangannya. Butiran bening kembali membasahi pipi tirus itu,
ia terisak perlahan.. dan semakin menjadi-jadi. Kakek, hanya itu yang ia
butuhkan sekarang. Lelaki tua yang dahulu begitu menyayanginya, begitu
membanggakannya.
“Kakek, kakek, kakek, kakek..” Ia sebut nama beliau
berulang-ulang.
“Aku butuh kakek, hanya kakek. Sekarang semuanya menjauh
dari Mony kek.”
Ia terus saja mencurahkan segala tekanan batinnya diatas
piano tua itu. Setiap dentingnya penuh dengan emosi – emosi yang berkelebat di
hatinya.
“Seandainya aku bisa memilih, kakek atau hidupku sendiri,
tentu saja aku akan memilih kita berdua. Kakek dan aku. Karena kita berdua
tidak akan terpisahkan. Bahkan setelah kakek di surga, bukan berarti kakek
meninggalkanku. Kakek tetap disini kan?” Gadis itu tersenyum sembari menyentuh
dadanya, merasakan kehadiran malaikat didekatnya.
“Kakek.”
-Harmony-
Kau dengar itu? Dentingan di setiap hariku
Hanya karenamu aku bernada
Alunan sederhana kupersembahkan untuk malaikat surgaku
Tak terbendung rasa rindu ini, tak terhitung betapa ku ingin
bertemu
Entah semusim, atau dua musim. Segalanya berlalu begitu
cepat
Kuharap hembusan angin itu adalah engkau yang hadir
menyapaku
Aku merindukanmu, malaikatku.
No comments:
Post a Comment