My Lifesaver
ane
Carlton sekali lagi mengusap album foto berdebu yang berisi segudang kenangan
99 hari itu. Terlihat sudut bibirnya yang memaksakan seulas senyuman
hambar. Matanya terpejam memutar flashback
kehidupan lampaunya yang selalu tersimpan rapi dalam memori ingatannya. Pemuda
itulah yang telah menyelamatkannya dari
jiwa yang semestinya tenggelam di dasar bumi ini. Dialah malaikatnya, dialah
bagian dari dirinya.Harga yang telah ia bayar takkan terganti dengan apapun.
***
“Steve
Morren, kau mau aku menikahimu tanggal itu? Hey, kau ingin kesialan menimpa
kita nantinya?” Keluh Jane Carlton yang sedari tadi mencorat-coret daftar
undangan untuk persiapan hari pernikahannya.
“Justru
aku ingin semua orang mengetahui angka 13 itu tak benar-benar sial. Apa
jangan-jangan kau mempercayai mitos murahan itu?” Steve Morren menyipitkan
matanya memandang tajam kearah Jane, calon istrinya.
“Bukan
begitu, aku merasa hari itu bukan waktu yang tepat bagiku.” Kali ini suara Jane
melemah pertanda ia tak punya jawaban lain untuk ‘menyerang’ Steve.
“Percayalah,
kau hanya nervous. Kau takut aku
mengetahui kebiasaan burukmu saat kita sudah menikah nanti. Benarkan?”
“Aku
tak punya kebiasaan buruk, apa jangan-jangan seorang Steve Morren yang
berwibawa ternyata punya kebiasaan lupa menggosok gigi sebelum tidur?” Jane
menyeringai perlahan gelak tawa pun pecah diantara keduanya. Tak lama lagi
komitmen yang selama ini mereka rencanakan dengan matang akhirnya bisa
dilaksanakan beberapa minggu lagi. Semuanya telah siap jauh hari sebelum acara
itu dilangsungkan. Lihatlah, foto pra-wedding
telah rampung dua minggu sebelumnya. Bahkan mereka sampai rela terbang ke
Perancis dari San Fransisco hanya untuk berfoto di Oradure Sur Glane,
tempat menyeramkan itu. Mereka memang benar-benar gila.
***
Malam
itu angin bertiup kencang, dan Jane masih terjaga dalam tidurnya. Diliriknya
weker kecil diatas meja. Ia terbelalak kalau ternyata saat itu sudah pukul 3
pagi dan ia sama sekali belum memejamkan mata sedikitpun. Jane mengambil handphone-nya dan jemarinya cekatan
mengetik diatas tombol-tombol kecil itu.
“Steve, kau sudah
bangun?”
Awalnya
ia mengira tak akan ada balasan dari pemuda itu, tapi dugaannya salah
sepenuhnya. Keadaannya sama sekarang, Steve ternyata belum tidur.
“Bangun? Bahkan
tidurpun aku tak sanggup”
“Steve, apa kau
memikirkan apa yang sedang aku pikirkan sekarang?”
“Aku sedang memikirkan
Jane Carlton dengan gaun putih sedang berjalan di altar bersamaku”
“Aku serius Steve, harusnya
kita geser tanggal pernikahan kita”
Steve
memandang layar handphone-nya dan
tersenyum lebar. Dasar Jane, dia pasti akan terus menerus membujuk Steve sampai
ia mengubah keputusannya.
“Maaf Jane, tapi
undangannya sudah dicetak. Kita tak bisa membuat yang baru lagi”
Kali
ini Jane lelah berdebat mengenai tanggal pernikahan. Entah apa yang membuatnya
selalu terbayang-bayang akan kekacauan di hari itu. Malam itu benar-benar malam
yang panjang bagi Jane, pagi harinya ia tak terlalu kaget mendapati lingkaran
hitam yang muncul begitu saja. Sungguh menyebalkan.
Steve
yang tiba-tiba datang ke rumahnya tentu saja sangat mengejutkan Jane. Astaga!
Jane pun belum sempat mandi.
“Hai
nona manis, kau terlihat tak sehat hari ini.” Ujar Steve yang menyentuh dahi
gadis itu dengan telapak tangannya.
“Kenapa
kau tak pernah mengabariku jika mau kemari?” Tanya Jane kesal. Pemuda itu
memang seenaknya keluar masuk rumah Jane tanpa memencet bel terlebih dahulu.
Namun, kedua orang tua Jane tentu saja sangat tidak keberatan.
“Sana
cepat mandi, aku ingin mengajakmu jalan-jalan.” Steve mendorong punggung Jane
menuju kamar mandinya.
***
“Steve,
lihat! Aku ingin naik itu.” Teriak Jane seperti seorang anak kecil yang minta
dibelikan permen. Tapi itu malah membuat Steve makin suka berada di dekat gadis
manjanya itu.
“Tidak
boleh, itu mainan anak kecil Jane, apa kau tak malu menaiki bom-bom car sekecil
itu?”
“Kau
selalu dipihakku jika aku dipermalukan.”
Ucap Jane lembut. Ia menyunggingkan seulas senyum terindahnya untuk
Steve.
“Jane,
berjanjilah padaku satu hal.”
“Apa itu?”
“Lanjutkan
terus hidupmu selama ada maupun tidaknya aku. Tetaplah tersenyum seperti ini.”
Tatapan Steve melembut.
“Kenapa
tiba-tiba berkata begitu? Kau seperti mau pergi jauh saja.”
“….”
Suasana hening sejenak, Steve juga tak sadar kata-kata itu meluncur begitu saja
dari mulutnya. Dan itu membuat Jane khawatir bahkan mungkin lebih buruk dari
itu.
“Jane,
aku mencintaimu” Steve merasa aliran darahnya semakin deras. Jantungnya kini
berpacu secepat kilat.
“Aku
mencintaimu Steve Morren, mengenai angka itu 13 lupakan saja.”
“Jadi
kau setuju dengan tanggal itu?” Warna muka Steve tiba-tiba secerah pelangi yang
tadinya kelam layaknya mendung.
“Tentu
saja, aku tak akan memikirkan masalah itu lagi” Jawab Jane Carlton ringan.
Walaupu terlihat biasa saja, namun
bayangan angka 13 itu selalu berkelebat dalam benaknya. Jika bukan karena Steve
Morren yang memintanya, ia tak akan menyetujui keputusan ini karena dari dulu
ia memang tidak suka dengan angka 13.
“Ms.
Carlton, kau terlihat lelah. Ayo! Sebaiknya kita bergegas sebelum matahari
terbenam.”
“Bukankah
kau ingin kita menghabiskan waktu seharian? Kenapa harus pulang secepat ini?”
Protes Jane mengerutkan dahi. Ia mencurutkan bibirnya pertanda tak setuju.
Steve yang tersenyum simpul saat itu mengulurkan tangannya kearah Jane kemudian
segera disambut oleh gadis itu.
***
Demi
Tuhan Jane Carlton benar-benar mematung saat itu. Lidahnya yang kelu tak mampu
mengucapkan sepatah katapun. Matanya yang kini sibuk menengadah, menyaksikan
pemandangan yang paling ia sukai. Matahari tenggelam.
Steve
yang sedari tadi memperhatikan wajah Jane kini tak tahan untuk bertanya .“Kau
suka?”
“Aku
sangat sangat dan sangat menyukainya.” Ujar Jane Carlton penuh semangat. Di
wajahnya terpancar rona kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan dari orang lain
terkecuali Steve Morren tentunya.
Waktu
berpacu dengan sangat cepat, manisnya awan jingga telah tergantikan oleh
hangatnya langit malam dengan taburan bintang-bintang. Mereka tampaknya terlalu
menikmati hari hingga lupa pada diri mereka sendiri dengan kenyataan bahwa tak
selamanya waktu dapat dikendalikan. Kenyataan bahwa masih ada hari esok dan
esoknya lagi untuk mengulang perjalanan yang tak kalah menyenangkan dari hari
ini. Steve yakin Jane akan sepenuhnya menerima dirinya. Begitu pula gadis itu,
yang akan selalu mencintai Steve sepenuh hatinya.
***
Jane Carlton merasa panas menyerang sekujur
tubuhnya. Demi Tuhan ia tak pernah merasa segugup ini. Sebentar lagi, ia akan
berhadapan dengan Steve Morren kali ini tentunya dengan situasi yang berbeda.
Jane melirik handphone yang ia genggam sedari tadi berharap pemuda itu
mengabarinya untuk sekedar menanyakan “Hai” atau “Halo” agar ia bisa memastikan
Steve baik-baik saja. Tak lama kemudian harapannya terkabul. Steve mengirimkan
MMS berupa fotonya yang sedang mengenakan jas hitam. Hati Jane mengerang saat
mengakui bahwa Steve memang mengagumkan. Ia sangat tampan, tentu saja bukan
untuk hari ini saja. Jane saat itu mengenakan balutan gaun panjang berwarna
krem muda yang sangat elegan dan pas dengan rambut pirangnya. Inilah saatnya
saat yang paling ditunggu-tunggu berdiri tepat di altar bersama pemuda yang
sangat ia cintai.
“Mr.
Steve Morren, apa kau bersedia hidup bersama Ms. Jane Carlton dalam suka maupun
duka, dalam sehat dan sakit dan dalam kaya maupun miskin?” Suara pendeta yang
nyaring nyaris tak terdengar di telinga Steve saking tercengangnya melihat Jane
saat itu.
“Aku
bersedia.” Jawab Steve tegas.
“Ms.
Jane Carlton, apa kau bersedia?”
“Aku
bersedia.” Ujarnya lirih. Ia melemparkan senyum manis ke arah Steve. Steve
mengerjitkan sebelah alisnya dan membuka lengannya lebar-lebar yang siap
memeluk wanita itu.
Mereka
tenggelam dalam suasana itu, suasana yang hanya mereka yang memilikinya.
Seutuhnya.
“Dear,
ini saat yang paling ku benci.” Ujar Mrs. Carlton mengusap air mata yang
mengalir begitu deras. Disampingnya tampak Mr. Carlton berusaha menenangkan
wanita itu.
“Mom,
aku pasti akan menjengukmu tiap hari. Aku janji.” Bujuk Jane khawatir.Kelihatannya
memang susah juga untuk membujuk ibunya. Tapi bagaimanapun orang tua memang harus rela melepaskan
anak perempuan mereka karena mereka akan
menemukan hidupnya yang baru. Salah satunya hal yang diidam-idamkan Jean dari
dulu. Menjadi seorang ibu.
Malam
itu tawa sekaligus tangis haru keluarga Morren maupun Carlton terpecah menjadi
satu seiring mobil pasangan Steve dan Jean berangkat menuju tempat berbulan
madu mereka. Jean menyibak tirai mobil. Ia pun tak kuasa menyaksikan semua itu,
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mencintainya. Jane bersyukur akan
itu semua.
“Jane,
kau menangis?” Steve berusaha bertanya setenang mungkin, dan ia memang sangat
mengerti akan kegundahan hati gadis itu.
“Ini
tangisan kebahagiaan.” Jane mendongak menatap Steve sambil tersenyum. Steve
menariknya dan direngkuhnya Jane yang terisak menahan kesedihan di hari kebahagiaannya.
“Maaf
Jane, harusnya bukan sekarang. Aku mengerti kau belum bisa berpisah dengan
mereka.” Steve tak tahan melihat Jane seperti ini. Jiwanya terasa perih,
hatinya tercabik-cabik. Barulah ia menyadari betapa egois dirinya.
“Tidak,
tidak. Sekarang tepat sekali. Aku senang hari ini. Percayalah padaku Steve, kau
jangan merusak kebahagiaan kita.” Bisik Jane yang masih berada di pelukan
Steve.
Rasanya
malam itu terlalu indah, untuk mereka semua. Walaupun ada sedikit air mata,
namun tak akan merusak rona kebahagiaan keduanya sampai detik ini.
***
“Aaron, apa baiknya saja kita tunda dahulu
penjemputan hari ini?” Aractus berusaha membujuk Raja Aaron sesopan mungkin
agar tak terjadi pertengkaran dengannya.
“Tapi
Aractus, manusia-manusia itu telah menyalahi aturan. Mereka tak seharusnya
melangsungkan pernikahan pada hari istimewaku. Hari dewa kegelapan, dan hanya
aku yang memilikinya.” Aaron hampir meledak dengan sifat kerasnya itu. Aractus
tak dapat berbuat lebih jika keputusan telah dibuat. Keputusan antara hidup dan
mati.
“Baiklah
Aaron.” Aractus melangkahkan kakinya keluar dari dunia serba hitam itu, menatap
laju mobil dari awan. Ia mendesah berat sambil memejamkan kedua matanya dengan
penuh penyesalan.
“Maafkan
aku yang akan segera mengacaukan kebahagiaan kalian.” Tak lama Aractus
menghilang dari gumpalan awan mendung kelabu itu.
***
Steve
merasa agak mengantuk sekarang. Entah apa yang membuatnya merasa sangat lelah
saat itu. Dilihatnya Jane yang masih memandang keluar jendela mobil menyaksikan
kerlipan bintang di atas jembatan kokoh itu.
“Jane,
kau melihat apa?”
“Aku
sedang membandingkan wajah Steve Morren dengan bintang di atas sana.” Celetuk
Jane masih dengan senyuman terbaiknya.
“Walaupun
kau memandingkannya dengan bintang terindah sekalipun, jelas tetap aku yang
menang.” Ujar Steve percaya diri. Jane membekap mulutnya berusaha menahan tawa
agar tak meledak didepan Steve. Sementara itu Steve kembali menyetir dengan
mata yang nyaris tak bisa melihat. Kepalanya terasa berat, matanya semakin
berkunang-kunang. Dari kejauhan tampak seberkas cahaya kuning semakin mendekati
mobil mereka. Jane tampak panik melihatnya, diliriknya Steve ternyata pemuda
itu semakin hilang kendali. Beberapa kali Steve mengerjapkan mata namun
penglihatannya mendadak kabur saat itu. Cahaya tadi semakin mendekat dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Itu adalah cahaya dari benda yang sangat besar,
seperti truk container . Truk itu
tiba-tiba saja menerjang bagian depan mobil Steve dengan keras. Kejadian itu
berlangsung begitu singkat hingga tak terdengar jeritan atau suara minta
tolong. Yang terdengar hanyalah suara benda yang tercebur ke dalam air dari
atas jembatan itu. Truk besar yang masih berada tepat di jembatan itu sedikit demi sedikit menghilang seperti
apa yang terjadi di sulap ataupun semacamnya. Tampak Aractus mengamati air yang
beriak dari jembatan itu. Sebuah mobil telah tercebur jauh kedasar air. Namun
ada satu hal menarik yang terjadi, dari atas ia melihat tangan seseorang
meraba-raba bebatuan. Setelah orang itu cukup kuat menerkam karang, ia
mengangkat badannya yang penuh luka. Disampingnya tampak seorang gadis lunglai
tak sadarkan diri.
***
Steve
merasa jantungnya berhenti berdetak disaat melihat Jane tak bernafas untuk
beberapa detik jika ia tak segera memberikan pertolongan pertama dan segera
memanggil ambulans. Air matanya mengucur deras dihadapan gadis yang masih tak
sadarkan diri di ruangan yang penuh
dengan bau obat. Dibelakangnya Aractus dengan santainya mengamati mereka
berdua. Tentu saja ia santai, mareka tak akan pernah bisa melihat malaikat
pencabut nyawa.
“Pasangan
yang malang.” Gumam Aractus penuh rasa sesal. Ia masih tak percaya, mengapa
Steve masih bisa menyelamatkan diri dan gadis itu padahal mereka sudah tercebur
dari ketinggian hampir 100 meter. Steve yang mendengar seseorang berbicara
dibelakangnya langsung membalikkan badan.
“Siapa
kau tuan?”
Aractus
terbelalak kaget. Dalam ketidak percayaannya pada hal yang mustahil tadi, kini
ditambah lagi dengan kenyataan pemuda itu dapat melihat dan mendengarnya sebagai
malaikat. Ia melihat kanan kiri berharap ada orang lain yang Steve tanyai namun
disana hanya ada dirinya.
“Kau bertanya padaku? Baik, aku Aractus.
Malaikat pencabut nyawa.” Ujarnya santai.
“Apa?
Jadi kau makhluk halus?” Balas Steve bergidik. Selama ini ia yakin bahwa jin
atau makhluk halus semacamnya itu tak ada.
“Malaikat,
bukan makhluk halus.”
“Mau
apa kau kemari? Nyawa siapa yang ingin kau cabut?” Steve mendelikkan mata agak
marah. Ia berpikir orang yang mengaku malaikat itu akan mengambil nyawa Jane.
“Hahaha..
nak, nyawa manusia bukan ada ditanganku. Aku hanya menjalankan tugas. Awalnya
aku memang diutus untuk menjemput kalian berdua. Tapi aku heran, kau selamat.
Tapi aneh.”
“Apa
yang aneh?” Sergah Steve bernada sinis.
“Kau
sepertinya punya jalan tersendiri untuk hidupmu. Kau tahu? Tak ada manusia yang
dapat melihatku kecuali manusia itu akan segera mati dalam waktu dekat ini.”
“Apa?
Mati? Maksudmu aku akan mati?” Steve setengah tak percaya akan hal yang barusan
ia dengar.
“Bukan
kau, tapi gadis itu. Gadis itu harusnya mati sekarang. Tapi kau malah
menyelamatkannya. Dan ia masih punya waktu 2 hari lagi. Dan kau akan tetap
hidup. Setelah gadis ini sadar, kau sama sekali tak akan dapat melihat,
mendengar, bahkan mengingatku lagi Mr. Steve.” Jelas Aractus panjang lebar.
Steve tak bergeming, ia berusaha terlihat setenang mungkin tapi ia tak bisa.
“Apa?
2 hari? Apa artinya Jane.. akan.. Jane akan kau ambil? Apa kau tak tahu kami
baru saja menikah? Kau tak pernah menikah? Kau tak pernah merasakan kebahagiaan
walau sedikitpun hingga kau tega sekali menghancurkan awal kehidupan kami?”
“Aku
mengerti, aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Kau juga harus mengerti keadaanku
yang serba sulit seperti ini.” Aractus membela dirinya.
“Apa
waktunya bisa diperpanjang?” Suara Steve melemah, ia menunduk menahan
penyesalan yang jelas-jelas terpancar dari mukanya. Ia masih tak percaya dengan
semua itu.
“Bisa,
jika kalian memiliki jenis darah yang sama.” Jawaban Aractus sama sekali tak
membantu. Steve tersenyum sinis berpikir mana mungkin ia dan Jane memiliki
darah yang sama. “Bukan darah persaudaraan yang kumaksud. Tapi darah
perbintangan yang sama.”Lanjut Aractus. Steve melongo tambah tak mengerti.
“Perbintangan
seperti apa maksudmu? Hey malaikat, jangan mempersulit aku dan istriku. Saat
ini kau harusnya membiarkan kami istirahat dan jangan menakuti kami dengan
ancaman 2 hari lagi nyawanya akan dicabut. Itu sama sekali tak lucu.” Steve
membuang muka.
Aractus
yang kesal membalas “Apa kalian memiliki zodiak yang sama? Perpanjangan waktu
akan dikabulkan sesuai jenis perbintangan kalian.”
Setelah
memikirkannya Steve seperti mendapatkan oase di padang pasir. “Kami berdua
berzodiak Libra.” Jawab Steve penuh harap. Yang ia inginkan saat ini hanya
hidup yang lebih panjang bagi Jane. Tanpa gadis itu ia takkan mampu bernapas,
ia takkan bisa melanjutkan hidupnya kelak.
Terlihat
Aractus menimbang-nimbang sesuatu. “Libra, adalah neraca. Dimana saat ada jiwa
yang telah pergi lalu kau minta lagi, kau harus membayar dengan jiwa baru.
Artinya kau harus membayar dengan harga yang sama agar neraca kalian setara.”
“Maksudmu?
Aku harus bagaimana?”
“Kau
akan memperoleh 99 hari tapi kali ini kau yang akan menggantikan posisinya.
Yang berarti kau yang akan aku jemput pada hari ke 99 nanti.”
“Maksudmu
aku yang akan mati?”
“Kurasa
begitu, jika kau tak ingin melihat kenyataan bahwa 2 hari lagi gadis ini akan
kujemput.”
Steve
tertegun.“Apa tak ada jalan lain untuk kehidupan kami yang panjang?”
“Tidak,
itu jalan satu-satunya. Kalian mengalami kejadian ini, ini semua karena
kesalahan kalian juga.”
“Apa
salah kami? Aku merasa kami tak pernah berbuat yang menyimpang pada bangsa
malaikat.” Steve menyangkal keras tuduhan Aractus.
“Tidakkah
kau memikirkan, hari ini tepat tanggal 13 adalah hari dewa kegelapan. Hari
bahagia yang hanya boleh dimiliki oleh Yang Mulia Aaron. Tapi kau tak pernah
mendengarkan istrimu, kau hanya memikirkan dirimu sendiri yang bersikukuh untuk
menikah tanggal 13. Jadi siapa yang memulai dialah yang mengakhiri. Bersiaplah
pada hari ke 99 Tuan Steve Morren. Aku benci menunggu lama.” Tak lama Aractus
menghilang dalam pekatnya malam, bersama dinginnya udara yang menusuk dada
Steve. Semakin pemuda itu menatap Jane yang lemas, semakin besar rasa
penyesalan di dadanya. Ia memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang penuh
dengan ‘seandainya’. Seandainya ia mendengarkan Jane dulu. Seandainya ia tak
mengemudi saat itu. Dan seandainya peristiwa pahit ini hanya mimpi buruk,
ketika ia terbangun besok ia berharap hal ini tak pernah terjadi dalam
hidupnya.
Tiba-tiba
sebuah tangan halus perlahan mengusap
kepala pemuda itu dengan lembut. Air mata bergulir dari mata indahnya. Ia terus
menatap pemuda yang tertidur di sampingnya. Lingkaran mata di wajah tampannya
menandakan ia begitu lelah, pasti ia sangat khawatir. Steve membuka mata dan
tersentak kaget mendapati Jane Carlton telah sadarkan diri.
“Jane,
kau sadar. Ini bukan mimpi kan? Demi Tuhan, aku sangat khawatir Jane, jangan
kau ulangi lagi perbuatanmu ini. Kau membuat aku panik.” Baru saja Jane siuman
sudah disemprot dengan kata-kata seperti itu. Jane hanya bisa tersenyum sambil
mencubit pipi Steve dengan gemas. Jane tertegun mendapai pipi Steve yang basah.
“Steve,
ini pertama kalinya aku membuatmu menangis. Tenanglah, aku tak akan
kemana-mana.”
“Aku
yang membuatmu celaka. Maaf Jane, aku...”
“Tidak
seperti itu Steve, bukan kesalahanmu. Lupakan itu, sekarang aku sudah disini
bersamamu lagi. Jangan merasa bersalah terhadap apapun Steve.”
“Berjanjilah
untuk tidak pergi dariku selama aku masih bersamamu.”
“Aku
berjanji. Kau juga harus berjanji untuk tidak pergi dariku Steve.”
Steve
tertegun sebentar, teringat akan perjanjiannya dengan Aractus. Kali ini ia
harus berbohong pada Jane. Ia tersenyum dan mengangguk pelan, satu lagi
kesalahan terbesarnya. Meninggalkan Jane Carlton tak lama lagi, 99 hari mungkin
waktu yang terlalu singkat tapi itulah keputusan.
***
Jane
sudah bisa keluar dari rumah sakit. Ia sama sekali tak memberitahu keluarganya
soal insiden kemarin. Sungguh mereka pasti akan panik bukan main jika sampai
mengetahui Jane dan Steve sampai masuk rumah sakit. Meski agak tertatih, luka
Jane bukan luka yang teramat serius. Hanya perlu waktu beberapa hari untuk
beristirahat. Sementara itu Steve agak cemas karena mobilnya telah lenyap,
masalahnya bukan mobilnya tapi reaksi kedua orang tuanya jika tahu bahwa mobil
hadiah dari mereka kini lenyap tak berbekas. Harus bicara apa dia nantinya? Ini
benar-benar memuakkan. Andai saja tak ada malaikat itu, pasti tanggal 13 tetap
jadi tanggal yang lumrah layaknya tanggal-tanggal lain.
“Bagaimana
dengan mobil baru kita?” Ujar Steve menyeringai
ke arah Jane Carlton.
“Ini..
Demi Tuhan, dari mana kau dapatkan mobil yang sama?” Jane terkejut melihat
sebuah mobil yang terparkir tepat didepannya. Mobil itu benar-benar mirip
dengan mobil Steve sebelumnya.
“Semua
bisa diatasi, untungnya dompetku tak ikut hanyut.”
“Baguslah,
dengan begitu orang tua kita tak perlu cemas.” Jane terlihat lebih baik
sekarang. Tapi mungkin ia agak kesulitan untuk berjalan.
“Lihat,
aku baru saja membeli kamera untuk kita. Hey Jane, senyum!” Steve menjepret
sebuah foto. Tampak di foto itu Jane tersenyum lebar dengan latar belakang
mobil barunya. Steve memandang hasil fotonya. Sejenak ia termenung, bagaimana
bisa ia meninggalkan Jane Carlton seperti ini? Tidak, seumur hidupnya ia tak
rela meninggalkan gadis itu sendirian. Siapa lagi yang akan menyelamatkannya
dari bahaya-bahaya jika bukan Steve sendiri.
“Jane,
tetaplah tersenyum.” Batinnya.
***
Hari
demi hari berlalu, kini mereka menetap di California. Steve telah diterima di
Perusahaan Elektronik sementara Jane tetap di rumah sambil sesekali menyalurkan
hobinya. Menulis adalah hidupnya. Beberapa bukunya telah sukses beredar di
pasaran. Namun, ia tak ingin terlalu sibuk di awal pernikahannya. Yang ia
inginkan saat ini hanya Steve dan Steve saja, tak ada nama lain.
“Jane,
hari ini mungkin aku pulang cepat, jadi masakkan aku sesuatu yang lezat ya?”
Suara merdu Steve terdengar di ujung sana.
“Baiklah,
tetap jaga kondisimu. Ingat, kau bukan mesin jadi sesekali ambilah cuti.”
“Itu
bukan masalah, tapi saat ini aku masih ingin bekerja selagi aku masih kuat.
Jangan terlalu mengkhawatirkanku. “
“Baiklah
aku tak ingin berdebat denganmu. Cepatlah pulang, aku menunggumu.”
“Tut…tut…tut”
Sepertinya pembicaraan mereka telah berakhir. Hari itu Steve pulang cepat.
Tentu saja itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Jane. Ia tiba-tiba seperti
mendapat sumber tenaga yang baru. Setelah 3 bulan menikah baru kali ini ia
tertarik untuk menghabiskan waktu lama di dapur. Biasanya tak ada hal menarik
yang bisa ia dapatkan disana, namun hari ini mungkin karena Steve akan pulang
cepat.
“Ayam,
ikan, sayuran dan jamur. Kurasa akan cukup untuk makan berdua.” Gumamnya.
Sebentar-sebentar
ia melirik potongan ikan panggang yang langsung membangkitkan selera makannya.
Ia tak tahan untuk mencicipi sepotong. Ia mengambilnya dan melahap bagian
ekornya. Heran sekali disaat seperti ini perutnya tak bersahabat. Rasa nyeri
dan mual menerjang bagian kiri perutnya. Otomatis ia berlari kencang ke arah
toilet. Tebak apa yang terjadi, Jane memuntahkan semua yang ia makan tadi.
“Jane,
kau kenapa?” Sialnya Steve yang pulang terlalu awal tentu saja melihat Jane
yang terbirit-birit dari dapur.
“Jangan
kesini Steve.” Jane melarangnya untuk menghampiri dirinya yang masih agak lemas
itu. Namun Steve tak mempedulikan apa yang Jane katakan. Dengan muka cemas,
Steve menghampiri gadis itu dan mengelus punggungnya.
“Bukankah
kita menikah dan akan hidup bersama baik dalam sehat maupun sakit. Tapi kau
dengan egoisnya tak mau berbagi sakit denganku.” Keluh Steve agak kesal.
“Jangan
terlalu cemas. Aku mungkin hanya masuk angin. Tadi aku sudah masak untukmu,
sebaiknya kita makan malam sekarang.”
“Baiklah,
setelah itu kita ke dokter. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu
Jane.”
Jane
hanya mengangguk kecil setelah itu ia tersenyum pada Steve, senyuman yang
sangat manis.
“Jane,
tahan senyummu ya?” Steve merogoh sebuah benda dari dalam tasnya. Sebuah
kamera. Ia mengabadikan foto Jane yang tersenyum lebar di toilet. Sungguh
menggelikan.
“Hey,
kenapa akhir-akhir ini kamera itu selalu bersamamu?” Jane mengerutkan dahinya.
“Karena
aku baru sadar ada momen spesial yang harus diabadikan.”
“Kenapa
harus di toilet? Nanti saja saat makan bersama kan bisa.”
“Selera
senimu benar-benar rendah nona, ayo kita makan.” Steve menarik tangan Jane dan membawanya
segera ke meja makan.
***
“Mrs.
Jane Morren, anda sedang mengandung 2 bulan.”
“Astaga,
apa ini serius Mr. Audrey?” Tanya Jane penuh harap kepada lelaki yang
berpakaian serba putih itu. Steve tampak senang bukan main.
“Tentu
saja. Ini mungkin masa sulit bagi ketahanan janin yang kau kandung. Jadi
berhati-hatilah beraktifitas dan makan makanan seimbang.”
“Baiklah
Mr. Audrey, istri saya orang yang sangat hati-hati. Pasti dia akan
berhati-hati.”
“Kuharap
begitu juga Mr. Steve Morren.” Dokter itu kemudian berlalu untuk menangani
pasien yang lain. Sementara Steve tampak senang, Jane ternyata agak shock mendapati dirinya tengah hamil
muda. Ia bingung harus senang atau bagaimana. Karena yang ada di pikirannya
sekarang hanya ketakutan. Semakin hari rasa ketakutan itu makin menjalar ke
otaknya. Banyak hal yang ia takuti, sekarang ditambah lagi ia harus bertanggung
jawab pada anak yang ada di rahimnya saat itu. Apa memang begini rasanya
menjadi calon ibu? Tidak, tidak. Ia tak boleh stres, itu akan sangat berdampak
bagi keadaan anaknya. Tapi tentu saja tak mudah baginya untuk menjaga 1 nyawa
itu agar tetap berkembang dalam dirinya.
“Steve,
berhenti mengambil fotoku diam-diam.” Sergah Jane kesal. Belakangan ini ia
selalu saja ingin memarahi seseorang. Hanya ada Steve saja di rumah jadi mau
tidak mau Steve harus bersedia menjadi korban dari kekesalan Jane yang
benar-benar tak jelas.
“Kau
terlihat sangat gusar belakangan ini. Jangan begitu terus, nanti anak kita jadi
seperti itu juga.”
“Maaf
Steve, aku lost control.” Jane
menunduk, butiran air mata jatuh ke lantai. Steve tertegun. Ia benar-benar tak
tahan melihat Jane tertekan seperti ini. Steve merengkuh wajah gadis itu ke
pelukannya. “Steve, aku berjanji akan menjaga anak kita.” Lanjut Jane dengan
suara yang agak parau.
“Jangan
katakan apapun. Aku mengerti, mungkin itu tindakan wajar ibu hamil. Jadi jika
kau gusar dan banyak pikiran, tumpahkan sajalah padaku. Aku juga janji tak akan
membuatmu kesal lagi. Aku tak akan mengambil fotomu diam-diam, dan aku tak
akan….”
“Tidak
Steve, kau boleh mengambil fotoku sesuka hatimu. Kau berhak atas hal itu.
Bukankah banyak momen indah yang harus diabadikan?” Wajah Jane lebih baik sekarang. Menjadi lebih
berwarna. Sementara Steve, mungkin Jane tak tahu apa yang terus menerus berkecamuk
dihati pemuda itu. Waktunya hanya tinggal beberapa hari saja. Ia sekarang lebih
bingung bagaimana perasaan gadis itu kelak setelah ia tinggalkan? Apa dia akan
sanggup membesarkan anak mereka sendirian? Bahkan Steve tak akan pernah bisa
melihat wajah anaknya. Ini menyesakkan. Ini hanya akan menyakiti Jane saja. Ia
benar-benar tak ingin mati secepat itu. Dan baru kali ini Steve merasa hidup
sangat tak adil.
***
“Apa
manusia itu telah bersiap untuk dijemput?” Tanya Aaron was-was .
“Ia
telah mengetahui kapan seharusnya ia meninggal Aaron.” Ujar Aractus sopan.
Sebentar lagi Aractus akan menyelesaikan masa tugasnya untuk menjadi malaikat
maut. Itu artinya predikatnya akan digantikan oleh Steve Morren saat hari itu
akan tiba.
“Baiklah, pastikan dia siap untuk hal itu. Dan
aku tak mau kejadian itu terulang kembali. Angka 13 tetap milikku.”
“Tentu
saja yang mulia Aaron.” Aractus melangkah mundur dan kembali menghilang
diantara gumpalan awan cumulus
pembawa hujan. Sebenarnya hati Aractus sangat menentang apa yang sedang ia
jalani selama ini. Ia tak ingin menjadi perantara atas perginya nyawa
seseorang. Ia tak pernah berpikir untuk melakukan semua itu sebelumnya.
Sungguh, ia berakhir menjadi seorang malaikat maut karena masalah yang sama.
Karena ia juga akan menikah pada tanggal 13. Sampai sekarang hati kecilnya
memberontak menahan berbagai kekesalannya pada Aaron. Haruskah tanggal 13 hanya
miliknya seorang? Jika iya, kenapa mesti ada angka 13 di dunia ini jika
akhirnya akan menjadi seperti ini. Semua itu hanya menyesatkan orang-orang. Tak
berpikirkah Raja kegelapan itu tentang keluarga orang yang ditinggalkan? Itu
menyedihkan. Bahkan setelah melihat ada kejadian yang sama dengannya itu, ia
benar-benar tak tega. Apalagi hal yang ia tahu pasti akan terjadi, Jane, istri
dari Mr. Steve Morren itu pasti mengandung anak mereka. Memikirkan hal itu ia
jadi teringat istrinya dahulu. Benar-benar dramatis. Walau Aractus tetap diberi
kesempatan untuk melihat istrinya, tetap saja wanita itu tak akan pernah bisa
melihat Aractus. Bahkan hal itu lebih menyakitkan. Rasanya ia lebih memilih
hidup tenang dalam surga ketimbang harus tersiksa oleh kenyataan akan dirinya
itu.
***
Jarum
telah menunjukkan pukul 2 pagi, namun mata Steve belum terpejam sedikitpun dari
semalam. Pikirannya tetap tertuju pada sebuah hal. Hal yang nantinya akan
menjadi batu sandungan diantara dirinya dan Jane. Ia akan belajar, belajar
untuk menerimanya. Belajar untuk menerima betapa berharganya waktu disaat kita
bisa hidup, disaat kita bisa mencintai orang lain, disaat waktu kita
benar-benar terbatas untuk mencintainya. Diraihnya sebuah benda, ia membuka
halaman pertama. Sejenak ia ragu, namun tekadnya yang kuat menepis segala
keraguannya. Bagaimanapun Jane harus mengetahui yang sebenarnya sebelum ia benar-benar
tak akan bisa memberitahu Jane nanti. Jemarinya mulai menari diatas
lembaran-lembaran putih itu. Ia menuangkan segalanya, sesuatu yang berawal dari
kesalahannya sendiri. Kesalahan yang akan menyakiti Jane dan – tentu – dirinya
sendiri. Detik demi detik yang ia jalani begitu sederhana dan bermakna. Tak ada
yang lebih dia inginkan di dunia ini selain bersama gadis yang mampu membuatnya
tersenyum. Jane Carlton. Semua terasa begitu sempurna ketika senyuman gadis itu
menyatu dengan senyuman Steve Morren. Walaupun ia tak bisa hidup bersama gadis
itu, setidaknya ia telah menyelamatkan nyawa Jane dengan menukarnya dengan
nyawanya sendiri. Secara tak langsung ia juga sangat berterimakasih pada
Aractus. Seandainya ia tak pernah muncul, mungkin Jane yang akan pergi, bukan
dirinya.
***
“Jane,
ayo bangun honey.” Steve membangunkan
Jane sepelan mungkin agar gadis itu tak marah.
Jane
meregangkan badannya bebas. Tampaknya ia memang sudah bangun. Seperti biasa,
gadis itu selalu memancarkan senyum paginya yang terindah pada sang suami
tercinta.
“Kenapa
kau selalu tersenyum seperti itu padaku?” Tanya Steve menggoda.
“Aku
tak pernah tersenyum setulus ini pada orang sebelum aku bertemu denganmu.”
“Apa
kau akan terus tersenyum seperti ini?”
“Tentu
saja. Selamanya aku akan bahagia.”
“Aku
percaya itu, Jane.” Steve mengecup kening gadis itu dengan lembut. “Ayo, kita
jalan-jalan keluar. Kita juga harus mengecek keadaan Steve Junior kita kan?” Ujar Steve bersemangat sembari mengelus
perut Jane yang semakin membuncit. Jane bangkit dari tempat tidurnya dan
beranjak untuk bersiap-siap. Sementara Steve termenung menatap awan mendung
diatasnya.
“Biarkan
aku bebas satu hari ini Aaron, aku berjanji ini tujuan terakhirku. Aku tak bisa
pergi begitu saja tanpa berpamitan. Beri aku waktu 12 jam.” Gumamnya. Steve
memejamkan mata, merasakan udara yang berhembus disekitarnya. Aractus menatap
pemuda itu dari atas. Ia juga merasakan hal yang sama. Aractus sangat memahami
keadaan Steve saat ini.
***
Sore
itu begitu indah. Semburat matahari
tenggelam yang sangat manis menghiasi awan kelabu dengan latar langit biru muda
bercampur menjadi gradasi yang menakjubkan. Tepat di tepi pantai itu mereka
melewati masa indah bersama. Jane yang bersandar di bahu Steve. Mereka terlihat
lengkap. Lengkap dengan Steve Junior-nya.
“Steve,
kira-kira Steve junior kita ini laki-laki?”
“Tentu
saja, kelak ia akan setampan ayahnya.” Ujar Steve nyengir. Jane memukul
kepalanya lalu mereka tertawa bersama.
“Jane,
kau haus? Aku belikan minum mau? Tadi aku sempat melihat jus yang terlihat
sangat segar di seberang jalan.”
“Tentu
Steve, ayo kita kesana.” Ujar Jane bersiap untuk bangkit.
“Tidak.
Kau diam saja disini. Aku tak akan lama. Oh ya, ini..” Steve mengeluarkan kotak
persegi panjang dengan pita putih sebagai pemanisnya. “Kau buka di rumah saja
ya?” Lanjutnya.
“Aku
tak berulang tahun hari ini. Kau tahu itu kan?” Jane mengerutkan dahinya. Ia
tampak heran mengapa ia diberi hadiah bahkan bukan dihari ulang tahunnya.
“Ya,
aku tahu. Apa salah jika aku memberimu sesuatu? Baiklah, aku segera kembali
membawa minuman.” Steve berlari menjauhi Jane, menjauhi gadis itu menuju ke
seberang jalan.
Aractus
melirik pemuda itu. Sudah saatnya, saat yang Steve tunggu dan ia hindari. Aractus
mengamati mobil dari kejauhan. Steve melangkah menyeberang jalan. Ia memang
telah mengetahui mobil itu disiapkan untuk dirinya. Steve berniat untuk
menyelamatkan diri. Ia berlari lebih cepat untuk menghindari terjangan mobil
itu. Kerena ia tak mengamati jalan di depannya, truk container besar menyerangnya dari arah depan. Pemuda itu terbentur
sangat keras. Kedua botol jus terlempar begitu jauh. Steve tergeletak tak
sadarkan diri setelah insiden tadi. Tak terlihat sama sekali gerakan atau
hembusan napas dari hidungnya. Detak jantungnya melemah, semakin lemah hingga
ia tenggelam dari dunia ini. Ia tak ada disini lagi, ia telah pergi. Sementara
itu Jane terus melirik jam hingga malam semakin memburunya. Tampak beberapa kerumunan
orang berlari menuju ke seberang jalan. Karena penasaran, Jane mengikuti orang-orang
itu. Dengan berhati-hati Jane menerobos barisan orang-orang yang ramai. Saat
itu Jane terperangah, ia seperti ingin terjun ke jurang saat itu juga.
“Tidak,
ini tidak nyata. Dia bukan Steve-ku, seseorang.. tolong, katakan ini hanya
mimpi burukku. Dia bukan Steve, bukan!” Jane meremas rambutnya sendiri. Setelah
mendapati Steve sudah dalam keadaan yang tak bernyawa, ia semakin tak percaya
dibuatnya.
“Baru
saja kau mengatakan akan membawakan aku jus, Steve.. bangunlah. Lihat aku
disini, disampingmu. Aku menunggu jusmu Steve. Steve, tolong bangunlah.” Jane
memukul dada Steve yang berlumuran darah berharap pemuda itu segera bangun.
Tapi kali ini tak ada reaksi sama sekali dari Steve. Jane tertunduk lemas,
kedua matanya bengkak, pipinya telah banjir oleh air mata.
***
Jane
membuka pita putih itu. Hadiah itu adalah hadiah terakhir dari Steve. Sebuah
buku. Ia membuka halaman pertama dari buku itu. Ada beberapa kata-kata indah
yang Steve tulis. Disampingnya tertempel fotonya dan mobil baru Steve sehabis
kecelakaan yang menimpanya setelah hari pernikahannya dulu. halaman demi
halaman ia buka, isinya kebanyakan foto-fotonya dan Steve. Matanya mulai berair
kembali. Pikirannya berputar-putar pada masa lalu, benar-benar terlalu indah
untuk ia kubur begitu saja. Ia sampai pada halaman terakhir. Foto itu, Jane
Carlton tampak melihat matahari terbenam. Jane tertegun, foto ini.. diambil
beberapa menit sebelum Steve kecelakaan. Bagaimana bisa ia mengambil foto ini?
Dan menempelnya? Jane menghapus air matanya yang bergulir deras di pipinya.
“Aku takkan lengkap
tanpa Jane Carlton. Jadi tetaplah bahagia selama ada maupun tidaknya aku.”
Kalimat
terakhir itu, Jane membekap mulutnya. Kali ini ia tak kuasa, benar-benar tak
bisa menahan kesedihan itu untuk datang kembali.
“Aku
akan selalu bahagia. Selama ada maupun tidaknya dirimu. Karena aku percaya satu
hal, kau tetap akan mencintaiku Steve Morren.” Jane memeluk buku itu. Dari kejauhan
tampak seorang pemuda tersenyum tulus melihatnya.
*Selesai*