Sejenak ku tatap dedaunan kering sisa badai kemarin.
Ku hela napas dalam-dalam. aku rasakan sepoinya angin sampai ke tulang rusukku.
Apapun yang terjadi hari ini, aku harus lupakan sejenak. Ku sandarkan bahuku yang lelah di kursi panjang penuh dedaunan kering itu. Perlahan air mata yang berusaha kutahan akhirnya bergulir membasahi pipiku. Dadaku sesak, rasanya sungguh kalut mengingat kau mengungkapkan semuanya secepat ini. Kenapa harus kau? Padahal hanya kau satu-satunya orang yang sangat memahamiku saat ini. Disaat kita telah jauh melangkah, ketika kau lemah aku menopangmu. Ketika aku luka, kau datang bagai perban yang membalut lukaku. Tak kusangka ada satu hubungan yang selama ini tertutupi. Satu hubungan yang meninggalkan penyesalan yang begitu mendalam di jiwaku. Hubungan yang selama ini suci dan indah dihapuskan dengan hubungan yang bahkan lebih kental dari air. Persaudaraan.
Siapa yang mesti aku salahkan? Kau? Ibu? Tuhan?
Seharusnya kita tidak dipertemukan hanya untuk mengetahui jati diri kita masing-masing. Seharusnya kita tak dipisahkan sejak awal. Jika aku mengetahui akhirnya akan dramatis seperti ini, lebih baik aku menolak ajakan kencanmu, menolak cincin pertunangan darimu. Seharusnya aku tak menjalani cinta terlarang ini. Kakak, aku mencintaimu lebih dari apapun karena kau penjaga hatiku, bukan karena kau saudara kandungku. Aku mohon Kak, jangan jadi saudaraku.. Aku mohon hapuskan takdir pahit yang membelit kehidupan kita. Kembalilah ke masa dimana kita saling memiliki layaknya dahulu.Hapuskan kak! Tuhan, Ibu dan mereka semua itu pembohong. Kita tak memiliki hubungan darah sama sekali. Kau dan aku sama sekali tak mirip, dan aku yakin ini hanya kesalahan. Tolong katakan ini hanya kesalahan, siapapun tolong aku. Kakak, aku mencintai kakak. Jangan paksa aku untuk berhenti memujamu, jangan paksa aku untuk membakar surat cinta darimu, dan jangan paksa aku untuk meninggalkanku karena kau penjaga hatiku. Aku yakin kau akan setia pada kata hatimu saat ini.
No comments:
Post a Comment