A. Taenia Solium
2.1
Pengertian Taenia
Solium
Taenia
solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit
di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi cacing ini termasuk
kelas Eucestoda, ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong dalam satu jenis
genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia
asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar etal.2003)
Taenia Solium
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi Taenia Solium
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidae
Famili : Taniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium
2.2
Morfologi Cacing
dan Telur Taenia Solium
Taenia solium merupakan Cacing pita babi pada
manusia. Cacing dewasa terdapat pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2
sampai 7 m dan dapat bertahan hidup selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat
atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang besar serta rostelum yang bundar
dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar (dalam satu baris)
mempunyai panjang 140 – 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam baris yang
lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira – kira
setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari
1000, proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur
berbentuk mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral
secara berselang seling di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang
segmen gravid bentuknya lebih memanjang daripada melebar. Proglotid gravid
panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus mempunyai cabang pada masing – masing
sisi sebanyak 7 – 12 pasang. Segmen yang gravid biasanya dilepas secara berkelompok
5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari anus. Proglotid gravid dapat
mengeluarkan telur 30.000 – 50.000 butir telur. Telurnya berbentuk bulat atau
sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis,
dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur – telur ini dapat
tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu –minggu.
Morfologi
Cacing Taenia Solium Morfologi
Telur Taenia Solium
2.3
Daur Hidup Taenia
Solium
Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal
jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia
(Soulsby 1982; Chin dan Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan
menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam
tinja penderita taeniasis antara 8 -12 minggu setelah orang yang bersangkutan
terinfeksi (Chin dan Kandun 2000) Sewaktu - waktu proglotida gravid berisi
telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok –
kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Prolotida gravid keluar
bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu
berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah
lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan
(IIsoe et al.2000)
Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan oleh babi. Di dalam
lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfer).
Selanjutnya onkosfer tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe
atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ –
organ yang seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar
tulang rusuk, otot paha, paru-paru, ginjal, hati. Kista mudah terlihat pada tempat predileksi tadi
antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada
organ-organ tersebut dan dikenal dengan Cysticercus Cellulosae. Bila
daging babi yang mengandung parasit ini dimakan oleh
manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks
(protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan
menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu
bebrapa bulan (Soulsby; 1982)
Cysticercus cellulosae juga dapat
dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan sub kutan, mata, jantung dan otak
(Ahuja et al.1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut . Sumber kontaminasi
parasit ini berupa tinja manusia yang mengandung parasit, dan tangan manusia yang kotor yang terkontaminasi telur Taenia solium (Cheng 1986;
Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990)
2.4 Epidemiologi
Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara – negara yang
mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi
seperti di eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika
Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara Islam yang melarang
pemeliharaan dan mengkonsumsi babi. Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga
ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan
Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga sering dialami oleh para transmigran
yang berasal dari daerah – daerah tersebut (Gandahusada et al.2000)
Penyakit yang disebabkan cacing pita
ini, sering dijumpai di daerah dimana orang – orang mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan
lingkungan yang jelek dan melakukan defekasi
di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan
Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di
Inggris, dan di negara – negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena
kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi
dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis
nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi
sanitasinya baik.
2.5 Diagnosa Laboratorium
Taeniasis dapat
ditegakkan dengan 2 cara :
a.
Menanyakan riwayat
penyakit (anamnesa)
Didalam
anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan
proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun
secara spontan
b.
Pemeriksaan Tinja
Tinja
yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya
diperiksa dalam keadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa
segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% sebagai pengawet.
Pemeriksaan
tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara
relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen
tinja dapat digunakan menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing
Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada
pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid.
Pemeriksaan
dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang
tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode
pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi
eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif).
2.6 Gejala Klinis
Telur Taenia solium (cacing pita
babi) bisa menetas di usus halus, lalu memasuki tubuh atau struktur organ
tubuh., sehingga muncul penyakit Cysticercosis, cacing pita cysticercus sering
berdiam di jaringan bawah kulit dan otot, gejalanya mungkin tidak begitu nyata
tetapi kalau infeksi cacing pita Cysticercus menjalar ke otak, mata atau ke
sumsum tulang akan menimbulkan efek lanjutan yang parah.
Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut
Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia
solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia,
angka infeksi taenia tercatat 0,8–23%., frekuensinya tidak begitu tinggi. Namun
demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama kasus-kasus
taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi sistiserkosis.
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi yang mentah atau
setengah matang dan mengandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva
itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gastero- intestinal seperti
rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, nafsu makan menurun atau meningkat,
diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi
buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian
besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
2.7 Pengobatan dan Pencegahan
2.7.1
Pengobatan
Cacing
dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk, 1985).
Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien
harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis
apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus sistiserkosis mata,
lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk mencegah hilangnya
bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup
(Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan yang
berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis
pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus
dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam
bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti
sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
2.7.2
Pencegahan
Pencegahan dan upaya
pengendalian merupakan hal yang penting untuk diperhatikan guna menurunkan
prevalensi penyakit Taeniasis maupun sistiserkosis. Tindakan pengendalian meliputi :
1.
Menghilangkan sumber
infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah
2.
Meningkatkan pendidikan
masyarakat dengan memberikan berbagai penyuluhan kepada masyarakat
3.
Meningkatkan kebersihan
Higiene, sanitasi diri dan lingkungan meliputi : Pembangunan sarana sanitasi
misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih
4.
Melakukan pemusatan
pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter
Hewan
5.
Memberikan pemahaman
kepada Masyarakat tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging
mentah / setengah matang. Dan pentingnya untuk mengetahui manfaat memasak
daging hingga matang.
B.
Echinococcus granulosus
2.1
Pengertian Echinococcus
granulosus
Echinococcus Granulosus atau
sering disebut cacing pita parasit pada anjing adalah salah satu hewan dari kelas nematode filum Platyhelminthes. Hospes
definitif dari Echinococcus
granulosus adalah hewan
karnivora terutama anjing, srigala, dan lain-lain. Sedangkan hospes
perantaranya adalah manusia, kambing, domba, sapi, dan lain-lain. Penyakit yang
disebabkan oleh infeksi cestoda ini adalah echinococcosis atau penyakit hidatidosis (disebabkan larvanya). Echinococcus
Granulosus dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Klasifikasi Echinococcus
Granulosus
Kerajaan : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Species : E. granulosus
Kerajaan : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Species : E. granulosus
2.2 Morfologi Cacing dan Telur Echinococcus
granulosus
E.
granulosus adalah cacing cestoda
kecil, panjangnya
2-7 mm. Terdiri dari kepala (scolex), leher (neck) dan proglottid (3-4 segmen). Scolex mempunyai empat alat penghisap (oral suckers), dan mempunyai dua deret kait (hooks). Segmen terakhir (gravid
proglottid), panjangnya lebih dari setengah dari panjang total cacing
dewasa dan mengandung sekitar 5000 butir telur. Setiap telur berbentuk ovoid
dengan diameter 30 – 40 mikron. Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu
embrio yang memiliki tiga pasang kait. (Oncosphere) (MULLER, 1975)
Morfologi
Cacing Ecinococcus granulosus
2.3 Daur Hidup Ecinococcus
granulosus
Cacing
dewasa Echinococcus
granulosus (panjangnya 3 - 6
mm) berada di usus halus hospes definitif misalnya anjing. Lalu proglotid melepaskan telur yang keluar bersama feses. Kemudian
tertelan oleh hospes intermediate yang sesuai (biri-biri, kambing, babi,
sapi, kuda, onta) setelah
itu telur menetas di usus halus dan onkosfer keluar onkosfer menembus dinding usus
dan menuju sistem peredaran ke berbagai organ, terutama hati dan paru-paru. Di hati dan paru-paru onkosfer berkembang menjadi
kista kemudian berkembang secara berangsur – angsur, menghasilkan
protoskoleks dan anak kista yang mengisi kista
interior.
Hospes
definitive dapat
terinfeksi dengan cara
memakan daging hospes intermediet yang mengandung kista hidatid.
Setelah tertelan, protoskoleks melakukan vaginasi, menuju ke mukosa usus dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah 32 sampai 80 hari kemudian proglotid melepaskan telur. Hospes intermediate terinfeksi dengan cara menelan telur kemudian menetas menghasilkan onkosfer pada usus dan menjadi kista
di dalam berbagai organ.
2.4 Epidemiologi
Infeksi terhadap manusia terjadi lewat transfer
telur cacing dan tangan ke mulut dari makanan yang terkontaminasi oleh feses
anjing. Larva cacing menembus masuk lender usus besar, naik keatas memasuki
system porial lalu terbawa aliran darah ke berbagai organ tubuh untuk
menghasilkan kista tempat protosoleses sumber infeksi penyakit ini berkembang. Penyebaran penyakit infeksi cacing ini biasanya terdapat pada Australia, Afrika, Amerika, Eropa, RRC, Jepang,
Filipina dan Arab.
2.5 Diagnosa Laboratorium
Cara
pemeriksaan atau diagnosa laboratorium dari infeksi yang
disebabkan oleh Echinococcus granulosus adalah
sebagai berikut :
a)
Pemeriksaan hematologi
Dilakukan pemeriksaan darah dengan melihat jumlah
eosinofil dan dilihat presentase lekosit jenis eosinfil pada pemeriksaan
differensial lekosit.Eosinofilia sering terjadi sekitar 20-25% pada kasus
infeksi Echinococcus granulosus namun tidak terlalu memberi makna yang berarti.
b)
Mikroskopis cairan kista hydatid
Prinsip pemeriksaannya adalah setetes cairan kista
yang sudah disentrifuge diteteskan pada objek gelas, dengan objek gelas lainnya
dibuat apusan kemudian dilakukan pewarnaan tertentu dan diamati secara
mikroskopis.Pada saat pembuatan hapusan terjadi goresan antara kait-kait dengan
objek gelas sehingga terdengar seperti suara goresan kaca di atas pasir
(hydatid sand). Pemeriksaan ini dilakukan apabila ditemukan kista pada saat
pembedahan dari infeksi kista hidatid, maka sebagian cairan kista dapat
diaspirasi dan diperiksa secara mikroskopis untuk mendeteksi adanya “hydatid
sand” sehingga dapat dipastikan diagnosisnya. Aspirasi kista juga biasanya
dilakukan pada saat akan dilakukan tindakan bedah. Tindakan ini beresiko akan
adanya kemungkinan bocornya cairan sehingga menyebar ke jaringan. Namun hidatid
sand tidak selalu ada. Karena jika kista sudah tua, anak kista dan/ atau
skoleks mungkin juga rusak sehingga yang tersisa hanya kait-kaitnya. Keadaan
ini menyulitkan untuk menemukan dan identifikasinya apalagi jika terdapat
debris di dalam kista. Hydatid sand juga dapat diperiksa dari sampel urine dan
sputum.
c)
Mikroskopik Jaringan
Pemeriksaan kista hidatid secara mikroskopik pada
jaringan diperiksa ketika pasien dengan adanya masa pada abdomen dan tidak
diketahui diagnosisnya secara pasti. Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel
dari pembedahan untuk mengambil jaringan hati, tulang, paru-paru dan jaringan
lainnya lalu dibuat penampang melintang misalnya jaringan tulang lalu dibuat
preparat histologi jaringan dan diwarnai dengan hematoxilyn dan eosin.
d)
Tes Serologi
Antibodi pasien terhadap Echinococcus granulosus
yang terdapat dalam serum dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologi yang
meliputi IHA (Indirect hemagglutination), IFA (indirect fluorescent antibody),
ELISA, CF, LA (latex aglutinasi), IE (immunoelektoforesis) ID, dan Indirek
hemaaglutination. Tes serologi merupakan test yang sensitif untuk mendeteksi antibodi di
dalam serum pasien infeksi kista hidatid, sensitifitas bervarisi antara 60%
hingga 90%, tergantung karakteristik dari kista hydatidnya
2.6 Gejala Klinis
Echinococcus granulosus menginfeksi selama bertahun-tahun sebelum kista membesar dan
menyebabkan gejala saat tersebar ke organ-organ vital. Bila menginfeksi hati
maka terjadi rasa sakit dan nyeri di bagian abdominal, benjolan di daerah hati,
dan obsruksi saluran empedu. Pada saat kista menginfeksi paru-paru menyebabkan
dada sakit dan batuk hemoptysis. Kista yang menyebar ke seluruh organ dapat
menyebabkan demam, urtikaria, eosinofilia, dan syok anafilaktik. Kista dapat
menyebar hingga ke otak, tulang, dan jantung.
2.7 Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan dan
pencegahan hidatidosis adalah
sebagai berikut :
1. Menjaga
kebersihan badan setelah berkebun, memegang pupuk kompos dan memegang feses
anjing atau bermain-main dengan anjing.
2. Kurangi
waktu kontak dengan anjing se efisien mungkin.
3. Menjaga
kesehatan anjing peliharaan dengan secara rutin memberikan obat cacing.
4. Albendazole
+ levamisole yang mampu mematikan cacing cacing jaringan tubuh yang bersifat
parasit darah. Serta guna memutus siklus perkembangan cacing di dalam tubuh
anjing.
5. Dalam
proses penyembuhan parasit cacing harus diikuti dengan pemberian Intraver
2oo-B12.guna pemulihan anemia akibat parasit darah.
No comments:
Post a Comment