Maafkan Ma…
“Ma. Fika berangkat dulu ya?”
“Ya, hati-hati, inget di sekolah
gak boleh main-main, harus serius belajar.”
“Siiippp.. Ma.”
Hampir setiap hari aku mendengar
kata-kata itu dari Mama, bosen sih iya. Tapi yang namanya orang tua, pasti
selalu nasehatin anaknya.
Sesampainya di school….
“Fika! Sini deh, minggu depan
gue ngadain party di rumah gue, elo
harus dateng ya? Awas gak.” Ujar Renita seraya memberiku kartu undangan pesta.
“Mmhmh, gue usahain deh.”
Jawabku agak ragu.
“Kok usahain, pokoknya elo harus
dateng, ini tu acara yang penting banget. Elo tega ama temen nih.”
“Ren, elo kan tau Nyokap gue
kayak gimana.”
“Ya deh, gue ngalah. Tapi kalo
elo dateng, elo harus ajak cowok lo, si Aldo.”
“Gue usahain ya!”
####
“Huh, gue pengen banget ke pesta
itu, tapi gue pasti gak dikasi buat dateng ke sana.”Gumamku dalah hati.
Di saat aku lagi bosen atau
istilahnya gak mood, eh, ada Aldo
yang nyebelin itu ngagetin aku.
“Fika ku sayang, ngapain kok
ngelamun sendiri? Gue tau, pasti mikirin gue, orang yang selalu ngangenin. Ya
kan?”
“Adddduuuhhhh…. Ribet deh punya
cowok yang GR-nya udah parah banget. Lagian juga siapa coba yang mikirin cowok
nyebelin kayak elo.”
“Nyebelin ya? Tapi elo suka
kan?”
“Terserah deh, gue mau curhat
nih Do, tadi nih ya, Renita ngasi gue undangan ke party, gue mau ikut sebenernya. Tapi…..”
“Gue tau, karena nyokap lo kan?
Gue ngerti sikap nyokap lo itu Cuma buat ngelindungin lo, tapi kalo lo ngomong
baik-baik pasti dikasih ke party-nya
Renita.”
“Lo bantuin gue ngomong ya?”
“Pasti Fik, gue selalu ada buat
lo.”
Setiap kata yang terucap dari
Aldo selalu membuatku tenang dan terhibur. Aku sangat takut kehilangan dia.
Terkadang aku sadar aku telah bersikap terlalu posesif padanya. Tapi kini aku
sadar, tindakanku salah. Aldo juga sangat mengerti perasaanku, dia selalu ada
jika aku sedang sedih ataupun saat aku bahagia. Tapi aku masih belum senang,
aku kecewa pada Mama yang setiap saat terlalu khawatir padaku. Pernah suatu
saat dia menentang hubungan kami, tapi akhirnya Mama mau menerima Aldo berkat
kelakuan baik Aldo padaku dan adikku. Aku mengerti Mama melakukan semua itu
karena ingin melindungiku, apalagi semenjak Papa tiada. Aku merasa kehilangan
Papa. Tapi Aldo bilang kita harus merelakan sesuatu pergi meski itu adalah
sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita.
“Ma, Fika mau minta ijin ke pesta
Renita. Boleh nggak Fika pergi?”
“Nggak, kamu tetep di rumah.
Ntar gak ada yang jagain kamu.”
“Aldo akan selalu jagain aku Ma,
kenapa Mama masih meragukan Aldo?”
“Pokoknya kamu nggak boleh
pergi.”
“Mama jahat! Aku ini udah
dewasa, mama nggak usah khawatir kayak gitu.”
“Gimana mama nggak khawatir,
kamu ini anak mama, mama nggak mau nasib kamu berakhir kayak Papa kamu yang
meninggal kecelakaan karena mabuk abis dari pesta temannya.”
“Tapi, Mama nggak boleh merampas
hak Fika dong. Mama egois!”
Aku benar-benar gak bisa nahan
emosi saat itu. Aku pun tak menyadari telah berkata kasar bahkan sampai memukul
pintu kamarku hingga tanganku terluka. Tapi sakitnya hatiku mengalahkan
sakitnya luka tanganku itu.
Maaf sayang, mama terpaksa melakukan semua ini, mama gak
mau hal buruk terjadi menimpamu. Gumam
mama dalam benaknya.
####
“Fik, lupain aja soal pesta. Gue
nggak mau liat lo bertengkar Cuma gara-gara masalah sepele kayak gini.”
“Do, gue tau lo iba kan sama
gue. gimana pun gue ini udah dewasa, bisa jaga diri. Gue nggak mau disangka
anak manja, apalagi disangka “frik”. Masa Cuma dateng ke pesta temen aja gak
dikasih. Mama macam apa itu?”
“Gue tau elo emosi, tapi lo
nggak boleh menghina mama lo sendiri, inget dia yang udah ngelahirin lo,
ngebesarin lo dengan susah payah. Elo masih beruntung punya mama yang sayang
sama elo. Sedangkan gue? gue hanya bisa doain mama di surga.”
“Elo kok jadi nyalahin gue sih?
Eh, Aldo. Gue ini pacar lo. Kenapa elo belain orang lain?”
“Gue tambah nggak ngerti jalan
pikiran lo sekarang, Ini bukan Fika yang gue kenal dulu. Mana Fika yang selalu
berbakti sama ortunya? Mana Fika yang selalu sabar dan lembut?”
“Sory Do. Gue nggak mau lemah
lagi dimata kalian semua. Gue capek dikendaliin sama Mama, seakan gue ini robot
mainan, yang nurut disuruh ini dan itu.”
Saking kesalnya saat itu aku tak
sadar aku telah menyakiti hati 2 orang yang sebenarnya paling aku sayang. Aldo
dan Mama.
“Gue capek Do. Elo terus mojokin
gue. apa hubungan ini bisa kita pertahanin?”
“Gue juga udah capek liat sikap
elo.”
“Trus mau lo apa?”
Di dalam hati aku tak ingin
hubungan kami kandas secepat ini, tapi gimana lagi, keadaan yang memaksaku
untuk mengakhiri semua dan satu lagi, aku gak punya pilihan lain.
“ Kita Putus!” Kata-kata itulah
yang keluar dari mulut kita berdua.
Bagaimana lagi, itu memang
keputusan kita berdua, dan masalah ini kurasa berawal dari Mama. Dia telah
menghancurkan semuanya, bahkan orang yang kucintai jadi benci sama aku
gara-gara wanita yang katanya melahirkanku itu.
Ku hempaskan tubuhku ke atas
kasur penuh dengan kegusaran dan penyesalan.
Coba aja gue gak emosi sesaat pasti gue masih sama Aldo.
Gumamku dalam hati kecil
terdalam.
“Tok…tok….tok!” Tiba-tiba ada
yang mengetuk pintu kamarku.
“Ah, pasti Mbok Asri.”
Mbok Asri adalah pembantu yang
kerja dirumahku. Dia udah ngasuh aku sejak kecil, sejak Mama tidak peduli
denganku dan selalu menomor satukan pekerjaan dan kariernya.
“Mbok Asri……… hah..Mama?”
Aku kaget melihat sosok yang
paling ku benci berada tepat dihadapanku. Semua orang menganggap Mama sebagai
permata, berlian yang katanya berharga dan penuh cinta. Tapi apa yang ku dapat?
Hanya siksaan batin yang semakin membuat ku muak.
“Fika, Mama mau minta maaf
tentang pesta itu. Mama tahu Mama salah.”
“Apa Ma? Maaf? Telllaaaat…!!!!
Apa kata maaf Mama tadi bisa ngembaliin semuanya? Buat Renita gak marah atas
ketidak hadiranku di pesta? Bisa buat Aldo masih jadi pacar Fika lagi? Telat
Ma, telat. Udah gak berguna lagi.”
“Fika, Mama mohon Mama minta
ma………”
“Brrrraaaaaaaaaaakkkkkkk………”
dengan marah ku tutup pintu dengan kencang. Aku masih mendengar isakan tangis
Mama yang membuat ku makin muak dan ingin menutup telinga. Mungkit sebagian
orang yang melihat kejadian tadi menudingku sebagai orang jahat. Tapi asal
kalian tau, siapa yang sebenarnya jahat?
Aku atau Mama? Bukankah dia tidak pernah mengerti dengan perasaan anaknya dan
selalu mementingkan egonya?
“Ku setel musik keras-keras
dikamar. Entah beberapa kali kudengar Mbok Asri memanggilku, tapi aku berusaha
menulikan diri. Buat apa lagi dia memanggilku kalau bukan suruhan Mama, yang
lebih tepat ku sebut sebagai “wanita egois”
#####
Hari ini matahari tak secerah
sinar dihatiku. Ku habiskan sarapanku di pagi buta dan langsung bergegas menuju
sekolah. Tapi aneh, kenapa aku tidak melihat Mama? Apa dia masih tidur? Aku
ingin melihatnya dikamarnya. Tapi kuurungkan niatku itu. Untuk apa lagi aku
menemuinya?
Mobilku melaju cepat tanpa
beban. Ku tak bisa merasakan bagaimana hatiku saat ini. Aku tak punya arti
apa-apa lagi bagi Aldo. Apalagi setelah aku lihat pagi ini dia bersama seorang
wanita cantik yang lebih cantik dan melebihi aku. Lengkap sudah penderitaanku.
Mau apalagi? Dari pada aku patah hati gak jelas gini, aku putuskan bolos
sekolah. Sekali-sekali tidak akan berpengaruh bagi nilaiku. Itulah aku yang
sekarang, yang sudah berubah kata orang, yang jauh berbeda dimata mama. Aku
sadari itu, tapi ini bukan kehendakku. Ini bukan salahku.
“Ku hirup sejuknya udara di
tempat ini. Ini memang tempat favoritku saat ku menyendiri. Aku tak punya sahabat, pacarku pergi meninggalkanku,
bahkan mamaku sudah gak bisa kuharapkan lagi menjadi ibu yang baik. Ku pikir
hidupku tak spesial seperti hidup orang lain yang selalu meneguk kebahagiaan
bersama orang yang mereka cintai, selalu makan bersama setiap malam, nonton tv
sambil tertawa bersama, jangankan begitu, mendengarkan curhatku aja Mama tak
kan pernah sempat karena kariernya yang sedang
“Naik Daun” itu.
Tiba-tiba alunan lagu Seventeen
Untuk mencintaimu berkumandang di handphone-ku.
“Halo?” Ku sapa orang diseberang
sana.
“Non, ini Mbok Asri non. Aduhh
non… gawat… gawat!”
“Mbok, ada apa gawat-gawat
segala? TV dirumah rusak? Apa tabung gas meledak?”
“Lebih parah non, non harus
segera ke Rumah Sakit, Nyonya kecelakaan dan sekarang lagi kritis non. Dia
terus menyebut nama non.”
“Kecelakaan? Palingan Cuma
cedera doang. Bilang sama Mama, dia gak butuhin gue lagi. Gue gak akan pernah
datang ke Rumah Sakit buat hal yang gak penting gini.”
“Tapi…. Non….Nyo”
“Tut….tut……tut…..” Telepon ku
akhiri dengan kesal. Aku tetap sibuk sendiri dengan urusan yang jauh lebih
penting dari pada Mama.
Di sisi lain Mbok Asri tampak
gelisah dan segera menghubungi no telepon lain, yang bertuliskan nama “Aldo”.
“Halo, apa benar ini nak aldo?”
“Iya saya sendiri, dengan siapa
ya?”
“Saya Mbok Asri nak Aldo, saya
mau minta bantuan. Ini menyangkut Nyonya. Tolong nak Aldo ke Rumah Sakit
sekarang ya?”
“Iya Mbok, saya kesana
sekarang.”
#####
“Lho Mbok, Fika mana? Apa dia
belum tau keadaan tante Sari?”
“Saya tadi sudah meneleponnya,
tapi dia tidak mau ketemu Nyonya, mungkin ada kesibukan yang lain.”
“Dimana dia sekarang Mbok?”
“Saya kurang tau Nak Aldo. Tapi
biasanya saya lihat dia sering ke bukit yang ada di jalan Anyelir itu. Nak Aldo
tau kan tempat itu?”
“Tau Mbok, Kalau gitu Saya pergi
dulu. Jaga tante ya?”
Bergegas Aldo meluncurkan
mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat tadi. Disana ia mencari-cari
bagai mencari jarum ditumpukan jerami.
Betapa luasnya tempat ini. Indah dan sejuk. Tapi mana
Fika? Apa dia benar-benar disini? gumam
Aldo.
Tampak dikejauhan ia melihat
sosok yang tak asing baginya.
“Fik, ayo ikut gue sekarang.”
“Eh… ngapain sih… aduh… sakit
tau! Lo kasar banget jadi cowok. Maen sembarang tarik tangan orang aja. lo
ngikutin gue ya?”
“Elo kenapa gak temuin nyokap
loe yang sangat butuhin lo sekarang?”
“Untuk apa gue harus temuin dia
lagi? Gue capek Do! Gue capek!”
“Gue heran dan kecewa sama sikap
lo ini. Tapi, sekali aja gue mohon, buka hati lo buat nyokap lo.”
“Apa? Buka hati? Justru dia yang
seharusnya buka hatinya ke gue. bukan ngekang dan gak peduliin gue kayak gini.”
“Nyokap lo itu sayang sama elo.
Kalo dia gak peduliin lo, harusnya udah dari dulu elo ditelantarkan di jalan.
Tapi elo diperlakukan sangat pantas Fik. Elo disekolahin mahal-mahal tujuan
nyokap lo untuk apa? Elo dikasi makan, kehidupan yang layak, apa itu gak
ngebuktiin kalo nyokap lo sayang sama elo?”
Panjang lebar Aldo berusaha
membujukku agar aku mau menemui Mama di Rumah Sakit, aku pun merenung. Ada
muncul perasaan bersalah dalam benakku. Aku tau, hatiku yang terdalam memintaku
untuk menemui Mama dalam kondisinya yang kritis. Perasaanku gak karuan, gak
enak. Terbersit dalam benakku umur Mama akan berakhir sekarang, tapi kubuang
jauh-jauh pikiran negatif itu.
“Fik! Elo mau kan ke Rumah
Sakit?” Ku lihat Wajah Aldo yang memelas bagai pengemis yang meminta sesuap
nasi.
Tapi, sebelum aku menjawab,
tiba-tiba seseorang mengabarkan sesuatu lewat Handphone Aldo.
“Apa? Ya… saya kesana sekarang.”
“Kenapa Do? Mama kenapa?”
Tanyaku dengan cemas.
“Nyokap lo kritis. Kita harus ke
rumah sakit. Tapi kalo elo tetep gak mau, gue sendiri yang kesana.”
Aku tetap diam menimbang-nimbang
apa yang harus kulakukan sekarang ini.
“Kelamaan lo!” Kali ini aku
bener-bener liat tampang muka Aldo yang berapi-api, dia benar-benar marah
padaku.
Dia melaju kencang dengan
mobilnya. Dia benar-benar kecewa padaku. Aku merasa berdosa pada Mama. Benar
kata Aldo. Sejahat apapun Ibu dimata kita, dia tetap yang terbaik dan permata
surga untuk kita. Ku dengar lantunan lagu Mely Goeslaw “Bunda” tak membendung
kesedihanku. Air mataku bercucuran deras membanjiri pipiku. Kenapa aku berubah?
Kenapa aku jahat pada Mama? Apa Mama mau memaafkanku ? Apa aku masih bisa
memeluknya setelah ini?
Dan…. Aku sudah memutuskan. Aku
sudah tau!
“Mama!”
Aku segera berlari menuju
ruangan Mama dirawat. Disana Mbok Asri tampak mengelap air matanya yang tak
hentinya keluar. Aldo ada di ruang tunggu. Wajahnya gusar. Membuatku tambah
bingung.
“Do, Mama mana? Dia gak apa-apa
kan? Dia bisa sembuh kan ?”
Aldo menghampiriku dan
memelukku. Aku terisak tersedu-sedu. Mengeluarkan semua beban yang ada dalam
hidupku. Mencoba menerima semuanya.
“Tante Sari lagi berjuang demi
elo Fik. Dia lagi berjuang.”
“Kenapa Do? Kenapa harus Mama
yang sakit. Dia terlalu baik. Sedangkan gue? amak yang gak berbakti. Jahat.
Kenapa Tuhan buat Mama menderita? Tuhan gak adil Do, gak adil. Harusnya gue
yang sakit. Gue yang kritis”
Saat mereka sedang menunggu dan
berharap, tiba-tiba Dokter keluar dari ruangan Mama.
“Maaf apakah ada saudari Fika
disini? Ibu Sari terus menyebut-nyebut namanya. Saya rasa, dia bisa ikut
membantu Ibu Sari dalam masa kritisnya.”
“Iya Dok. Saya Fika. Apa saya
boleh masuk Dok?”
“Silahkan nak, dari tadi mama
anda terus-menerus menyebut nama anda. “
“Mama…. Bangun ma, ada Fika
disini. Ma, Fika janji besok kita akan jalan-jalan, beli es krim berdua, ke
kebun binatang liat kelinci kesukaan Mama, mama gak boleh tinggalin Fika Ma,
Fika gak mau kehilangan Mama. Bangun ma, ayo banguuuunnnnn………..”
“Fik, elo gak apa-apa?”
“Do, gue anak yang gak berguna
Do, gue yang pantesnya sakit bukan Mama. Gue yang harusnya mati. Gue….. jangan
Mama.”
“Udah Fik, lo jangan
terus-terusan nyalahin diri lo sendiri. Kita ambil hikmahnya aja. dan sekarang
yang terpenting, gimana caranya biar Nyokap lo sembuh dan gak menderita kayak
gini terus. Jujur gue gak tahan liatnya.”
“Ia, gue tau. Tapi dokter bilang
Mama udah kritis. Sarafnya udah mati dan gak bisa berfungsi lagi. Gue bingung.
Disini Mama gak dapet perawatan yang layak.”
“Kenapa gak lo bawa aja ke
Singapur. Disana pasti nyokap lo bisa ditangani dengan baik.”
“Ia, itu jalan yang terbaik.
Thanks Do, elo penyelamat gue.”
“Besok elo siap-siapin
barang-barang ya. Lusa elo harus kesana, kasian nyokap lo.”
“Iya. Thanks ya!”
####
“Mama..!!!!! ma, jangan
tinggalin Fika, Mama! Bangun ma, bangun.. Fika gak punya siapa-siapa lagi Ma,
bangun Ma. Bangun..”
“Sabar Fik, ini kehendak Tuhan.
Elo sabar ya. Ada gue yang akan selalu ngejagain lo selamanya.”
“Tapi Do, gue harusnya ngajak
Mama berobat dulu sebelum Mama separah ini.”
“Ikhlasin Mamamu pergi Fik. Dia
akan bahagia jika elo ngerelain dia pergi.”
“Iya Do, gue sayang Mama”
DEAR DIARY
“Sepinta Hati setelah Mama pergi
tinggalkan aku”
Rasanya mataku sudah lelah.
Kering kehabisan air mata. Aku menyesal. Seharusnya dari dulu aku dengerin
omongan orang-orang yang mencintaiku.
Kini Mama telah meninggalkan aku sendiri. Ia telah bahagia. Untuk yang terakhir
kalinya, aku melihat sekujur tubuh mama yang dingin, pucat, putih. Tersirat
beban mendalam dari hati Mama, dan beban itu adalah aku. Aku yang selama ini
selalu membebani Mama. Tapi dia tetap
tersenyum seiring kepergiannya. Tenanglah Ma, aku akan mewujudkan impian Mama,
impian yang selama ini Mama damba. Mama pasti senang kelak aku akan menikah dan
mempunyai anak-anak yang bahagia seperti yang selama ini Mama harap dariku.
Maaf ma, aku tak pernah memberikan secercah senyuman untukmu.. maaf… maaf Ma……
Mama yang nun jauh disana, telah
menunggu janjiku.
-Selesai-