|
Let's catch dandelion together |
Tubuhku masih meringkuk di balik selimut, rasanya aku tak menyukai pagi yang mendung ini. Suasana ini, seharusnya ia minimal meminta maaf atas apa yang telah diucapkannya kemarin. Paling tidak berkata bahwa semua itu bohong, ia hanya bercanda. Sungguh aku terlalu naif, aku tak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkannya sekalipun ia berada di kutub utara. Tapi kenyataan kemarin itu yang membuatku berpikir seribu kali untuk mempertimbangkan kembali pola pikiran bodohku itu. Jelas saja ia dingin seperti itu. Apalagi yang membuatnya seperti itu kalau bukan wanita lain. Apa? wanita lain? tolong Ika, kau masih percaya padanya hingga saat ini. Jangan cemari pikiranmu dengan hipotesa murahan semacam itu. Aku yakin seyakin-yakinnya pemuda itu tetap mencintaiku, seperti yang kurasakan padanya selama ini. Kuhela napas sedalam-dalamnya, berniat untuk tidak sama sekali memikirkan pemuda itu, namun niatku tak berhasil. Segera saja kuganti pakaian, keluar menantang dinginnya sepoi angin, menantang tebalnya kabut. Aku ingin kejelasan itu sekarang. Harus sekarang.
Kuraih
handphone-ku, jemariku menari diatas
keyboardnya. Aku menunggu di taman itu sedetik, semenit, dan hampir 4 jam berlalu. Namun sosok itu tak kunjung datang. Puas dengan kekecewaan itu, kuputuskan untuk kembali. Aku telah mengetahui bahwa ini semua akan sia-sia.
"Apa aku melakukan kesalahan yang besar? Katakan padaku, jangan kau menyudutkan aku dalam posisi yang tak jelas seperti ini. Tolong... Jangan biarkan hatiku membenci hati yang selama ini sangat aku cintai. Tolong kembalikan kepercayaan yang selama ini aku berikan kepadamu." Aku menunduk lemas, kali ini hujan tak turun walaupun langit begitu pekat. Lagi-lagi dengan gontai kupaksakan kedua kakiku untuk menuntunku pulang. Kedua kakiku tak bisa membantu sepertinya, ia terjatuh bersamaan dengan tubuhku yang lemas dengan mata yang berkunang-kunang. Aku tak ingat apa-apa lagi, tapi tadi rasanya aku bermimpi pemuda itu datang dan menolongku saat pingsan. Buru-buru kubuka kelopak mataku. Putih, hanya itu yang terlihat. Mataku menerawang ke semua sudut, ahh.. ternyata rumah sakit.
"Permisi, Siapa yang membawa saya kemari ya?" Aku menghentikan perawat yang sedang menanganiku
"Seorang pemuda sepertinya tadi, tidak usah cemas. Semua administrasi telah diselesaikan. Anda bisa pulang hari ini jika kondisi anda dinyatakan pulih oleh dokter."
Aku mengangguk. Siapa ya?
Untunglah hari ini aku bisa bebas dari neraka yang penuh obat-obatan itu. Aku benci berada di rumah sakit. Secara otomatis rasa sesakku muncul kembali. Pemuda itu, apa sebenarnya yang ia sembunyikan dariku? Apa dia ingin bermain-main saja denganku?
Aku berjalan melewati jalan setapak, kelopak bunga dandelion berterbangan di udara, tampaknya mereka ingin menghiburku. Wajahku menunduk menyusuri kasarnya tanah berbatu. Langkahku terhenti, mataku menangkap sepasang kaki dengan sepatu kets didepanku. Wajahku terangkat.
"......"
"Ika"
Ia memanggil namaku
"Aku suka saat kau memanggil namaku seperti itu"
"Ika, Ika"
Mataku berkaca-kaca, aku menatapnya lembut. Aku merasakan betapa besarnya kerinduan yang telah kutahan untuknya.
"Ayo kita jalan-jalan" Dia menggapai tanganku. Sungguh, aku tak bisa menggambarkan besarnya kebahagiaanku.
"Tunggu, kenapa tiba-tiba..."
"Ayolah, sebelum aku berubah pikiran"
Aku tersenyum. Seperti kelopak bunga dandelion, ia selalu berjalan mengikuti angin selama angin itu masih berhembus. Itulah kesamaanku dengan bunga dandelion yang selalu mengikuti pemuda itu selama ia masih dekat denganku.
"Memakai topi bukan gayamu." Tanganku meraih topi yang ia kenakan, namun cepat-cepat ia menepisnya.
"Bukankah aku dulu memberitahumu, sebelum aku bekerja aku mengikuti militer. Rambutku belum tumbuh, ini memalukan."
"Baiklah, kemana kita pergi hari ini?"
"Diamlah satu hari ini saja. Cukup ikuti aku dan berikan perhatianmu hanya untuk aku saja." Ujarnya sembari merangkulku.
"Tidak adil."
"Apa?"
"Mengikutimu? Setelah apa yang kau lakukan? Kau menyakitiku. Kau tak sadar?"
"Kau benar-benar menuntut alasan?"
Aku mengangguk dengan tatapan sinis padanya.
"Tak ada alasan. Ayo pergi."
Mau buat apa? Bersama dirinya itu yang terpenting. Karena saat aku berada di sisinya, tak ada alasan yang terpikir olehku mengapa aku harus bersamanya, tak ada alasan mengapa aku memilihnya dan menerimanya. Dia tampan dan baik, itu bukan alasan. Itu fakta. Aku menyukai tiap orang yang baik padaku termasuk dia. Tapi seringkali ia menyakitiku, membuatku merah, menunggu, kecewa, menangis. Tapi seburuk apapun sikapnya aku tetap ingin bersamanya. Jadi 'baik' itu bukan alasan. Lalu tampan. Semua wanita menyukai pria tampan tak terkecuali aku. Namun ketika ia terlihat sangat buruk saat ia baru bangun, belum membasuh wajah, saat wajahnya berminyak, aku tetap menyukainya. Jadi tampan bukan alasan juga. Rasanya susah untuk menemukan alasan itu. Jadi aku memahaminya saat ia tak memberitahu alasan ia meninggalkanku kemarin.
Menakjubkan. Hanya itu yang dapat terucap ketika ia membawaku ke tempat penuh dengan bunga dandelion.
"Kau suka?"
Aku hanya mengangguk bersemangat. Aku berlari menggapai kelopak dandelion yang berterbangan. Sekarang aku pasti sangat mirip anak kecil. Ia hanya tersenyum melihatku dari kejauhan.
"Hei, ayo kesini. Kenapa kau hanya diam dan melihatku dari sana?"
"Kau lebih cantik kalau dilihat dari jauh." Ujarnya agak berteriak karena jarak kami memang agak jauh saat itu.
"Baiklah, aku akan pergi jauh." Aku berlari semakin jauh. Aku berharap ia mengejarku saat itu. Namun ia tetap ditempatnya semula. Tak bergeming.
"Kenapa berhenti Ika?"
"Aku tak sanggup pergi jauh."
"Kalau begitu jangan pergi dariku."
Aku tersenyum, menghampirinya, memeluknya erat.
Aku dan dia, dia dan aku. Lengkap sekarang.