Ketakutan itu mulai menjalar memenuhi ruang jiwaku.
Ketakutan itu menjelma menjadi sebuah kenyataan pahit, begitu memuakkan. Telah
lama aku menunggu untuk menanti sebuah lilin harapan yang bersinar terang di
penghujung rinduku. Namun semua itu tak berlangsung lama semenjak badai malam itu datang dan memadamkan api
yang telah lama menyala. Angin itu menyejukkanku, namun perlahan tanpa aku sadari, ia menghancurkan segala
yang aku miliki. Membuat lilin yang telah lama aku pertahankan padam sia-sia.
Ia berhembus pelan mengintari setiap rongga dan relung hati, dan seperti yang
aku duga, angin sepoi yang telah berhembus pergi tak akan pernah kembali ke
tempat yang pernah ia singgahi sebelumnya. Lilin, hanya ia satu-satunya
harapanku. Harapan yang telah ku sia-siakan. Maafkanlah atas angin yang telah memadamkanmu dan atas
diriku yang tak bisa mempertahankan cahayamu, aku yang tak bisa mempertahankan
cinta kita. Tinggalah aku di persimpangan tak jelas atas tujuan selanjutnya.
Angin dan lilin adalah kenangan bagiku. Kini aku mencoba untuk hanya menyayangi
salah satu dari segalanya. Masa lalu itu, aku tak ingin itu kembali menghampiri
diriku dan aku tak mau terjebak di lubang yang sama.