Pages


Monday, May 27, 2013

Sampaikan ke Surga, Tolong


Sebelumnya aku pernah melihat, beberapa orang menangis ketika mereka telah kehilangan orang yang mereka cintai. Terkadang, tak ada satu pun yang menangis padahal mereka telah kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Aku tak tahu pasti bagaimana rasanya karena aku belum pernah merasakannya. Mungkin pernah sekali. Ketika aku kehilangan Ramon. Anjing kesayanganku. Aku memang menangis. Hanya saja saat itu aku belum sedewasa sekarang. Aku mungkin tidak terlalu peka dengan apa yang terjadi. Mungkin bukan rasa sedih yang muncul saat itu, tapi rasa benci yang teramat sangat pada seseorang yang membunuh anjingku dengan sengaja. Beberapa kali kami meyakinkan bahwa anjing kami tak mengidap penyakit rabies yang memang sangat tenar pada waktu itu. Namun, sia-sia. Mereka tetap saja membunuhnya. Tidak adil.

Selain Ramon, aku juga kehilangan kakek. Tapi jauh sebelum aku lahir. Bisa dibilang aku bukan kehilangan, tapi aku memang tak pernah punya kakek. Aku tak mengenal siapa dia, bagaimana rupanya, bagaimana hidungnya, matanya, seberapa tingginya, bagaimana suaranya..
Dimanakah mereka sekarang? Ramon dan kakek. Apakah mereka bahagia?
Mungkinkah mereka mengenal satu sama lainnya?
Aku sangat bahagia, jika mereka benar-benar melihatku dari atas sana.
"Kakek, jaga dirimu baik-baik ya? Ika bahagia disini. Ika sehat, punya keluarga dan sahabat yang sangat sayang sama Ika. Apa kakek sudah bertemu dengan Tuhan? Tolong sampaikan padaNya ya kek, Ika sangat berterimakasih karena Dia begitu baik pada Ika. Ika ingin bertemu dengan kakek seperti dulu. Walaupun saat itu kakek menemuiku dalam mimpi, tapi satu hal.. Kakek begitu persis dengan di foto."
"Ramon, kau jangan membuat ulah disana ya? Apa kau senang tinggal di surga? Kurasa kau memang sangat bahagia. Jangan pikirkan aku disini. Ada Picco yang menemaniku. Dia juga tak terlalu nakal. Tapi kalian mirip. Kebiasaan kalian menangkap tikus. Aku masih ingat itu. Kau jangan cemburu pada Picco ya? Karena aku sayang sekali pada kalian berdua. Kalian anjing kesayangan Ika Sukmadewi. Predikat itu tak pernah berubah."
Hanya kalimat-kalimat itu saja. Agar sampai di surga. Di tempat mereka berada. Kakek, Ramon, Aku sayang kalian.

Haruskah Aku Marah?

27 Mei 2013-Jam dinding hari ini menunjukkan pukul 6 sore, pesan singkat yang masuk ke handphoneku membuatku tersadar dari tidur soreku yang panjang.
 "Kau berhasil?" tertera tulisan singkat di layar
Aku terkesiap, hari ini memang hari yang kunanti. Pengumuman itu.
Tanpa membalas pesan singkat itu kuraih lapto beserta perangkatnya dan dengan kasar kutekan tombol 'power' di keyboardnya. Rasa khawatir tiba-tiba merayap ke ulu hatiku. Tanpa membuang-buang waktu lagi kupasang modem ke laptop tuaku.
Kubuka websitenya, kuketik nomor NISN dan tanggal lahirku. Mula-mula yang muncul hanya layar laptop yang putih, potongan-potongan keresahan itu pun terjawab sudah. Namaku terpampang jelas disana. Kugeser kursor semakin kebawah. Rasa penasaranku terjawab sudah. Ada rasa lega disana. Namun, lebih dari itu ada sebuah cambukan yang menyakitkan. Aku gagal. Aku tak berhasil. Aku tak mengerti perasaan macam apa yang telah merasukiku saat ini. Entah sedih, kecewa, marah, muak, semua berbaur menghantamku. Bagus. Rasanya seluruh duniaku runtuh saat ini. Aku memang sangat marah. Tapi kemana aku harus marah? pada diriku? apa kegagalan adalah suatu kesalahanku? kurasa iya. Jadi, aku harus memang marah pada diri sendiri. Biasanya jika aku marah terhadap seseorang, aku tak pernah mengajaknya berbicara. Bagaimana mungkin aku tak berbicara pada diriku sendiri? Apa itu masuk akal?
Tuhan, masihkah ada kesempatan untuk semua ini? Akankah kau bukakan pintu atas cita-cita yang selama ini kudambakan?
Aku benar-benar menginginkannya. Bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk orang-orang yang aku sayangi.

Thursday, May 16, 2013

Cerpen (Dentingan Harmony)


Dentingan Harmony


-Harmony-
Setelah sebulan semenjak kelahiran adikku, kini hidupku begitu ramai dan berwarna. Rasanya seperti berada di taman bunga setiap hari. Danny lucu sekali, rambutnya ikal saat pertama kali ia terlahir di dunia. Namun begitu kami memotongnya, tiba-tiba rambut ikalnya tumbuh kembali dalam wujud yang lurus. Jadi namanya bukan ikal lagi. Aku sayang adikku, mama dan papa yang paling senang. Mereka memang selalu mengidamkan lahirnya bayi laki-laki. Walau anak itu memang menggemaskan, tapi dia bisa berubah menjadi anak yang menjengkelkan ketika dia poop di celana. Aku benci itu, sungguh.
Aku juga membenci hari ini, mereka tak ingat hari Ulang Tahun ke 5 ku karena terlalu sibuk dengan Danny. Dia benar-benar mengubah semuanya bahkan kebahagiaanku dia rebut. Mama dan Papa. Aku kira segalanya akan berubah ketika ia dewasa nanti, suatu hari pasti semuanya akan kembali normal seperti sebelum Danny berada diantara kami.
***
“Mama.. Lihat!” Seru Danny girang, tangannya terlihat membawa selembar kertas.
“Ohh.. Honey, kau juara kelas lagi? Mama sangat bangga padamu.” Nyonya Santoso memeluk anak kesayangannya.
“Apa aku boleh mendapatkan hadiahku?” Mata Danny berbinar teringat akan hadiah yang paling ia inginkan semenjak tahun lalu.
“Tentu saja. Apapun yang anak mama inginkan.”
Mereka terlihat sangat akrab, hangat dan saling menyayangi.
Disudut ruang keluarga, tampak gadis 14 tahun mematung sendu ke arah  kebahagiaan ibu dan anak laki-laki itu. Setetes demi tetes butiran bening di matanya bergulir. Piala yang sejak tadi ingin ia tunjukkan kepada sang mama kini tak ada artinya lagi. Dalam suasana rumah yang hangat dan nyaman, satu-satunya hal yang ia rasakan hanyalah kedinginan. Tanpa hangatnya sambutan keluarga. Baginya, mama dan papanya adalah motivasinya. Tapi sekarang ia seperti kehilangan semuanya. Kepercayaan dirinya, seakan sirna.
“Kak Mony, lihat kak! Danny punya gitar. Masa cuma kakak yang punya piano, Danny juga harus punya alat musik.” Cibirnya menghampiri sang kakak di kamar.
“Itu bukan piano kakak, itu punya kakek.”
“Kenapa ditaruh di kamar kakak? Kenapa bukan di kamar Danny aja?”
“Soalnya dulu pas kakek meninggal, Danny baru lahir. Bahkan mama dan papa gak peduli sama keadaan kakek gara-gara kamu lahir. Cuma piano ini yang kakak punya buat mengenang kakek.”  Kali ini Mony terlalu marah. Adiknya selalu membesarkan masalah. Ia harus memiliki benda yang kakaknya punya. Bahkan dia harus terlihat lebih beruntung dari Mony.
“Kok salah Danny? Kakak jahat. Danny akan bilang sama mama papa.” Ancam Danny mendelikkan mata.
“Sana bilang, kakak gak takut. Dasar mamaboy.” Balas Mony tak mau kalah. Api amarahnya semakin berkobar-kobar dihadapan Danny.
Danny berlari ke ruang keluarga sambil menangis tersedu-sedu. Tak lama setelah itu sang Mama terlihat marah membawa sapu lidi. Yahh.. sepertinya kiamat sudah mendatangi gadis malang itu.
***
-Harmony-
Tubuhku meringkuk kau cambuk, apa kalian tak merasakannya?
Hatiku pedih kalian lukai, apa kalian tak merasakannya?
Jiwaku lelah, ingin menyusul kakek.
Andai saja kakek disini bersamaku, aku mungkin akan dibela didepan kalian semua.
Kakek,apa di atas sana kakek bahagia?
Apa disana banyak ada taman bunga seperti yang selama ini kakek ceritakan?
Apa malaikat surga benar-benar ada?
Aku juga ingin disana bersama kakek. Salahkah aku menginginkan hal itu?
***
Penanya berhenti menari, tubuh kurusnya beranjak meninggalkan buku harian ungunya menuju piano tua yang selama ini menjadi penjaga hatinya. Dentingan melodi  ia alunkan, iringan lagu sendu itu senada dengan rona hati kelabu yang menyelimutinya setiap hari.
Matanya terpejam sesekali menguak kembali kenangan tentang almarhum kakek kesayangannya. Butiran bening kembali membasahi pipi tirus itu, ia terisak perlahan.. dan semakin menjadi-jadi. Kakek, hanya itu yang ia butuhkan sekarang. Lelaki tua yang dahulu begitu menyayanginya, begitu membanggakannya.
“Kakek, kakek, kakek, kakek..” Ia sebut nama beliau berulang-ulang.
“Aku butuh kakek, hanya kakek. Sekarang semuanya menjauh dari Mony kek.”
Ia terus saja mencurahkan segala tekanan batinnya diatas piano tua itu. Setiap dentingnya penuh dengan emosi – emosi yang berkelebat di hatinya.
“Seandainya aku bisa memilih, kakek atau hidupku sendiri, tentu saja aku akan memilih kita berdua. Kakek dan aku. Karena kita berdua tidak akan terpisahkan. Bahkan setelah kakek di surga, bukan berarti kakek meninggalkanku. Kakek tetap disini kan?” Gadis itu tersenyum sembari menyentuh dadanya, merasakan kehadiran malaikat didekatnya.
“Kakek.”
 ***
-Harmony-

Kau dengar itu? Dentingan di setiap hariku
Hanya karenamu aku bernada
Alunan sederhana kupersembahkan untuk malaikat surgaku
Tak terbendung rasa rindu ini, tak terhitung betapa ku ingin bertemu
Entah semusim, atau dua musim. Segalanya berlalu begitu cepat
Kuharap hembusan angin itu adalah engkau yang hadir menyapaku
Aku merindukanmu, malaikatku.

Wednesday, May 8, 2013

cerpen

My Lifesaver
J
ane Carlton sekali lagi mengusap album foto berdebu yang berisi segudang kenangan 99 hari itu. Terlihat sudut bibirnya yang memaksakan seulas  senyuman  hambar. Matanya terpejam memutar flashback kehidupan lampaunya yang selalu tersimpan rapi dalam memori ingatannya. Pemuda itulah  yang telah menyelamatkannya dari jiwa yang semestinya tenggelam di dasar bumi ini. Dialah malaikatnya, dialah bagian dari dirinya.Harga yang telah ia bayar takkan terganti dengan apapun.
***
“Steve Morren, kau mau aku menikahimu tanggal itu? Hey, kau ingin kesialan menimpa kita nantinya?” Keluh Jane Carlton yang sedari tadi mencorat-coret daftar undangan untuk persiapan hari pernikahannya.
“Justru aku ingin semua orang mengetahui angka 13 itu tak benar-benar sial. Apa jangan-jangan kau mempercayai mitos murahan itu?” Steve Morren menyipitkan matanya memandang tajam kearah Jane, calon istrinya.
“Bukan begitu, aku merasa hari itu bukan waktu yang tepat bagiku.” Kali ini suara Jane melemah pertanda ia tak punya jawaban lain untuk ‘menyerang’ Steve.
“Percayalah, kau hanya nervous. Kau takut aku mengetahui kebiasaan burukmu saat kita sudah menikah nanti. Benarkan?”
“Aku tak punya kebiasaan buruk, apa jangan-jangan seorang Steve Morren yang berwibawa ternyata punya kebiasaan lupa menggosok gigi sebelum tidur?” Jane menyeringai perlahan gelak tawa pun pecah diantara keduanya. Tak lama lagi komitmen yang selama ini mereka rencanakan dengan matang akhirnya bisa dilaksanakan beberapa minggu lagi. Semuanya telah siap jauh hari sebelum acara itu dilangsungkan. Lihatlah, foto pra-wedding telah rampung dua minggu sebelumnya. Bahkan mereka sampai rela terbang ke Perancis dari San Fransisco hanya untuk berfoto di Oradure Sur Glane[1], tempat menyeramkan itu. Mereka memang benar-benar gila.
***
Malam itu angin bertiup kencang, dan Jane masih terjaga dalam tidurnya. Diliriknya weker kecil diatas meja. Ia terbelalak kalau ternyata saat itu sudah pukul 3 pagi dan ia sama sekali belum memejamkan mata sedikitpun. Jane mengambil handphone-nya dan jemarinya cekatan mengetik diatas tombol-tombol kecil itu.
“Steve, kau sudah bangun?”
Awalnya ia mengira tak akan ada balasan dari pemuda itu, tapi dugaannya salah sepenuhnya. Keadaannya sama sekarang, Steve ternyata belum tidur.
“Bangun? Bahkan tidurpun aku tak sanggup”
“Steve, apa kau memikirkan apa yang sedang aku pikirkan sekarang?”
“Aku sedang memikirkan Jane Carlton dengan gaun putih sedang berjalan di altar bersamaku”
“Aku serius Steve, harusnya kita geser tanggal pernikahan kita”
Steve memandang layar handphone-nya dan tersenyum lebar. Dasar Jane, dia pasti akan terus menerus membujuk Steve sampai ia mengubah keputusannya.
“Maaf Jane, tapi undangannya sudah dicetak. Kita tak bisa membuat yang baru lagi”
Kali ini Jane lelah berdebat mengenai tanggal pernikahan. Entah apa yang membuatnya selalu terbayang-bayang akan kekacauan di hari itu. Malam itu benar-benar malam yang panjang bagi Jane, pagi harinya ia tak terlalu kaget mendapati lingkaran hitam yang muncul begitu saja. Sungguh menyebalkan.
Steve yang tiba-tiba datang ke rumahnya tentu saja sangat mengejutkan Jane. Astaga! Jane pun belum sempat mandi.
“Hai nona manis, kau terlihat tak sehat hari ini.” Ujar Steve yang menyentuh dahi gadis itu dengan telapak tangannya.
“Kenapa kau tak pernah mengabariku jika mau kemari?” Tanya Jane kesal. Pemuda itu memang seenaknya keluar masuk rumah Jane tanpa memencet bel terlebih dahulu. Namun, kedua orang tua Jane tentu saja sangat tidak keberatan.
“Sana cepat mandi, aku ingin mengajakmu jalan-jalan.” Steve mendorong punggung Jane menuju kamar mandinya.
***
“Steve, lihat! Aku ingin naik itu.” Teriak Jane seperti seorang anak kecil yang minta dibelikan permen. Tapi itu malah membuat Steve makin suka berada di dekat gadis manjanya itu.
“Tidak boleh, itu mainan anak kecil Jane, apa kau tak malu menaiki bom-bom car sekecil itu?”
“Kau selalu dipihakku jika aku dipermalukan.”  Ucap Jane lembut. Ia menyunggingkan seulas senyum terindahnya untuk Steve.
“Jane, berjanjilah padaku satu hal.”
“Apa  itu?”
“Lanjutkan terus hidupmu selama ada maupun tidaknya aku. Tetaplah tersenyum seperti ini.” Tatapan Steve melembut.
“Kenapa tiba-tiba berkata begitu? Kau seperti mau pergi jauh saja.”
“….” Suasana hening sejenak, Steve juga tak sadar kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Dan itu membuat Jane khawatir bahkan mungkin lebih buruk dari itu.
“Jane, aku mencintaimu” Steve merasa aliran darahnya semakin deras. Jantungnya kini berpacu secepat kilat.
“Aku mencintaimu Steve Morren, mengenai angka itu 13 lupakan saja.”
“Jadi kau setuju dengan tanggal itu?” Warna muka Steve tiba-tiba secerah pelangi yang tadinya kelam layaknya mendung.
“Tentu saja, aku tak akan memikirkan masalah itu lagi” Jawab Jane Carlton ringan. Walaupu  terlihat biasa saja, namun bayangan angka 13 itu selalu berkelebat dalam benaknya. Jika bukan karena Steve Morren yang memintanya, ia tak akan menyetujui keputusan ini karena dari dulu ia memang tidak suka dengan angka 13.
“Ms. Carlton, kau terlihat lelah. Ayo! Sebaiknya kita bergegas sebelum matahari terbenam.”
“Bukankah kau ingin kita menghabiskan waktu seharian? Kenapa harus pulang secepat ini?” Protes Jane mengerutkan dahi. Ia mencurutkan bibirnya pertanda tak setuju. Steve yang tersenyum simpul saat itu mengulurkan tangannya kearah Jane kemudian segera disambut oleh gadis itu.
***
Demi Tuhan Jane Carlton benar-benar mematung saat itu. Lidahnya yang kelu tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Matanya yang kini sibuk menengadah, menyaksikan pemandangan yang paling ia sukai. Matahari tenggelam.
Steve yang sedari tadi memperhatikan wajah Jane kini tak tahan untuk bertanya .“Kau suka?”
“Aku sangat sangat dan sangat menyukainya.” Ujar Jane Carlton penuh semangat. Di wajahnya terpancar rona kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan dari orang lain terkecuali Steve Morren tentunya.
Waktu berpacu dengan sangat cepat, manisnya awan jingga telah tergantikan oleh hangatnya langit malam dengan taburan bintang-bintang. Mereka tampaknya terlalu menikmati hari hingga lupa pada diri mereka sendiri dengan kenyataan bahwa tak selamanya waktu dapat dikendalikan. Kenyataan bahwa masih ada hari esok dan esoknya lagi untuk mengulang perjalanan yang tak kalah menyenangkan dari hari ini. Steve yakin Jane akan sepenuhnya menerima dirinya. Begitu pula gadis itu, yang akan selalu mencintai Steve sepenuh hatinya.
***
 Jane Carlton merasa panas menyerang sekujur tubuhnya. Demi Tuhan ia tak pernah merasa segugup ini. Sebentar lagi, ia akan berhadapan dengan Steve Morren kali ini tentunya dengan situasi yang berbeda. Jane melirik handphone yang ia genggam sedari tadi berharap pemuda itu mengabarinya untuk sekedar menanyakan “Hai” atau “Halo” agar ia bisa memastikan Steve baik-baik saja. Tak lama kemudian harapannya terkabul. Steve mengirimkan MMS berupa fotonya yang sedang mengenakan jas hitam. Hati Jane mengerang saat mengakui bahwa Steve memang mengagumkan. Ia sangat tampan, tentu saja bukan untuk hari ini saja. Jane saat itu mengenakan balutan gaun panjang berwarna krem muda yang sangat elegan dan pas dengan rambut pirangnya. Inilah saatnya saat yang paling ditunggu-tunggu berdiri tepat di altar bersama pemuda yang sangat ia cintai.
“Mr. Steve Morren, apa kau bersedia hidup bersama Ms. Jane Carlton dalam suka maupun duka, dalam sehat dan sakit dan dalam kaya maupun miskin?” Suara pendeta yang nyaring nyaris tak terdengar di telinga Steve saking tercengangnya melihat Jane saat itu.
“Aku bersedia.” Jawab Steve tegas.
“Ms. Jane Carlton, apa kau bersedia?”
“Aku bersedia.” Ujarnya lirih. Ia melemparkan senyum manis ke arah Steve. Steve mengerjitkan sebelah alisnya dan membuka lengannya lebar-lebar yang siap memeluk wanita itu.
Mereka tenggelam dalam suasana itu, suasana yang hanya mereka yang memilikinya. Seutuhnya.
“Dear, ini saat yang paling ku benci.” Ujar Mrs. Carlton mengusap air mata yang mengalir begitu deras. Disampingnya tampak Mr. Carlton berusaha menenangkan wanita itu.
“Mom, aku pasti akan menjengukmu tiap hari. Aku janji.” Bujuk Jane khawatir.Kelihatannya memang susah juga untuk membujuk ibunya. Tapi  bagaimanapun orang tua memang harus rela melepaskan anak perempuan mereka  karena mereka akan menemukan hidupnya yang baru. Salah satunya hal yang diidam-idamkan Jean dari dulu. Menjadi seorang ibu.
Malam itu tawa sekaligus tangis haru keluarga Morren maupun Carlton terpecah menjadi satu seiring mobil pasangan Steve dan Jean berangkat menuju tempat berbulan madu mereka. Jean menyibak tirai mobil. Ia pun tak kuasa menyaksikan semua itu, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mencintainya. Jane bersyukur akan itu semua.
“Jane, kau menangis?” Steve berusaha bertanya setenang mungkin, dan ia memang sangat mengerti akan kegundahan hati gadis itu.
“Ini tangisan kebahagiaan.” Jane mendongak menatap Steve sambil tersenyum. Steve menariknya dan direngkuhnya Jane yang terisak menahan kesedihan di hari kebahagiaannya.
“Maaf Jane, harusnya bukan sekarang. Aku mengerti kau belum bisa berpisah dengan mereka.” Steve tak tahan melihat Jane seperti ini. Jiwanya terasa perih, hatinya tercabik-cabik. Barulah ia menyadari betapa egois dirinya.
“Tidak, tidak. Sekarang tepat sekali. Aku senang hari ini. Percayalah padaku Steve, kau jangan merusak kebahagiaan kita.” Bisik Jane yang masih berada di pelukan Steve.
Rasanya malam itu terlalu indah, untuk mereka semua. Walaupun ada sedikit air mata, namun tak akan merusak rona kebahagiaan keduanya sampai detik ini.
***
 “Aaron, apa baiknya saja kita tunda dahulu penjemputan hari ini?” Aractus berusaha membujuk Raja Aaron sesopan mungkin agar tak terjadi pertengkaran dengannya.
“Tapi Aractus, manusia-manusia itu telah menyalahi aturan. Mereka tak seharusnya melangsungkan pernikahan pada hari istimewaku. Hari dewa kegelapan, dan hanya aku yang memilikinya.” Aaron hampir meledak dengan sifat kerasnya itu. Aractus tak dapat berbuat lebih jika keputusan telah dibuat. Keputusan antara hidup dan mati.
“Baiklah Aaron.” Aractus melangkahkan kakinya keluar dari dunia serba hitam itu, menatap laju mobil dari awan. Ia mendesah berat sambil memejamkan kedua matanya dengan penuh penyesalan.
“Maafkan aku yang akan segera mengacaukan kebahagiaan kalian.” Tak lama Aractus menghilang dari gumpalan awan mendung kelabu itu.
***
Steve merasa agak mengantuk sekarang. Entah apa yang membuatnya merasa sangat lelah saat itu. Dilihatnya Jane yang masih memandang keluar jendela mobil menyaksikan kerlipan bintang di atas jembatan kokoh itu.
“Jane, kau melihat apa?”
“Aku sedang membandingkan wajah Steve Morren dengan bintang di atas sana.” Celetuk Jane masih dengan senyuman terbaiknya.
“Walaupun kau memandingkannya dengan bintang terindah sekalipun, jelas tetap aku yang menang.” Ujar Steve percaya diri. Jane membekap mulutnya berusaha menahan tawa agar tak meledak didepan Steve. Sementara itu Steve kembali menyetir dengan mata yang nyaris tak bisa melihat. Kepalanya terasa berat, matanya semakin berkunang-kunang. Dari kejauhan tampak seberkas cahaya kuning semakin mendekati mobil mereka. Jane tampak panik melihatnya, diliriknya Steve ternyata pemuda itu semakin hilang kendali. Beberapa kali Steve mengerjapkan mata namun penglihatannya mendadak kabur saat itu. Cahaya tadi semakin mendekat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Itu adalah cahaya dari benda yang sangat besar, seperti truk container . Truk itu tiba-tiba saja menerjang bagian depan mobil Steve dengan keras. Kejadian itu berlangsung begitu singkat hingga tak terdengar jeritan atau suara minta tolong. Yang terdengar hanyalah suara benda yang tercebur ke dalam air dari atas jembatan itu. Truk besar yang masih berada tepat di jembatan  itu sedikit demi sedikit menghilang seperti apa yang terjadi di sulap ataupun semacamnya. Tampak Aractus mengamati air yang beriak dari jembatan itu. Sebuah mobil telah tercebur jauh kedasar air. Namun ada satu hal menarik yang terjadi, dari atas ia melihat tangan seseorang meraba-raba bebatuan. Setelah orang itu cukup kuat menerkam karang, ia mengangkat badannya yang penuh luka. Disampingnya tampak seorang gadis lunglai tak sadarkan diri.
***
Steve merasa jantungnya berhenti berdetak disaat melihat Jane tak bernafas untuk beberapa detik jika ia tak segera memberikan pertolongan pertama dan segera memanggil ambulans. Air matanya mengucur deras dihadapan gadis yang masih tak sadarkan diri di ruangan yang  penuh dengan bau obat. Dibelakangnya Aractus dengan santainya mengamati mereka berdua. Tentu saja ia santai, mareka tak akan pernah bisa melihat malaikat pencabut nyawa.
“Pasangan yang malang.” Gumam Aractus penuh rasa sesal. Ia masih tak percaya, mengapa Steve masih bisa menyelamatkan diri dan gadis itu padahal mereka sudah tercebur dari ketinggian hampir 100 meter. Steve yang mendengar seseorang berbicara dibelakangnya langsung membalikkan badan.
“Siapa kau tuan?”
Aractus terbelalak kaget. Dalam ketidak percayaannya pada hal yang mustahil tadi, kini ditambah lagi dengan kenyataan pemuda itu dapat melihat dan mendengarnya sebagai malaikat. Ia melihat kanan kiri berharap ada orang lain yang Steve tanyai namun disana hanya ada dirinya.
 “Kau bertanya padaku? Baik, aku Aractus. Malaikat pencabut nyawa.” Ujarnya santai.
“Apa? Jadi kau makhluk halus?” Balas Steve bergidik. Selama ini ia yakin bahwa jin atau makhluk halus semacamnya itu tak ada.
“Malaikat, bukan makhluk halus.”
“Mau apa kau kemari? Nyawa siapa yang ingin kau cabut?” Steve mendelikkan mata agak marah. Ia berpikir orang yang mengaku malaikat itu akan mengambil nyawa Jane.
“Hahaha.. nak, nyawa manusia bukan ada ditanganku. Aku hanya menjalankan tugas. Awalnya aku memang diutus untuk menjemput kalian berdua. Tapi aku heran, kau selamat. Tapi aneh.”
“Apa yang aneh?” Sergah Steve bernada sinis.
“Kau sepertinya punya jalan tersendiri untuk hidupmu. Kau tahu? Tak ada manusia yang dapat melihatku kecuali manusia itu akan segera mati dalam waktu dekat ini.”
“Apa? Mati? Maksudmu aku akan mati?” Steve setengah tak percaya akan hal yang barusan ia dengar.
“Bukan kau, tapi gadis itu. Gadis itu harusnya mati sekarang. Tapi kau malah menyelamatkannya. Dan ia masih punya waktu 2 hari lagi. Dan kau akan tetap hidup. Setelah gadis ini sadar, kau sama sekali tak akan dapat melihat, mendengar, bahkan mengingatku lagi Mr. Steve.” Jelas Aractus panjang lebar. Steve tak bergeming, ia berusaha terlihat setenang mungkin tapi ia tak bisa.
“Apa? 2 hari? Apa artinya Jane.. akan.. Jane akan kau ambil? Apa kau tak tahu kami baru saja menikah? Kau tak pernah menikah? Kau tak pernah merasakan kebahagiaan walau sedikitpun hingga kau tega sekali menghancurkan awal kehidupan kami?”
“Aku mengerti, aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Kau juga harus mengerti keadaanku yang serba sulit seperti ini.” Aractus membela dirinya.
“Apa waktunya bisa diperpanjang?” Suara Steve melemah, ia menunduk menahan penyesalan yang jelas-jelas terpancar dari mukanya. Ia masih tak percaya dengan semua itu.
“Bisa, jika kalian memiliki jenis darah yang sama.” Jawaban Aractus sama sekali tak membantu. Steve tersenyum sinis berpikir mana mungkin ia dan Jane memiliki darah yang sama. “Bukan darah persaudaraan yang kumaksud. Tapi darah perbintangan yang sama.”Lanjut Aractus. Steve melongo tambah tak mengerti.
“Perbintangan seperti apa maksudmu? Hey malaikat, jangan mempersulit aku dan istriku. Saat ini kau harusnya membiarkan kami istirahat dan jangan menakuti kami dengan ancaman 2 hari lagi nyawanya akan dicabut. Itu sama sekali tak lucu.” Steve membuang muka.
Aractus yang kesal membalas “Apa kalian memiliki zodiak yang sama? Perpanjangan waktu akan dikabulkan sesuai jenis perbintangan kalian.”
Setelah memikirkannya Steve seperti mendapatkan oase di padang pasir. “Kami berdua berzodiak Libra.” Jawab Steve penuh harap. Yang ia inginkan saat ini hanya hidup yang lebih panjang bagi Jane. Tanpa gadis itu ia takkan mampu bernapas, ia takkan bisa melanjutkan hidupnya kelak.
Terlihat Aractus menimbang-nimbang sesuatu. “Libra, adalah neraca. Dimana saat ada jiwa yang telah pergi lalu kau minta lagi, kau harus membayar dengan jiwa baru. Artinya kau harus membayar dengan harga yang sama agar neraca kalian setara.”
“Maksudmu? Aku harus bagaimana?”
“Kau akan memperoleh 99 hari tapi kali ini kau yang akan menggantikan posisinya. Yang berarti kau yang akan aku jemput pada hari ke 99 nanti.”
“Maksudmu aku yang akan mati?”
“Kurasa begitu, jika kau tak ingin melihat kenyataan bahwa 2 hari lagi gadis ini akan kujemput.”
Steve tertegun.“Apa tak ada jalan lain untuk kehidupan kami yang panjang?”
“Tidak, itu jalan satu-satunya. Kalian mengalami kejadian ini, ini semua karena kesalahan kalian juga.”
“Apa salah kami? Aku merasa kami tak pernah berbuat yang menyimpang pada bangsa malaikat.” Steve menyangkal keras tuduhan Aractus.
“Tidakkah kau memikirkan, hari ini tepat tanggal 13 adalah hari dewa kegelapan. Hari bahagia yang hanya boleh dimiliki oleh Yang Mulia Aaron. Tapi kau tak pernah mendengarkan istrimu, kau hanya memikirkan dirimu sendiri yang bersikukuh untuk menikah tanggal 13. Jadi siapa yang memulai dialah yang mengakhiri. Bersiaplah pada hari ke 99 Tuan Steve Morren. Aku benci menunggu lama.” Tak lama Aractus menghilang dalam pekatnya malam, bersama dinginnya udara yang menusuk dada Steve. Semakin pemuda itu menatap Jane yang lemas, semakin besar rasa penyesalan di dadanya. Ia memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang penuh dengan ‘seandainya’. Seandainya ia mendengarkan Jane dulu. Seandainya ia tak mengemudi saat itu. Dan seandainya peristiwa pahit ini hanya mimpi buruk, ketika ia terbangun besok ia berharap hal ini tak pernah terjadi dalam hidupnya.
Tiba-tiba sebuah tangan halus  perlahan mengusap kepala pemuda itu dengan lembut. Air mata bergulir dari mata indahnya. Ia terus menatap pemuda yang tertidur di sampingnya. Lingkaran mata di wajah tampannya menandakan ia begitu lelah, pasti ia sangat khawatir. Steve membuka mata dan tersentak kaget mendapati Jane Carlton telah sadarkan diri.
“Jane, kau sadar. Ini bukan mimpi kan? Demi Tuhan, aku sangat khawatir Jane, jangan kau ulangi lagi perbuatanmu ini. Kau membuat aku panik.” Baru saja Jane siuman sudah disemprot dengan kata-kata seperti itu. Jane hanya bisa tersenyum sambil mencubit pipi Steve dengan gemas. Jane tertegun mendapai pipi Steve yang basah.
“Steve, ini pertama kalinya aku membuatmu menangis. Tenanglah, aku tak akan kemana-mana.”
“Aku yang membuatmu celaka. Maaf Jane, aku...”
“Tidak seperti itu Steve, bukan kesalahanmu. Lupakan itu, sekarang aku sudah disini bersamamu lagi. Jangan merasa bersalah terhadap apapun Steve.”
“Berjanjilah untuk tidak pergi dariku selama aku masih bersamamu.”
“Aku berjanji. Kau juga harus berjanji untuk tidak pergi dariku Steve.”
Steve tertegun sebentar, teringat akan perjanjiannya dengan Aractus. Kali ini ia harus berbohong pada Jane. Ia tersenyum dan mengangguk pelan, satu lagi kesalahan terbesarnya. Meninggalkan Jane Carlton tak lama lagi, 99 hari mungkin waktu yang terlalu singkat tapi itulah keputusan.
***
Jane sudah bisa keluar dari rumah sakit. Ia sama sekali tak memberitahu keluarganya soal insiden kemarin. Sungguh mereka pasti akan panik bukan main jika sampai mengetahui Jane dan Steve sampai masuk rumah sakit. Meski agak tertatih, luka Jane bukan luka yang teramat serius. Hanya perlu waktu beberapa hari untuk beristirahat. Sementara itu Steve agak cemas karena mobilnya telah lenyap, masalahnya bukan mobilnya tapi reaksi kedua orang tuanya jika tahu bahwa mobil hadiah dari mereka kini lenyap tak berbekas. Harus bicara apa dia nantinya? Ini benar-benar memuakkan. Andai saja tak ada malaikat itu, pasti tanggal 13 tetap jadi tanggal yang lumrah layaknya tanggal-tanggal lain.
“Bagaimana dengan mobil baru kita?” Ujar Steve menyeringai  ke arah Jane Carlton.
“Ini.. Demi Tuhan, dari mana kau dapatkan mobil yang sama?” Jane terkejut melihat sebuah mobil yang terparkir tepat didepannya. Mobil itu benar-benar mirip dengan mobil Steve sebelumnya.
“Semua bisa diatasi, untungnya dompetku tak ikut hanyut.”
“Baguslah, dengan begitu orang tua kita tak perlu cemas.” Jane terlihat lebih baik sekarang. Tapi mungkin ia agak kesulitan untuk berjalan.
“Lihat, aku baru saja membeli kamera untuk kita. Hey Jane, senyum!” Steve menjepret sebuah foto. Tampak di foto itu Jane tersenyum lebar dengan latar belakang mobil barunya. Steve memandang hasil fotonya. Sejenak ia termenung, bagaimana bisa ia meninggalkan Jane Carlton seperti ini? Tidak, seumur hidupnya ia tak rela meninggalkan gadis itu sendirian. Siapa lagi yang akan menyelamatkannya dari bahaya-bahaya jika bukan Steve sendiri.
“Jane, tetaplah tersenyum.” Batinnya.
***
Hari demi hari berlalu, kini mereka menetap di California. Steve telah diterima di Perusahaan Elektronik sementara Jane tetap di rumah sambil sesekali menyalurkan hobinya. Menulis adalah hidupnya. Beberapa bukunya telah sukses beredar di pasaran. Namun, ia tak ingin terlalu sibuk di awal pernikahannya. Yang ia inginkan saat ini hanya Steve dan Steve saja, tak ada nama lain.
“Jane, hari ini mungkin aku pulang cepat, jadi masakkan aku sesuatu yang lezat ya?” Suara merdu Steve terdengar di ujung sana.
“Baiklah, tetap jaga kondisimu. Ingat, kau bukan mesin jadi sesekali ambilah cuti.”
“Itu bukan masalah, tapi saat ini aku masih ingin bekerja selagi aku masih kuat. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. “
“Baiklah aku tak ingin berdebat denganmu. Cepatlah pulang, aku menunggumu.”
“Tut…tut…tut” Sepertinya pembicaraan mereka telah berakhir. Hari itu Steve pulang cepat. Tentu saja itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Jane. Ia tiba-tiba seperti mendapat sumber tenaga yang baru. Setelah 3 bulan menikah baru kali ini ia tertarik untuk menghabiskan waktu lama di dapur. Biasanya tak ada hal menarik yang bisa ia dapatkan disana, namun hari ini mungkin karena Steve akan pulang cepat.
“Ayam, ikan, sayuran dan jamur. Kurasa akan cukup untuk makan berdua.” Gumamnya.
Sebentar-sebentar ia melirik potongan ikan panggang yang langsung membangkitkan selera makannya. Ia tak tahan untuk mencicipi sepotong. Ia mengambilnya dan melahap bagian ekornya. Heran sekali disaat seperti ini perutnya tak bersahabat. Rasa nyeri dan mual menerjang bagian kiri perutnya. Otomatis ia berlari kencang ke arah toilet. Tebak apa yang terjadi, Jane memuntahkan semua yang ia makan tadi.
“Jane, kau kenapa?” Sialnya Steve yang pulang terlalu awal tentu saja melihat Jane yang terbirit-birit dari dapur.
“Jangan kesini Steve.” Jane melarangnya untuk menghampiri dirinya yang masih agak lemas itu. Namun Steve tak mempedulikan apa yang Jane katakan. Dengan muka cemas, Steve menghampiri gadis itu dan mengelus punggungnya.
“Bukankah kita menikah dan akan hidup bersama baik dalam sehat maupun sakit. Tapi kau dengan egoisnya tak mau berbagi sakit denganku.” Keluh Steve agak kesal.
“Jangan terlalu cemas. Aku mungkin hanya masuk angin. Tadi aku sudah masak untukmu, sebaiknya kita makan malam sekarang.”
“Baiklah, setelah itu kita ke dokter. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu Jane.”
Jane hanya mengangguk kecil setelah itu ia tersenyum pada Steve, senyuman yang sangat manis.
“Jane, tahan senyummu ya?” Steve merogoh sebuah benda dari dalam tasnya. Sebuah kamera. Ia mengabadikan foto Jane yang tersenyum lebar di toilet. Sungguh menggelikan.
“Hey, kenapa akhir-akhir ini kamera itu selalu bersamamu?” Jane mengerutkan dahinya.
“Karena aku baru sadar ada momen spesial yang harus diabadikan.”
“Kenapa harus di toilet? Nanti saja saat makan bersama kan bisa.”
“Selera senimu benar-benar rendah nona, ayo kita makan.” Steve menarik tangan Jane dan membawanya segera ke meja makan.
                                                                           ***
“Mrs. Jane Morren, anda sedang mengandung 2 bulan.”
“Astaga, apa ini serius Mr. Audrey?” Tanya Jane penuh harap kepada lelaki yang berpakaian serba putih itu. Steve tampak senang bukan main.
“Tentu saja. Ini mungkin masa sulit bagi ketahanan janin yang kau kandung. Jadi berhati-hatilah beraktifitas dan makan makanan seimbang.”
“Baiklah Mr. Audrey, istri saya orang yang sangat hati-hati. Pasti dia akan berhati-hati.”
“Kuharap begitu juga Mr. Steve Morren.” Dokter itu kemudian berlalu untuk menangani pasien yang lain. Sementara Steve tampak senang, Jane ternyata agak shock mendapati dirinya tengah hamil muda. Ia bingung harus senang atau bagaimana. Karena yang ada di pikirannya sekarang hanya ketakutan. Semakin hari rasa ketakutan itu makin menjalar ke otaknya. Banyak hal yang ia takuti, sekarang ditambah lagi ia harus bertanggung jawab pada anak yang ada di rahimnya saat itu. Apa memang begini rasanya menjadi calon ibu? Tidak, tidak. Ia tak boleh stres, itu akan sangat berdampak bagi keadaan anaknya. Tapi tentu saja tak mudah baginya untuk menjaga 1 nyawa itu agar tetap berkembang dalam dirinya.
“Steve, berhenti mengambil fotoku diam-diam.” Sergah Jane kesal. Belakangan ini ia selalu saja ingin memarahi seseorang. Hanya ada Steve saja di rumah jadi mau tidak mau Steve harus bersedia menjadi korban dari kekesalan Jane yang benar-benar tak jelas.
“Kau terlihat sangat gusar belakangan ini. Jangan begitu terus, nanti anak kita jadi seperti itu juga.”
“Maaf Steve, aku lost control.” Jane menunduk, butiran air mata jatuh ke lantai. Steve tertegun. Ia benar-benar tak tahan melihat Jane tertekan seperti ini. Steve merengkuh wajah gadis itu ke pelukannya. “Steve, aku berjanji akan menjaga anak kita.” Lanjut Jane dengan suara yang agak parau.
“Jangan katakan apapun. Aku mengerti, mungkin itu tindakan wajar ibu hamil. Jadi jika kau gusar dan banyak pikiran, tumpahkan sajalah padaku. Aku juga janji tak akan membuatmu kesal lagi. Aku tak akan mengambil fotomu diam-diam, dan aku tak akan….”
“Tidak Steve, kau boleh mengambil fotoku sesuka hatimu. Kau berhak atas hal itu. Bukankah banyak momen indah yang harus diabadikan?”  Wajah Jane lebih baik sekarang. Menjadi lebih berwarna. Sementara Steve, mungkin Jane tak tahu apa yang terus menerus berkecamuk dihati pemuda itu. Waktunya hanya tinggal beberapa hari saja. Ia sekarang lebih bingung bagaimana perasaan gadis itu kelak setelah ia tinggalkan? Apa dia akan sanggup membesarkan anak mereka sendirian? Bahkan Steve tak akan pernah bisa melihat wajah anaknya. Ini menyesakkan. Ini hanya akan menyakiti Jane saja. Ia benar-benar tak ingin mati secepat itu. Dan baru kali ini Steve merasa hidup sangat tak adil.
***
“Apa manusia itu telah bersiap untuk dijemput?” Tanya Aaron was-was .
“Ia telah mengetahui kapan seharusnya ia meninggal Aaron.” Ujar Aractus sopan. Sebentar lagi Aractus akan menyelesaikan masa tugasnya untuk menjadi malaikat maut. Itu artinya predikatnya akan digantikan oleh Steve Morren saat hari itu akan tiba.
 “Baiklah, pastikan dia siap untuk hal itu. Dan aku tak mau kejadian itu terulang kembali. Angka 13 tetap milikku.”
“Tentu saja yang mulia Aaron.” Aractus melangkah mundur dan kembali menghilang diantara gumpalan awan cumulus pembawa hujan. Sebenarnya hati Aractus sangat menentang apa yang sedang ia jalani selama ini. Ia tak ingin menjadi perantara atas perginya nyawa seseorang. Ia tak pernah berpikir untuk melakukan semua itu sebelumnya. Sungguh, ia berakhir menjadi seorang malaikat maut karena masalah yang sama. Karena ia juga akan menikah pada tanggal 13. Sampai sekarang hati kecilnya memberontak menahan berbagai kekesalannya pada Aaron. Haruskah tanggal 13 hanya miliknya seorang? Jika iya, kenapa mesti ada angka 13 di dunia ini jika akhirnya akan menjadi seperti ini. Semua itu hanya menyesatkan orang-orang. Tak berpikirkah Raja kegelapan itu tentang keluarga orang yang ditinggalkan? Itu menyedihkan. Bahkan setelah melihat ada kejadian yang sama dengannya itu, ia benar-benar tak tega. Apalagi hal yang ia tahu pasti akan terjadi, Jane, istri dari Mr. Steve Morren itu pasti mengandung anak mereka. Memikirkan hal itu ia jadi teringat istrinya dahulu. Benar-benar dramatis. Walau Aractus tetap diberi kesempatan untuk melihat istrinya, tetap saja wanita itu tak akan pernah bisa melihat Aractus. Bahkan hal itu lebih menyakitkan. Rasanya ia lebih memilih hidup tenang dalam surga ketimbang harus tersiksa oleh kenyataan akan dirinya itu.
***
Jarum telah menunjukkan pukul 2 pagi, namun mata Steve belum terpejam sedikitpun dari semalam. Pikirannya tetap tertuju pada sebuah hal. Hal yang nantinya akan menjadi batu sandungan diantara dirinya dan Jane. Ia akan belajar, belajar untuk menerimanya. Belajar untuk menerima betapa berharganya waktu disaat kita bisa hidup, disaat kita bisa mencintai orang lain, disaat waktu kita benar-benar terbatas untuk mencintainya. Diraihnya sebuah benda, ia membuka halaman pertama. Sejenak ia ragu, namun tekadnya yang kuat menepis segala keraguannya. Bagaimanapun Jane harus mengetahui yang sebenarnya sebelum ia benar-benar tak akan bisa memberitahu Jane nanti. Jemarinya mulai menari diatas lembaran-lembaran putih itu. Ia menuangkan segalanya, sesuatu yang berawal dari kesalahannya sendiri. Kesalahan yang akan menyakiti Jane dan – tentu – dirinya sendiri. Detik demi detik yang ia jalani begitu sederhana dan bermakna. Tak ada yang lebih dia inginkan di dunia ini selain bersama gadis yang mampu membuatnya tersenyum. Jane Carlton. Semua terasa begitu sempurna ketika senyuman gadis itu menyatu dengan senyuman Steve Morren. Walaupun ia tak bisa hidup bersama gadis itu, setidaknya ia telah menyelamatkan nyawa Jane dengan menukarnya dengan nyawanya sendiri. Secara tak langsung ia juga sangat berterimakasih pada Aractus. Seandainya ia tak pernah muncul, mungkin Jane yang akan pergi, bukan dirinya.
***
“Jane, ayo bangun honey.” Steve membangunkan Jane sepelan mungkin agar gadis itu tak marah.
Jane meregangkan badannya bebas. Tampaknya ia memang sudah bangun. Seperti biasa, gadis itu selalu memancarkan senyum paginya yang terindah pada sang suami tercinta.
“Kenapa kau selalu tersenyum seperti itu padaku?” Tanya Steve menggoda.
“Aku tak pernah tersenyum setulus ini pada orang sebelum aku bertemu denganmu.”
“Apa kau akan terus tersenyum seperti ini?”
“Tentu saja. Selamanya aku akan bahagia.”
“Aku percaya itu, Jane.” Steve mengecup kening gadis itu dengan lembut. “Ayo, kita jalan-jalan keluar. Kita juga harus mengecek keadaan Steve Junior kita  kan?” Ujar Steve bersemangat sembari mengelus perut Jane yang semakin membuncit. Jane bangkit dari tempat tidurnya dan beranjak untuk bersiap-siap. Sementara Steve termenung menatap awan mendung diatasnya.
“Biarkan aku bebas satu hari ini Aaron, aku berjanji ini tujuan terakhirku. Aku tak bisa pergi begitu saja tanpa berpamitan. Beri aku waktu 12 jam.” Gumamnya. Steve memejamkan mata, merasakan udara yang berhembus disekitarnya. Aractus menatap pemuda itu dari atas. Ia juga merasakan hal yang sama. Aractus sangat memahami keadaan Steve saat ini.
***
Sore itu begitu indah. Semburat  matahari tenggelam yang sangat manis menghiasi awan kelabu dengan latar langit biru muda bercampur menjadi gradasi yang menakjubkan. Tepat di tepi pantai itu mereka melewati masa indah bersama. Jane yang bersandar di bahu Steve. Mereka terlihat lengkap. Lengkap dengan Steve Junior-nya.
“Steve, kira-kira Steve junior kita ini laki-laki?”
“Tentu saja, kelak ia akan setampan ayahnya.” Ujar Steve nyengir. Jane memukul kepalanya lalu mereka tertawa bersama.
“Jane, kau haus? Aku belikan minum mau? Tadi aku sempat melihat jus yang terlihat sangat segar di seberang jalan.”
“Tentu Steve, ayo kita kesana.” Ujar Jane bersiap untuk bangkit.
“Tidak. Kau diam saja disini. Aku tak akan lama. Oh ya, ini..” Steve mengeluarkan kotak persegi panjang dengan pita putih sebagai pemanisnya. “Kau buka di rumah saja ya?” Lanjutnya.
“Aku tak berulang tahun hari ini. Kau tahu itu kan?” Jane mengerutkan dahinya. Ia tampak heran mengapa ia diberi hadiah bahkan bukan dihari ulang tahunnya.
“Ya, aku tahu. Apa salah jika aku memberimu sesuatu? Baiklah, aku segera kembali membawa minuman.” Steve berlari menjauhi Jane, menjauhi gadis itu menuju ke seberang jalan.
Aractus melirik pemuda itu. Sudah saatnya, saat yang Steve tunggu dan ia hindari. Aractus mengamati mobil dari kejauhan. Steve melangkah menyeberang jalan. Ia memang telah mengetahui mobil itu disiapkan untuk dirinya. Steve berniat untuk menyelamatkan diri. Ia berlari lebih cepat untuk menghindari terjangan mobil itu. Kerena ia tak mengamati jalan di depannya, truk container besar menyerangnya dari arah depan. Pemuda itu terbentur sangat keras. Kedua botol jus terlempar begitu jauh. Steve tergeletak tak sadarkan diri setelah insiden tadi. Tak terlihat sama sekali gerakan atau hembusan napas dari hidungnya. Detak jantungnya melemah, semakin lemah hingga ia tenggelam dari dunia ini. Ia tak ada disini lagi, ia telah pergi. Sementara itu Jane terus melirik jam hingga malam semakin memburunya. Tampak beberapa kerumunan orang berlari menuju ke seberang jalan. Karena penasaran, Jane mengikuti orang-orang itu. Dengan berhati-hati Jane menerobos barisan orang-orang yang ramai. Saat itu Jane terperangah, ia seperti ingin terjun ke jurang saat itu juga.
“Tidak, ini tidak nyata. Dia bukan Steve-ku, seseorang.. tolong, katakan ini hanya mimpi burukku. Dia bukan Steve, bukan!” Jane meremas rambutnya sendiri. Setelah mendapati Steve sudah dalam keadaan yang tak bernyawa, ia semakin tak percaya dibuatnya.
“Baru saja kau mengatakan akan membawakan aku jus, Steve.. bangunlah. Lihat aku disini, disampingmu. Aku menunggu jusmu Steve. Steve, tolong bangunlah.” Jane memukul dada Steve yang berlumuran darah berharap pemuda itu segera bangun. Tapi kali ini tak ada reaksi sama sekali dari Steve. Jane tertunduk lemas, kedua matanya bengkak, pipinya telah banjir oleh air mata.
***
Jane membuka pita putih itu. Hadiah itu adalah hadiah terakhir dari Steve. Sebuah buku. Ia membuka halaman pertama dari buku itu. Ada beberapa kata-kata indah yang Steve tulis. Disampingnya tertempel fotonya dan mobil baru Steve sehabis kecelakaan yang menimpanya setelah hari pernikahannya dulu. halaman demi halaman ia buka, isinya kebanyakan foto-fotonya dan Steve. Matanya mulai berair kembali. Pikirannya berputar-putar pada masa lalu, benar-benar terlalu indah untuk ia kubur begitu saja. Ia sampai pada halaman terakhir. Foto itu, Jane Carlton tampak melihat matahari terbenam. Jane tertegun, foto ini.. diambil beberapa menit sebelum Steve kecelakaan. Bagaimana bisa ia mengambil foto ini? Dan menempelnya? Jane menghapus air matanya yang bergulir deras di pipinya.
“Aku takkan lengkap tanpa Jane Carlton. Jadi tetaplah bahagia selama ada maupun tidaknya aku.”
Kalimat terakhir itu, Jane membekap mulutnya. Kali ini ia tak kuasa, benar-benar tak bisa menahan kesedihan itu untuk datang kembali.
“Aku akan selalu bahagia. Selama ada maupun tidaknya dirimu. Karena aku percaya satu hal, kau tetap akan mencintaiku Steve Morren.” Jane memeluk buku itu. Dari kejauhan tampak seorang pemuda tersenyum tulus melihatnya.
*Selesai*


[1] Kota mati tak berpenghuni yang terdapat di Perancis tempat Jerman menyerang Perancis pada zaman dulu.

Saturday, May 4, 2013

Cerpen (Dandelion)


 DANDELION

Lavina menatap nisan yang kini kokoh didepannya. Gadis itu menengadah, matanya menerawang jauh, jauh ke atas langit. Seandainya ia memiliki mesin waktu, tak akan ia biarkan semua itu terjadi. Seharusnya ia bisa mencegah kepergiannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar menyesal, tak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat itu, ia harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
                                                                           ***
Saat Lavina berumur 11 tahun, satu-satunya orang yang paling ia sayangi hanya Anthony. Pemuda cilik yang 3 tahun lebih tua darinya. Mereka adalah tetangga, tetangga yang sangat akrab layaknya saudara.
“Lavin, jika kau sedang berulang tahun hari ini, kau akan minta hadiah apa?”
“Kak Anton kok ngomong gitu? Lavin kan ulang tahunnya masih lama.”
“Ya, jawab aja.”
“Lavin mau boneka beruang yang gede kak, yang lebih besar dari Lavin. Biar bisa Lavin peluk.” Ujar Lavin sambil terkekeh.
“Kamu suka beruang ya?”
Lavin mengangguk, gadis itu sangat manis apabila sedang tersenyum lebar seperti saat ini. Saat dimana Anton harus mempertimbangkan sendiri keinginannya untuk pergi ke Hawai. Ia benar-benar ingin bertemu ayahnya. Namun di sisi lain, ia tak bisa meninggalkan Lavina sendirian. Gadis itu tak punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya sibuk mengurus perceraian. Selama ini ia hanya dekat dengan Ibu Anton, yaitu Merina. 2 hari yang lalu Steve – ayah Anton – meneleponnya dan mengirimkan 2 buah tiket ke Hawai untuk Merina dan untuk dirinya sendiri. Ia sekarang benar-benar bingung bagaimana caranya mengatakan semua itu kepada Lavin.
“Ibu, apa besok kita benar-benar akan menemui ayah?”Tanya Anton berharap agar ibunya berubah pikiran.
“Mhhm.. Ibu mengerti, kau belum mengatakannya pada Lavin tentang hal ini ya? Nak, ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk bertemu ayah. Tak lama lagi kita pasti kembali kesini.” Merina meyakinkan anaknya yang terlihat gusar sepanjang hari. “Temui Lavin sekarang dan bicaralah. Biar ibu yang mengemasi barang-barangmu. Besok pagi kita harus sampai di bandara jam 6 pagi.”
Anton mengangguk kemudian berlari kencang menuju rumah Lavin.  
“Lavin?” Sapa Anton dengan kaku.
“Kak Anton, tadi mama membelikan ayam goreng. Kita makan sama-sama yuk?” Lavin menarik tangan Anton namun ia menepisnya.
“Lavin, besok aku akan ke Hawai menemui ayah. Jaga dirimu baik-baik disini ya? Maaf aku baru memberitahumu sekarang.”
“Hawai? Apa tempat itu jauh kak? Berapa lama kakak disana?”
“Aku akan segera kembali untukmu Lavin.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Anton berlari sekencang-kencangnya. Ia benar-benar tak tahan menyembunyikan kesedihannya didepan Lavin. Air matanya meleleh. Ingin sekali ia menghentikan waktu agar malam ini tetaplah menjadi malam hingga tak akan ada hari esok yang menghampirinya. Sementara itu Lavin masih termenung mengingat ucapan yang barusan keluar dari mulut Anton. Benarkah ia harus pergi meninggalkannya sendiri sekarang? Siapa lagi yang akan mengajaknya bermain di halaman? Siapa yang akan menemaninya berangkat sekolah seperti biasa?
Tak bisa dipercaya, Anton benar-benar pergi. Hari itu, Lavin hanya sendiri,seorang diri. Ia memegang setangkai bunga dandelion dan berjanji akan selalu menunggu kedatangan Anton sampai kapanpun.
“Kak Anton, tiap Lavin kangen sama kakak, Lavin akan meniup bunga dandelion dan jika kelopaknya terbang sampai ke Hawai, Lavin harap kakak melihatnya.”

12 Tahun kemudian…..
“Lavin, kenapa kau menolakku? Kau tak tahu? Aku sangat menyukaimu sejak pertama kali kita kenal.”
“Maafkan aku Fred, aku telah berjanji pada seseorang untuk menunggunya sampai ia datang.”
“Tapi kenapa Lavin? Apa orang itu lebih dulu mengenalmu dibanding aku? Apa aku terlambat?”
“12 tahun. 12 tahun yang lalu. Ia berkata padaku bahwa ia akan datang kembali padaku.”
“Kau sangat bodoh Lavin. Kau begitu bodoh menunggu orang yang tak pasti menepati janjinya. Sekarang apa kau tak sadar ada seseorang yang jelas-jelas sudah ada dihadapanmu ini?” Fred tak habis pikir jalan pikiran Lavin begitu konyol yang masih mempercayai cinta monyetnya yang jelas-jelas telah pergi dan tak akan kembali lagi.
“Maafkan aku Fred. Aku tak bisa.” Lavin menunduk, sebutir air membasahi pipinya. Apa yang dikatakan Fred barusan benar. Ia begitu bodoh, semudah itu ia memercayai Anton dulu. Ia berkata akan kembali tak lama lagi. Tapi 12 tahun waktu yang bahkan terlalu lama untuk menunggu seseorang.
***
“Kondisimu sekarang masih belum stabil. Masih ada beberapa proses cuci darah yang harus kau jalani.” Kata Dokter meyakinkan Anton.
“Anthony, kau harus tetap disini sampai kau benar-benar sembuh. Baru ayah ijinkan untuk kembali ke Indonesia.”
“Ayah, jika sekarang ini ayah jadi aku dan wanita yang sedang menunggu hampir 12 tahun lamanya adalah ibu, apa yang akan kau lakukan?” Anton bersikeras pada keinginannya sendiri.
“Kau pintar membalikkan keadaan. Sama seperti ayahmu ini.” Merina muncul membawa paspor beserta perlengkapan pulang.
“Kapan kau menyiapkan semua ini Bu?” Anton tersentak kaget begitu melihat perlengkapannya yang telah rapi.
“Sudah kuduga sebelumnya, selama ini kau gusar terus. Siapa lagi yang kau pikirkan jika bukan Lavin? Ambil ini, ibu Lavin yang mengirimkannya via e-mail kemarin.” Merina menyerahkan  selembar foto gadis manis dengan rambut lurus sebahu yang tergerai indah tertiup angin.
“Lavin, kau sudah sebesar ini. Aku akan segera kembali, tunggulah sebentar saja. Ayah, Ibu, aku pergi ya? Kalian tetap disini. Aku akan mencari sendiri kehidupanku di Indonesia.”
“Tapi, Ibu harus ikut Anton, Ginjalmu belum sehat sepenuhnya.”
“Ibu, aku tak apa-apa, jangan khawatirkan aku. Jagalah ayah disini, aku bisa menjaga diriku sendiri.”
***
Hari ini udara di Jakarta begitu menyengat. Walaupun berbeda dengan suasana Hawai, rupanya Anton cepat beradaptasi dengan lingkungannya karena memang disinilah tempat dimana ia seharusnya berada sekarang, untuk menemui orang yang penting dalam hidupnya. Perjalanan panjang dari Hawai yang sangat melelahkan tak mematahkan keinginannya untuk segera bertemu Lavin. Siang itu matanya tertumbuk pada sebuah boneka teddy bear berukuran besar yang terpajang di etalase toko. Ia jadi teringat sesuatu tentang Lavin. Gadis itu pasti akan senang jika diberikan hadiah yang ia inginkan.
Senyuman Anton tak henti-hentinya merekah setelah kakinya benar-benar menginjak halaman rumah Lavin. Di taman depan Anton melihat seorang gadis berambut sebahu persis seperti yang ada di foto pemberian ibunya. Hatinya berdesir mendapati gadis itu sedang memetik beberapa bunga dandelion dan meniupnya ke udara.
“Permisi, apa kau Lavina?” Anton melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati mendekati tempat gadis itu.
“Iya, saya sendiri. Maaf, anda siapa ya?” Lavin merasa belum pernah melihat pemuda ini disekitar tempat tinggalnya.
“Lavin, bukankah saat kau berulang tahun kau ingin mendapatkan hadiah seperti ini?” Anton menunjukkan boneka super besarnya dan memberikannya pada gadis itu.
“Ha? Kak.. Kak Anton?” Kali ini Lavin benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang tiba-tiba langsung memeluk Anton dengan kencang.
“Hey, Sebegitu rindunya kau padaku ya?” Ujar Anton sembari menepuk-nepuk pundak Lavin yang terisak dibahunya.
“Kak Anton bilang gak akan lama, kau menganggap 12 tahun itu singkat ya? Kau jahat padaku, jahat.” Lavin memukul pelan punggung Anton membuat pemuda itu trenyuh. Betapa teganya ia meninggalkan Lavin selama itu.
“Maafkan aku Lavin, aku akan membayar 12 tahun yang hilang itu. Aku janji padamu.”
“Kak, apa kau tak bertanya apa saja yang aku lakukan selama kak Anton tak ada disini?”
“ Aku sangat ingin tahu tentang itu.” Ujar Anton yang masih tak bisa melepas pelukannya dari gadis itu.
“Aku memetik bunga dandelion itu, lalu aku meniupnya. Aku berharap kepada Tuhan agar dandelion itu sampai ke Hawai dan mengebarimu untuk segera pulang menemuiku.” Ucap Lavin pelan. Anton merasakan Lavin sedang tersenyum saat ini.
Disaat mereka benar-benar saling melepas rindu satu sama lain, tiba-tiba Anton merasa sesuau aneh terjadi pada organ tubuhnya. Rasanya begitu perih dan sakit. Ia melepas pelukannya dari Lavin. Memegangi perut bagian kanannya. Sementara itu Lavin yang sangat panik segera menghubungi dokter keluarganya. Namun, sepertinya Anton tak dapat menahan sakit lebih lama lagi, Lavin segera memapahnya ke dalam kamar.
“Dokter, bagaimana kak Anton?” Tanya Lavin yang dari tadi terus berharap agar tak terjadi sesuatu yang serius dengannya.
“Sepertinya dia baru saja selesai dioperasi transplantasi ginjal. Namun ada beberapa komplikasi yang terjadi. Mungkin ia terlalu lelah dan belum cukup istirahat. Saya sarankan Nak Lavin membawanya ke rumah sakit dan segera menghubungi keluarganya.” Penjelasan dokter barusan sekarang menjadi bumerang yang siap menghantam dirinya. Tuhan, baru saja kak Anton sampai disini sekarang ia harus menderita seperti ini.
“Baik Dok, saya akan menghubungi Ibunya dan segera membawanya ke Rumah Sakit.”
Hari demi hari Lavin dan Merina, ibu Anton menunggu namun Anton tak kunjung sadar juga. Wajah Lavin kini semakin pucat, tubuhnya pun semakin kurus. Merina benar-benar tak tega melihat gadis itu menderita seperti itu.
“Dari umur 16 tahun, Ginjalnya bermasalah. Dan baru bulan lalu ada ginjal yang cocok dengan tubuhnya. Sekarang aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi padanya. Lavin, kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini. Kau harus percaya bahwa Anton akan selamat.” Merina menenangkan Lavin yang tak hentinya menangis dari beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah dokter menyatakan Anton kini dalam masa koma. Lavin hanya menggeleng dan terus memegangi tangan Anton. Lavin bahkan belum sempat menyatakan perasaan sukanya pada Anton. Gadis itu sangat menyukainya, menyayanginya dan begitu mencintainya. Di sudut mata Anton tampak setetes air yang bergulir. Lavin juga melihatnya tersenyum. Lavin begitu terkejut dan segera memanggil dokter.
“Lavin” Tak dipercaya Anton menyebut nama gadis itu. “Aku mencintaimu.” Lanjutnya pelan. Dan setelah itu tak terdengar apa-apa lagi dari tubuh Anton. Lavin berteriak histeris. Dokter telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu, tapi takdir tak dapat dilawan. Bagaimanapun Anton telah menyelesaikan tujuannya untuk menyatakan perasaan pada Lavin saat itu juga. Lavin sangat menyesal pada dirinya sendiri, ia marah pada dirinya.
“Kenapa Kak? Kau bilang akan membayar 12 tahun itu. Apa ini caramu membayarnya?” Lavin memeluk tubuh Anton yang dingin. Dingin sedingin es, sama seperti hatinya yang dingin, keras dan membeku. Sementara Merina yang terisak berusaha menenangkan Lavin.

-Selesai-