Pages


Thursday, November 1, 2012

Roses Garden

Our love's still in there
Sepetak tanah itu awalnya hampa. Hanya beberapa gulma yang mengisi kejenuhannya. Memang seringkali gulma yang sangat lebat itu terlihat menyejukkan mata karena tebal rumpunnya yang hijau, namun hanya hijau yang terlihat. Lama kelamaan warna monoton itu tak indah lagi dipandang. Sepertinya sepetak tanah itu cukup tersiksa dengan lahannya yang mulai dicampakkan, dijauhi dan tak dipedulikan. Akhirnya seorang gadis tergugah untuk mengisinya dengan secercah warna merah dari bunga mawar. Ia memindahkan sebatang pohon mawar yang kecil dengan bunga warna merah tua yang hampir mekar. Dengan sebuah sekop kecil ia menggali tanah coklat dan mencabuti beberapa rumput. Mawar merah itu tumbuh dengan indah seiring bertambahnya usia gadis itu. Saat ia lulus SMP, ia mengunjungi sepetak taman kecil itu dan menggali lagi. Tampak sebatang mawar jingga berdampingan dengan mawar merah yang ia tanam beberapa waktu yang lalu. Mawar jingga yang begitu manis, kelopaknya seperti memancarkan cahaya mentari terbenam setiap waktu. Gadis itu begitu senang ketika ia mendapati kedua mawarnya berbunga sangat indah. Gadis itu begitu terpesona dengan bunga mawar, hampir setiap hari ia mengunjungi taman kecilnya itu. Saat ia mendapatkan teman baru di SMA, ia datang kembali dan menanam sebatang mawar berwarna kuning. Ia sengaja memilih warna tersebut, seseorang pernah berkata padanya "Mawar kuning cukup mewakili hatimu untuk para sahabat yang kau cintai. Itulah tanda persahabatan." Waktu demi waktu tak hentinya menanjak ke masa dewasa yang katanya indah dan serba bahagia. Benarkah? Gadis itu sama sekali belum memahaminya. Seorang pemuda mulai mendekatinya, menyapa jiwanya dengan tatapan lembut dan harus ia akui, ia sangat nyaman dan merasa aman bersama pemuda itu. Namun, ia tetap bingung dengan hal yang alaminya. Ia mencoba mengabaikan rasa aneh yang selalu menyergap hatinya. Gadis itu mulai mendekati pemuda-pemuda lain. Sepertinya ia ingin benar-benar memahami apakah rasa itu hanya muncul saat berdekatan dengan pemuda yang mendekatinya dulu itu. Tindakannya itu salah, dan ironisnya pemuda itu merasa kecewa dengan sikap gadis itu. "Kenapa kau tak mengabaikan mereka semua, dan mulai hanya melihatku saja?" Kalimat itu melontar dari mulut pemuda itu. Sang gadis mulai nampak cemas dan bingung. Mukanya pucat seketika, merasa seperti di persimpangan dan tidak tahu harus berbelok kemana. Lidahnya tetap kelu. Yang hanya ia bisa lakukan saat itu hanyalah berbalik arah dan lari sekencang-kencangnya.
Dengan membawa sebatang pohon mawar, ia merenung di taman mawarnya. Menyekop tanah sedikit demi sedikit dan menanam sebatang mawar ungu. Ia menggerutu "Kau membuatku bingung hari ini. Kau tahu apa yang aku rasakan? aku merasa senang, terkejut, bahagia dalam satu momen. Seperti warna merah dan biru yang membentuk spektrum warna ungu."
Begitulah, sangat rumit baginya. Ia cukup heran mengapa semua orang mendambakan keremajaan. Padahal mereka tidak bisa menikmati masa taman kanak-kanak, tidak bisa bermain, tidak bisa berekreasi tiap waktu. Ditambah dengan hadirnya sesosok pemuda yang membuatnya semakin merasa aneh. Pemuda itu sangat menarik dimatanya. Benar-benar berbeda dengan yang lain dan sangat manis ketika ia berlutut satu kaki dihadapan gadis itu. "Hey, nona mawar. Kau tahu apa yang membuatku berlutut satu kaki dihadapanmu? Itu kau, kau yang selalu menghantui malamku, menyinari siangku dan mewarnai pagiku dengan bayang senyummu yang manis." Hari itu mereka bersatu, saling melengkapi dengan kekurangan masing-masing. Mawar merah muda, wujud nyata dari awal mula kisah cinta mereka bersemi. Mawar kali ini berbeda, ia ditanam oleh kedua insan yang saling mencintai dan memiliki.
Tak terasa hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun pula berlalu. 5 tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalin suatu hubungan.
Adanya komitmen mulai mengikat kedua insan dengan perantara tali pernikahan yang begitu suci dan indah. Mareka berdua ditambah dengan anak mereka akhirnya membentuk suatu keluarga yang begitu bahagia, penuh tawa dan haru. Nona mawar itu tiba-tiba mulai melupakan taman kecilnya karena terlalu berkonsentrasi pada kehidupan nyata yang berdampingan dengannya sekarang. Ia terus menerus hidup dengan ketiadaan mawar didekatnya, tanpa melihat indahnya kelopak sang bunga, tanpa menghirup wanginya, tanpa merasakan sejuknya hamparan taman yang selalu ia hampiri dahulu sampai kini hanya tulang yang berselaput kulit keriput yang tersisa dari nona mawar yang telah tua renta bersama dengan suaminya yang hanya meringkuk di atas tempat tidur. Namun, mereka berdua tetap merasakan kebahagiaan yang tak terhingga atas anaknya yang kini meneruskan dan melanjutkan arti kehidupan mereka kelak. Mereka yakin anak yang sangat mereka sayangi akan menjadi anak yang baik seperti layaknya bunga mawar. Harum dan menyegarkan. Wanita itu renta setia merawat suaminya hingga pada waktunya tiba. Memang kehendak Tuhan, wanita itu harus menerima kenyataan. Menerima bahwa sang suami telah berpulang meninggalkannya untuk menghadap kepadaNya. Sedih yang teramat menyelimuti wanita mawar serta anaknya. Begitu usai pemakaman, secara tiba-tiba hati sang wanita merasa rindu. Rindu kepada masa lalunya, sebuah tempat yang sangat ia rindukan. Taman mawar. Dengan tergopoh-gopoh ia serta sang anak membawa sekop dan sebatang mawar hitam untuk mereka tanam di lahan penuh mawar itu. Namun sang wanita terperanjat ketika didapatinya lahan tersebut penuh dengan bunga-bunga mawar dengan berbagai warna hasil dari mawar yang ia tanam dahulu, namun taman itu tampak sangat terawat dan seperti disiram serta dipupuk setiap hari. Ia heran, siapa yang telah berbaik hati merawat lahan kecilnya itu. Tak cukup itu saja. Ia mendapati adanya serumpun mawar putih yang mekar indahnya. Seingatnya, ia sama sekali belum pernah menanam mawar putih di taman kecilnya itu. Awalnya ia hanya acuh tak acuh dan melanjutkan untuk menanam mawar hitam yang gelap, senada dengan langit dan hati wanita itu. Pekat, kelabu, dan hampa.


Di rak buku yang berada di kamar wanita tua itu tak sengaja ia temukan sepucuk surat kecil.

"Untuk istriku tercinta"

Lama sudah kita bersama, sepertinya kau cukup sibuk untuk mengurus kebun kecil itu. Jadi biarkan aku yang mengurusnya karena kebunmu adalah kebunku juga. Maafkan aku jika sampai saat ini kau belum mengetahuinya. Aku juga meminta maaf atas kelancanganku menanam sebatang mawar putih disana. Kau tahu makna mawar putih? Kau dan aku, serta anak kita. Cinta kita akan selalu bersemi. Cinta yang putih, suci dan abadi. Walaupun akan ada diantara kita yang pergi, tak akan ada cinta yang pergi. Apapun yang terjadi cinta kita akan selalu ada di taman itu. Lihatlah mawar - mawar itu, hatimu akan kembali bersemi dan tetap lanjutkan hidup kita masing-masing dengan penuh senyuman layaknya sang mawar


Tetes demi tetes lautan air mata itu meleleh di pipi sang wanita itu. Tangannya yang keriput memeluk sang anak yang ikut merasakan sendunya hari itu. Benar, cinta mereka akan abadi dan suatu saat akan bersatu kembali di lahan kecil yang penuh cinta itu.
"Benar kata ayahmu, cinta kita abadi layaknya mawar putih terakhir darinya"