Pages


Tuesday, June 26, 2012

Aku #3

Teardrops fall like the rain
I can't stand up without you  
Gerimis mulai terdengar ramai dan perlahan menjadi hujan. Kami berdua masih berdiam diri tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya mata yang berbicara. Karena aku merasa tak tahan seperti itu, ku mulai percakapan dingin kami.
"Kehadiranmu semakin membuatku sakit."
"Kalau itu yang kau rasakan, kenapa tak pergi saja?" Jawabnya kaku. Itu sama sekali bukan jawaban yang ku ingin dengar. Bagus, hari ini ia berhasil membuat suasana hatiku kacau.
"Untuk apa kau jauh-jauh kemari jika akhirnya kau dingin padaku seperti ini?"
"Siapa bilang aku kemari untuk menemuimu? Ada urusan pekerjaan." Ujarnya.
"Baiklah, tak ada gunanya aku menunggu lagi. Ada kata-kata terakhir sebelum aku pulang?" Mataku panas, bisa kurasakan suaraku bergetar marah.
"Yah.. Kau tak perlu memikirkan aku lagi. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Jaga dirimu baik-baik Ika." Setelah menyebutkan beberapa patah kata yang begitu menusuk itu, ia bangkit dari tempat duduk dan beranjak pergi dibalik guyuran hujan nan derasnya. Tak ada hakku lagi untuk menahannya pergi, aku tak pantas lagi memegang tangannya dan memohon agar ia lebih lama bersamaku. Demi Tuhan, tega sekali ia meninggalkan dan mencampakkan aku setelah 6 tahun lamanya kita tak bertemu. Timbul beberapa hipotesa dalam diriku. Apa dia bosan denganku? Apa dia suka pada gadis lain? Entah.. Apapun jawabannya itu, tetap saja pada kenyataannya ia tak akan pernah lagi melihatku sebagai orang yang paling berarti dalam hidupnya. Semuanya yang pernah kami lewati, semua hal, semua susah dan senang, moment itu seakan lenyap dari benakku. Namun tak dapat aku pungkiri otakku masih saja memutar rekaman-rekaman yang harusnya terkubur rapat-rapat dalam memori. Segalanya hanya kenangan sekarang. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan dari perjalanan cintaku yang telah kandas tak berhasil kupertahankan. Ku seret diriku dibawah guyuran air langit. Kubiarkan diriku tenggelam dalam kesedihannya.
"Aaaaaarrrrrhhhhhggggggg" Tenggorokanku sakit, rasanya pita suaraku bergetar terlalu keras. Air mataku menyatu dengan hujan bercampur menjadi tetesan-tetesan kesedihan hari ini. Lututku lemas, aku bersimpuh menengadah menatap awan kelabu itu. Kuremas rambutku sendiri, ingin kusalurkan sakit hatiku pada fisik yang kumiliki, namun itu semua belum cukup. Baru aku mengerti kenapa wanita mudah sekali depresi. Dibalik rimbunnya pepohonan tak kusadari ada sepasang mata yang memandang tubuhku yang menggigil dibawah derasnya hujan. Orang itu menatap dengan penuh penyesalan. Mungkin saat ini ia sangat ingin menjadi dirinya yang sebenarnya. Tak harus berpura-pura untuk menjadi dingin, tak harus berpura-pura tak menyukaiku lagi. Sementara itu, aku mencoba menegakkan kedua lututku. Berjalan terseok-seok dengan wajah muram. Aku bahkan sangat mirip dengan orang gila, gila karena pemuda itu. Jujur saja aku belum mendapat alasan kenapa ia melakukan hal ini dengan sangat mudahnya padaku. Aku harus menagih alasan itu. Cepat atau lambat aku harus mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.
#3

Monday, June 25, 2012

Aku #2

I remember when you hurt my heart perfectly 
"Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau baru muncul sekarang?" Kata-kataku muncul diiringi suara serak dari tenggorokanku.
Ia akhirnya membalikkan badan dan menatap mataku. Astaga, kedua mata itu terlihat begitu lain. Tidak, ini seperti bukan dirinya. Makhluk apa yang ada dihadapanku? Dosakah aku jika kuakui ia begitu berbeda?
"Kau mau apa lagi?" Dari semua perbedaan itu satu hal yang tetap sama dari dulu, suaranya yang terasa begitu hangat.
"Apa kau tak merindukanku sedikitpun?"
Diam, hanya itu yang dia bisa. Kenapa ia tak mampu menjawab pertanyaan yang begitu sederhana seperti itu?
"Apa kau akan sedih jika aku pergi lagi?" Akhirnya ia membuka percakapan. Mataku terbelalak lebar mendengar ucapan lirihnya. Aneh, aku dapat merasakan getaran lain dari suara itu. Penuh dengan rasa kekhawatiran. Kenapa aku tahu? Aku tentu tak dapat membaca pikirannya, namun aku dan dia sudah sangat lama. Apapun yang coba ia sembunyikan dariku, aku bisa menerka itu dengan benar.
"Kau tahu itu, kenapa kau bertanya hal itu lagi?" Tanyaku lembut. Dia kembali diam seribu bahasa. Sadar akan hal itu, aku meminta maaf.
Sejenak ia mendeham, kemudian menatapku lekat-lekat. Diperlakukan begitu, mataku rupanya tak dapat menyembunyikan sejuta ekspresinya. Aku sendiri masih bingung rasa apa yang mesti kulukiskan pada kertas kosong kehidupanku. Entah saat itu aku merasa sedih, tapi untuk apa sedih jika seseorang yang sangat kita sayangi berada di dekat kita. Mungkin bahagia, tapi bagaimana bisa bahagia jika orang yang kita sayangi bahkan dekat dengan kita terlihat jauh berbeda dengan sebelumnya. Aku sungguh bingung.
Tetes demi tetes mutiara air itu bergulir dari sudut mataku. Ia agak trenyuh, satu langkah ia mendekat. Dua langkah, hingga kita berhadapan begitu dekat. Ia menggapai tanganku yang lemah, menggenggamnya erat. Bisa kulihat ada air tergenang di kedua matanya. Ia menangis.
"Ika" Suara seraknya kembali terdengar begitu halus.
"Tolong sebut namaku sekali lagi" Pintaku lirih
"Ika" Ujarnya sesenggukan. Ia mendekapku kuat, kurasakan beban yang selama ini ia pikul. Seberapa menderitanya ia selama 6 tahun itu? Apa terlalu berat kah sampai ia tak mampu lagi?
"Walaupun kau tak merindukanku, aku tak peduli. Walaupun kau dingin padaku, aku tak keberatan. Karena yang aku tahu, hatimu tetap akan memeluk hatiku seperti sekarang ini." Aku tersenyum dibalik pelukannya.
"Ika, tolong jangan buat seakan aku tak mempedulikanmu lagi"
"Lalu tadi itu kenapa kau terlihat seperti tak pernah mengenalku?"
"Tidak semua hal itu berakhir indah, kau tahu itu kan? Kebahagiaanmu dan kebahagiaanku suatu saat akan ada hal yang harus kita bayar sebagai manusia."
"Apa yang kau bicarakan? Sungguh, aku tak mengerti." Mungkin benar, selama kita menjalin hubungan, aku selalu dapat mengetahui isi hatinya. Namun lain dengan saat itu. Aku merasa buta. Hatinya tak bicara padaku. Hanya membisu.
 #2

Wednesday, June 20, 2012

Aku #1

You turned around and left me easily
Semusim, dua musim berhaluan semakin cepat, lain halnya dengan awan yang berarak lamban beriringan seakan ingin berlama-lama di langit. Tampak cahaya surya mengintip dari celah-celah gumpalan putih itu. Sepertinya mereka memahami rasa was-was yang kuhadapi sekarang. Jarum jam pun semakin enggan untuk melangkah lebih cepat. Rasanya begitu lambat hari itu, semua hal disekelilingku berubah menjadi musuh secara tiba-tiba. Pandangan ini tak pernah lepas dari arloji perak yang kukenakan. "Ayolah, berpikir positif" teriakan itu terus saja mengerang dan memenuhi seluruh alam pikiran di otakku. Tapi, ternyata hatiku berkata lain. Kata-kata dan pikiran positif itu lenyap tak tersisa ketika satu hal yang aku nanti sedari lama tak kunjung tampak. Apalagi ini? Aku ingin berkata padanya "hey, ini bukan lelucon". Apa dia benar-benar tak mengetahui atau ia pura-pura tak tahu bagaimana rasanya berdiri dan duduk terus menerus di tempat dengan posisi yang sama selama itu? Bagaimana bisa ia melupakannya bahkan itu janjinya sendiri. Janji ingin bertemu denganku, janji untuk melihat senyuman di wajah cerahku, janji untuk menampakkan dirinya kembali setelah 6 tahun ia berkelana ke negeri antah berantah. Sama sekali ia tak memikirkanku? Apa ini masih pantas? Tolong jelaskan semua ini. Kali ini aku tak akan menyuruhnya menutup mulut dan tak mendengarkannya. "Aku benar-benar membutuhkan penjelasanmu sekarang juga. Jadi jangan berani lagi kau pergi dariku untuk kedua kalinya. Cukup dirimu dulu yang pergi, berkelanalah sesukamu ke semua benua di dunia. Namun satu hal yang aku minta. Tolong jangan bawa hatimu ikut bersamamu, biarkan ia disini bersamaku. Aku yakin aku bisa menjaga hatimu dengan sangat baik. Percayalah padaku. Sekarang, kau boleh pergi. Hanya itu yang bisa kusampaikan. Aku tak mampu lagi meneruskan apa yang ingin kuteruskan. Aku tak mampu lagi melihat apa yang ingin kulihat. Wajahnya, ia tampak sangat tak terurus layaknya penderita busung lapar. Ia justru hanya membisu, tak sedikitpun mau menatapku. Kenapa wajah itu? Pandangannya terlihat sangat dingin.
"Apa kau sakit?"
"Bukan urusanmu aku sakit apa tidak. Apa ada lagi yang ingin kau katakan? Aku tak mau membuang waktuku hanya untuk mendengarkan hal seperti ini."
"Apa?" Orang yang dihadapanku ini bukan dirinya, bukan. Aku pasti salah orang, aku pasti salah orang.
"Apa aku perlu mengulanginya lagi? Kalau memang itu saja yang ingin kau bicarakan, bisa aku pulang sekarang? Banyak hal yang lebih penting dari ini." Tatapan dingin itu tetap saja memandang ke satu sudut. Bukan melihat diriku. Dia membalikkan punggungnya, melangkahkan kakinya langkah demi langkah hingga tubuhnya tenggelam diantara pekatnya malam.
#1

Monday, June 18, 2012

Cinta sementara, terimakasih untuk selamanya

Baiklah, tolong hentikan ini. aku harus akui, ya aku jelas salah. Terlalu salah, bisa dibilang begitu. Memang semua orang juga tau pasti semua hal dimulai dari suatu ujung dan berakhir dipangkal. Berawal dari rasa suka semasa SD, tiap kali kulihat wajah itu mataku takkan bisa kupalingkan walau sesaat. Mataku takkan bisa kukedipkan walau sedetikpun. Aku mencoba mengirim beberapa pesan rinduku untukmu kepada sepoi angin, walau ku tau angin takkan membawanya sampai dimanapun kau berada. Kucoba mengirimkannya pada deretan awan putih, walau kuyakin ia berarak jauh dari tempatmu berpijak. Kau tau? aku pun mencoba lagi mengirimkan bait-bait rindu ini pada butiran hujan, walau kutahu hujan kan memecah semua rindu ini dan menyisakan kepingan hati yang tersisa. Hubungan ini, tak terlalu lama namun terlalu cepat untuk diakhiri. Aku memahaminya, bagaimana sabarnya kau menghadapiku, menghadapi egoku yang kian memuncak, bagaimana sinisnya aku. Kenapa kau terlalu baik? Hingga aku tak tega terus menerus menjalin hubungan itu. Hingga 8 bulan kemudian, disaat kita mulai beranjak dewasa. Kau dan aku, kita berdua. aku menyadari ini hanya perasaan sebatas cinta maya. Bagaimana bisa bocah sekecil kita dulu sudah bisa memahami arti perasaan itu. Aku yakin ini semua hanya sementara, tak akan abadi seperti yang kau kumandangkan setiap pagi via telepon. Tapi hubungan ini layaknya benang kusut yang berhamburan di lantai. Berkali-kalipun kau mencoba untuk menemukan ujungnya dan memperbaikinya, kau takkan bisa melakukan itu. Sudah terlalu lama kita terbengkalai oleh perasaan egois kita masing-masing. Entah kenapa aku tak berniat sedikitpun denganmu lagi, itu kata mulutku. Kubiarkan mulutku menguasai diri dan jiwaku. Apapun yang telah kukatakan, memang itu yang harus terjadi. Hingga tak kusadari ternyata ada perasaan lain yang berbisik didalam. ia meronta-ronta kepadaku, mengingatkanku atas apa yang telah kulakukan pada cinta pertamaku yang 'sementara' itu. Yah.. terlambat sudah untuk memperbaikinya. Aku tak meminta maaf pada orang itu karena aku tau pasti. kata 'maaf' takkan mampu mengobati hati yang telah tercabik-cabik oleh egoku. Karena aku telah mencoba untuk mengukir kata 'maaf' itu di halusnya butiran pasir pantai, walau kutahu ombak kan berambisi tuk menghapusnya. Aku mencoba untuk mengukirnya di pohon mangga, namun naas petir berapi-api menumbangkan pohon itu. Tuhan sangat adil pada kita. Disaat Ia menghukumku seperti ini, kau telah menemukan kembali kepingan hati yang baru, jauh lebih indah dari kepingan hatimu yang dulu, jauh lebih lembut, lebih dan lebih dari segalanya. Tak ada kata maaf dari mulutku, dan sebagai gantinya kan ku kirimkan sebuah kata pada semburat rona senja matahari tenggelam sore ini. sebuah kata yang mewakili semuanya. Semua hal yang telah kau beri kepadaku. "Terimakasih"